Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Ruang dokter yang semula sunyi kini terasa sesak oleh ketegangan. Setiap napas terdengar berat, seolah udara ikut menolak masuk ke paru-paru.
“Dalam catatan medis, bayi laki-laki Anda memiliki golongan darah B+ dan memiliki alergi,” ucap Dokter Marchel sambil menatap berkas di tangannya dengan ekspresi penuh beban.
“Juga, di catatan perawat ada catatan kecil, bayi itu sempat mengalami ruam merah setelah diberi susu bayi.”
Sagara menatap kosong ke arah meja dokter. Ia berusaha mencerna setiap kata, tetapi suara dokter seolah berubah menjadi gema yang berputar-putar di kepala. B+? Alergi susu?
“Mas...” suara Sonia bergetar, tangannya menggenggam ujung rok dengan gemetar halus. “Aku melahirkan tanggal sembilan September, jam satu dini hari. Aku masih ingat betul, suara tangisan pertama bayi kita menggema di ruang bersalin. A-aku bahkan sempat bilang ke perawat tentang tanda lahir merah kecil di tangannya.”
Matanya basah, tapi tidak hanya oleh air mata. Ada sesuatu yang lebih dalam rasa takut kehilangan yang tak terucap.
“Pada tanggal sembilan September tahun lalu,” sambung Dokter Mira, “ada tujuh pasien yang melahirkan di rumah sakit ini. Dua di antaranya melahirkan bayi kembar.” Ia meletakkan map di meja dan menatap ke arah Sagara. “Bisa jadi ada kekeliruan administrasi. Saya akan ambil semua data dan hasil pemeriksaan saat itu.”
Sagara hanya mengangguk. Rahangnya mengeras, napasnya berat. Kekeliruan administrasi, kata itu bergema di kepalanya seperti pisau berputar. Apa mungkin bayi yang ia gendong, yang ia panggil “anak”, bukan darah dagingnya sendiri?
“Kalau begitu, tolong ambil semua data orang-orang itu,” ucap Dokter Marchel tegas. “Kita akan periksa satu per satu.”
“Baik, Dok,” sahut Dokter Mira lalu melangkah cepat keluar ruangan.
Hening kembali turun. Hanya terdengar detik jam di dinding yang berjalan lambat dan berat.
Sagara menatap istrinya, Sonia, yang kini memalingkan wajah. Air mata jatuh satu per satu membasahi pipinya. Ia terlihat rapuh, seperti wanita yang baru saja kehilangan seluruh dunianya.
“Mas,” suaranya lirih, “kalau benar anak kita tertukar ... di mana bayi kita sekarang?”
Pertanyaan itu menusuk jantung Sagara seperti belati. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Sebelum sempat berbicara, Papi Leon berdiri dengan mata merah menahan marah. “Rumah sakit ini harus bertanggung jawab! Kalau benar cucuku tertukar, aku akan tuntut mereka habis-habisan!”
Sementara Mami Kartika menggenggam dada, wajahnya pucat pasi. “Oh Tuhan, apa dosa keluarga ini sampai harus mengalami cobaan seperti ini?” gumamnya dengan suara bergetar.
Tiba-tiba, tangis bayi pecah di tengah ruangan.
“Mamaaa...” Abyasa merentangkan tangan kecilnya, air matanya menetes di pipi bulat itu. Ia menangis seolah ikut merasakan beban orang dewasa di sekelilingnya.
Sagara segera menghampiri dan mengambilnya dari gendongan Mami Kartika.
“Sudah, Sayang. Jangan nangis. Papa di sini.”
Dia berjalan keluar menuju taman rumah sakit, mencoba menenangkan anak itu.
Di luar, taman tampak ramai. Beberapa pasien berjalan dengan perawat, suara anak-anak tertawa dari jauh. Tetapi bagi Sagara, dunia terasa hening.
Abyasa kini tertawa kecil, mengejar seekor kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga. Melihat tawa polos itu, hati Sagara semakin remuk. Bagaimana kalau benar anak ini bukan darah dagingnya? Bagaimana bisa ia melepaskan bocah yang sudah ia cintai seperti jantungnya sendiri?
“Mas,” panggil Sonia dengan suara pelan dari belakang. Sagara menoleh. Wajah istrinya tampak lemah, duduk di kursi roda, didorong oleh seorang perawat.
“Sayang, jangan bergerak. Aku ke sana,” ucap Sagara sambil berjalan mendekat.
Namun tiba-tiba, teriakan kecil dari Abyasa membuatnya mematung.
“Papa ... mimik,” kata Abyasa polos, sambil memegang dot berisi susu. Anak kecil sudah meminum susunya.
Sagara menatap benda itu dengan mata melebar. “Aby! Jangan minum itu!” Suara pria itu melengking, membuat beberapa orang di taman menoleh.
Dot itu bukan miliknya. Ada beberapa botol susu di meja taman, kemungkinan milik anak-anak pasien lain.
Namun bocah itu sudah sempat meneguk sedikit.
Wajah Sonia pucat seketika.
“Mas! Cepat bawa Aby ke UGD! Kalau benar dia alergi, bisa berbahaya!” jerit Sonia panik karena takut terjadi sesuatu kepada Abyasa.
Tanpa pikir panjang, Sagara langsung mengangkat tubuh kecil Abyasa ke pelukannya dan berlari.
Kakinya menapak lantai marmer rumah sakit dengan keras. Degup jantungnya berpacu lebih cepat dari langkahnya.
“Tolong buka jalan!” teriak Sagara di lorong.
Beberapa perawat spontan menyingkir, membiarkan pria itu berlari membawa anak yang mulai sesak napas kecil.
Begitu sampai di ruang UGD, pintu terbuka lebar.
“Dokter! Anak saya—dia minum susu, mungkin alergi!” Suara Sagara parau.
Perawat cepat mengambil alih, membawa Abyasa ke atas ranjang kecil. Dokter segera memeriksa napasnya, denyut nadinya, lalu mengambil sampel darah.
Sagara berdiri di pojok ruangan, menatap dengan mata penuh cemas. Setiap detik terasa seperti siksaan.
“Pak.” Suara dokter akhirnya memecah keheningan. “Anak Bapak baik-baik saja. Tidak ada reaksi alergi. Semua normal.”
Sagara terpaku. Napasnya tercekat.
“A... apa maksudnya?”
“Artinya, anak ini tidak memiliki alergi susu sapi. Tidak sesuai dengan catatan medis bayi yang Bapak sebut sebagai putra kandung istri Anda.”
Suasana membeku. Seolah dunia berhenti berputar di sekitar Sagara. Tangannya gemetar. Matanya menatap Abyasa yang kini tertidur pulas, tidak sadar bahwa hidupnya mungkin baru saja mengungkap rahasia kelam yang disembunyikan takdir.
Beberapa menit kemudian, Sonia datang bersama Papi Leon dan Mami Kartika.
“Bagaimana keadaan Abyasa?” tanya Sonia dengan suara tercekat.
Sagara menggeleng pelan, matanya sembab. “Dia baik-baik saja, Sayang,” jawab Sagara hampir tak terdengar. “Dengan begini sudah jelas Aby bukan anak kita.”
Sonia menatap kosong, lalu perlahan menutup mulut dengan kedua tangannya. “Tidak ... tidak mungkin!”
***
ada kemungkinan bekerja sama dengan perawat makanya tidak ada jejak sebelum Sonia menyadari tidak ada tanda lahir di bayi yang di rawat Sagara...
tapi siapa yg menukar ?? apakah David + Soraya berkomplot ?
apakah Sonia & Shanum saudara kembar yg terpisahkan ? bgmn terjadi nya ?
Sudah jelas dia tidak alergi susu, tinggal menunggu anak siapa dia sebenarnya.
kenapa sampai bisa tertukar dan apakah ini merupakan kesengajaan ?
jgn² anak yg dimakamin sm shanum itu ansl sagara sm sonia 🤔