Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Pengkhianatan Sang Kekasih
Lampu sorot berkekuatan tinggi itu membakar retina mata Kirana hingga ia terpaksa menutupi wajahnya dengan telapak tangan yang masih gemetar. Di atas sana, berdiri seorang wanita dengan gaun sutra berwarna hitam yang berkibar tertiup angin kencang di puncak bukit. Wanita itu adalah Bianca, putri tunggal dari rekan bisnis terbesar keluarga Arkananta sekaligus wanita yang selama ini digosipkan akan menjadi istri sang bos muda.
"Turunkan lampu itu, Bianca! Kamu tidak perlu melakukan pertunjukan konyol ini hanya untuk mendapatkan perhatian saya!" teriak Arkananta sambil merangkul bahu Kirana dengan protektif.
Bianca tertawa, namun suara tawanya terdengar sangat parau dan penuh dengan luka yang teramat dalam di setiap nadanya. Ia memberikan isyarat kepada para pengawalnya untuk sedikit menurunkan sudut lampu hingga Kirana bisa melihat wajah cantiknya yang kini dipenuhi aura kelicikan. Arkananta mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya memutih pasi, ia merasa benar-benar dikhianati oleh orang yang selama ini ia percayai sebagai mitra setia.
"Perhatian? Saya sudah melewati fase itu sejak kamu lebih memilih melindungi anak pelayan ini daripada menghadiri acara pertunangan kita sendiri!" balas Bianca dengan suara melengking.
Kirana tersentak mendengar kenyataan bahwa keberadaannya telah menghancurkan masa depan politik dan bisnis pria di sampingnya. Ia melirik Arkananta yang masih tampak pucat karena kehilangan banyak darah dari luka tembak di lengan atasnya yang masih terus merembes. Rasa bersalah yang sangat besar mulai menggerogoti hati Kirana, membuatnya merasa menjadi beban yang sangat berat bagi keselamatan Arkananta.
"Tuan, silakan pergi saja bersama mereka. Saya tidak ingin menjadi penyebab kehancuran hidup dan masa depan Anda," bisik Kirana dengan air mata yang mulai bercucuran.
Arkananta justru mempererat cengkeramannya pada jemari Kirana seolah sedang memberikan janji bisu yang tidak akan pernah ia langgar seumur hidupnya. Ia menatap Bianca dengan pandangan yang sangat dingin, sebuah tatapan yang sanggup membekukan aliran darah siapa pun yang berani menentangnya. Baginya, perusahaan dan takhta bisnis tidak ada artinya jika ia harus kehilangan satu-satunya cahaya di tengah kegelapan hidupnya.
"Saya tidak pernah setuju dengan perjodohan itu, Bianca, dan kamu tahu betul bahwa hati saya tidak pernah ada di sana sejak awal!" tegas Arkananta dengan rahang kaku.
Bianca melangkah maju hingga ujung sepatunya berada di bibir tebing yang sangat curam dan gelap gulita di bawah sana. Ia mengeluarkan sebuah pemantik api emas dan sebuah dokumen yang sangat identik dengan surat wasiat ibu Kirana yang dicari-cari semua orang. Kirana membelalak sempurna, menyadari bahwa rahasia terbesar keluarganya kini berada di tangan wanita yang sedang dirasuki oleh api cemburu yang membabi-butuh.
"Jika saya tidak bisa memilikimu, maka tidak akan ada seorang pun yang boleh memiliki kebahagiaan bersama rahasia ini!" ancam Bianca sambil menyulutkan api ke sudut kertas.
Kirana berteriak histeris, ia mencoba berlari ke depan namun Arkananta segera menahannya karena para pengawal Bianca mulai mengokang senjata mereka secara bersamaan. Suasana di puncak bukit itu menjadi sangat panas dan mencekam, seolah alam semesta sedang menahan napas menyaksikan kehancuran sebuah sejarah besar. Bianca tersenyum penuh kemenangan saat melihat api mulai melahap barisan kata demi kata yang ditulis oleh ibu kandung Kirana.
"Berhenti! Saya akan melakukan apa pun yang kamu mau, Bianca! Tolong padamkan apinya sekarang juga!" teriak Arkananta dengan nada suara yang sangat putus-asa.
Bianca menghentikan gerakannya, ia meniup api kecil itu hingga padam namun sebagian besar dokumen tersebut sudah hangus menghitam dan tidak terbaca lagi. Ia menatap Arkananta dengan tatapan yang sangat haus akan pengakuan dan cinta yang selama ini tidak pernah ia dapatkan secara tulus. Namun, di balik semak-semak yang rimbun, Kirana melihat sebuah pergerakan bayangan yang sangat mencurigakan sedang mendekati posisi Bianca dari belakang.
"Datanglah ke sini sendirian, Arkan, dan tinggalkan gadis sekolah itu di sana jika kamu ingin sisa dokumen ini selamat!" perintah Bianca dengan nada bicara yang sangat angkuh.
Arkananta melirik Kirana sejenak, memberikan sebuah kode rahasia melalui kedipan matanya yang sangat cepat namun penuh dengan makna mendalam. Kirana memahami isyarat itu, ia segera berpura-pura jatuh pingsan di atas tanah yang dingin untuk mengalihkan perhatian para pengawal yang sedang berjaga. Saat perhatian mereka terbagi, Arkananta melesat maju dengan kecepatan luar biasa layaknya seekor macan yang sedang menerkam mangsanya di malam hari.
Pergulatan sengit terjadi di bibir tebing antara Arkananta dan para pengawal Bianca yang bertubuh besar dan kekar. Kirana segera bangkit dan berlari menuju tempat Bianca berdiri, berniat untuk merebut sisa dokumen yang masih digenggam erat oleh wanita tersebut. Namun, sebuah suara tembakan yang sangat keras kembali meletus dari arah kegelapan hutan, mengenai salah satu kaki Bianca hingga ia terjatuh lemas.
"Siapa yang menembak? Arkan, apakah itu anak buahmu yang berkhianat?" tanya Bianca sambil mengerang kesakitan di atas tanah.
Kirana sampai di depan Bianca dan segera mengambil dokumen yang terlepas dari tangan wanita itu dengan gerakan yang sangat tangkas. Namun, saat ia berbalik untuk mencari Arkananta, ia melihat sesosok pria dengan topeng perak sedang berdiri di atas dahan pohon jati yang sangat besar. Pria itu mengarahkan moncong senjatanya tepat ke arah jantung Kirana dengan pandangan mata yang sangat tajam dan dingin.
"Serahkan dokumen itu kepada saya, atau kalian berdua akan berakhir di dasar jurang ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan!" ancam pria bertopeng perak itu.
Arkananta yang sedang bergulat dengan pengawal segera melepaskan lawannya dan berdiri di depan Kirana sebagai tameng hidup yang sangat kokoh. Ia menyadari bahwa pria bertopeng perak itu adalah dalang yang sebenarnya, sosok yang selama ini mengadu domba Bianca dan dirinya demi keuntungan pribadi. Ketegangan kembali memuncak di bawah guyuran hujan yang mulai turun kembali membasahi bumi yang sudah bersimbah darah.