Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.
Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.
Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Setengah Aku, Setengah Kamu
Yang mengejutkan, bukan hanya pelukannya… Tapi isak kecil yang terdengar pelan di dekat telinganya.
Tiny membeku. Ia memiringkan kepala sedikit, dan baru sadar—Xion… menangis. Pelan. Hampir tak terdengar, tapi nyata.
“Bang?” bisik Tiny, nyaris tak percaya. “Kamu… nangis?”
Xion tak menjawab. Tapi tangannya makin erat memeluknya, seolah ingin menyatukan mereka sampai tak ada celah. Dan dari bibirnya, yang akhirnya terbuka, hanya satu kata yang keluar—
“Makasih…”
Tiny mengerjap. “Hah?”
Tapi Xion tak menambahkan apapun.
Ia hanya berdiri di sana, memeluk tubuh mungil istrinya yang kini sedang mengandung anaknya—dan mengucapkan terima kasih, seperti anak kecil yang baru dikasih hadiah paling berharga dalam hidupnya.
Lucu, pikir Tiny. Karena selama ini, Xion selalu tampak tangguh. Suara berat, sikap tenang, pakai kacamata frame hitam yang selalu membuatnya terlihat dewasa dan dingin.
Tapi sekarang… Ia menangis. Hanya karena wanita mungil di pelukannya itu… sedang membawa sebagian dari dirinya sendiri di dalam perutnya.
Tiny tiba-tiba menarik diri sedikit dari pelukan. Wajahnya menegang lagi. Tangannya otomatis menempel ke perut, dan ia meringis kecil. “Mual lagi…”
Refleks, Xion langsung menyelipkan tangan ke bawah hoodie miliknya yang masih dipakai Tiny. Sentuhannya hangat dan cepat—tepat ke arah perut yang barusan membuat istrinya mengerang pelan.
“Tenang…” gumamnya. Jari-jarinya memijat pelan, dengan gerakan yang nyaris serupa seperti sebelumnya.
Tiny memejamkan mata. Dan benar saja—tak sampai satu menit, mual itu perlahan mereda lagi. Seolah sentuhan itu adalah satu-satunya obat paling ampuh yang tubuhnya mau terima.
“Lagi-lagi… hilang,” gumam Tiny lirih, masih terkejut.
Xion berkata, pelan, seolah menyusun pikirannya sambil tetap memijat pelan perut Tiny, “Karena yang di dalam perut itu… bagian dari aku juga, kan?”
Tiny membuka mata, menatap Xion dengan bingung bercampur heran. “Terus?”
Xion mendongak sedikit, ekspresinya serius tapi nada bicaranya tetap datar khas dia. “Ya logis aja… tubuh kamu nerima sentuhan aku, karena tubuh kamu lagi ngejaga sesuatu yang… setengahnya punya aku.”
Tiny mengerjap. “Setengah?”
“Secara genetik gitu,” Xion melanjutkan, masih sambil memijat pelan. “50 persen kamu, 50 persen aku. Jadi ya, tubuh kamu nggak asing sama aku. Mungkin dia nganggep aku... kayak ‘pemilik kedua’.”
Tiny melongo. “Hah??”
Xion mengangguk pelan, masih polos. “Kayak akses ganda. Kamu pemilik utama, aku co-owner.”
Tiny mendadak ngakak, tapi juga salting setengah mati. “Kamu tuh ngomongnya kayak bahas rumah kontrakan!”
Xion mengangkat bahu, tangannya belum lepas dari perut Tiny. “Kan emang lagi ditempatin sementara. Sembilan bulan.”
Tiny masih nyengir geli sambil mengusap perutnya sendiri. “Tapi waktu Kak Layla hamil Aney, kok Bang Rez yang malah mual dan muntah ya? Harusnya kan Kak Layla.”
Xion menatap sebentar, lalu menjawab dengan nada datar tapi jelas, “Itu namanya couvade syndrome. Suami bisa ikut ngerasain gejala kehamilan istri. Mual, pusing, bahkan nyeri punggung. Bisa karena ikatan emosionalnya kuat banget.”
Tiny mengangguk pelan. “Pantesan Aney deket banget sama Bang Rez ya…”
Xion menambahkan singkat, “Karena dari dalam kandungan aja udah ‘nyambung’ sama ayahnya. Tubuh ayahnya ikut ngerespon.”
Tiny langsung nyambung, “Beda banget sama Kak Alicia waktu hamil twins. Kak Alicia tuh… ngamuk mulu ke Bang Gery.”
Xion mengangguk, ekspresinya tetap kalem. “Bisa jadi karena kehamilan kembar itu lebih berat. Hormonnya naik drastis, sensitif banget. Kadang suami jadi pelampiasan emosi karena dia yang paling deket.”
Lalu Xion menambahkan, agak datar tapi jujur, “Dan dia juga… kadang ngeselin, wajar Alicia emosi. Kadang yang lagi nggak hamil juga emosi gara-gara dia.”
Tiny ngakak keras. “Itu sih bener.”
Xion menatap Tiny yang masih berdiri di dekat kasur, tangannya sesekali mengelus perut dengan senyum kecil yang nggak bisa disembunyikan.
Tapi Xion menepuk pelan sisi kasur, nada suaranya lembut tapi tetap tegas. “Yaudah, kamu tidur dulu. Jangan kelamaan berdiri.”
Tiny menoleh. “Kenapa?”
Xion menghela napas pelan, menatap perut istrinya sebentar lalu kembali menatap mata Tiny. “Anak itu… baru ada. Baru mulai tumbuh.”
Ia jeda sebentar. “Kalau kamu capek, dia juga ngerasain.”
Tiny terdiam. Hening. Lalu pelan-pelan ia naik ke kasur lagi, berselimut dengan hati-hati.
Xion kini duduk di pinggiran ranjang, matanya memperhatikan setiap gerak kecil Tiny seperti sedang mengawasi sesuatu yang rapuh dan berharga.
Tiny melirik, “Kamu ikut tidur?”
Xion menjawab sambil membetulkan posisi bantal, “Nanti. Aku tungguin kamu tidur dulu.”
Tiny senyum kecil. “Kayak nunggu bayi bobo aja.”
Xion angkat bahu, suaranya pelan, “Ya kan, yang tidur juga lagi bawa bayi.”
Namun, Tiny rupanya belum mengantuk. Matanya masih terbuka, menatap plafon kamar dengan pandangan kosong tapi pikirannya penuh.
Tiba-tiba, ia membuka suara pelan, agak ragu. “Bang…”
Xion menoleh sedikit. “Hm?”
“Aku mau nanya…” Tiny menahan napas sebentar. “Tapi jangan marah dulu.”
Xion mengerutkan dahi. “Apa?”
Baru saja Tiny membuka mulut, tiba-tiba ekspresinya berubah. Ia meringis kecil, lalu menutup mulut. “Huek—”
Xion reflek langsung menyelipkan tangannya lagi ke balik hoodie yang masih dikenakan Tiny. Jarinya memijit pelan perut itu, seperti sebelumnya—dengan ketenangan yang mulai terbiasa.
Beberapa menit berlalu.Mual itu mereda. Napas Tiny kembali tenang. Tapi pertanyaannya belum terlupakan. Tiny menggigit bibir. Lalu akhirnya ia bertanya. “Kamu… perhatian gini karena ini anak kamu…”
Suaranya pelan. Nyaris seperti bisikan. “…atau karena aku?”
Xion menghela napas pelan. Tangan yang tadi memijat perut Tiny mulai melambat, lalu berhenti sepenuhnya. Ia tidak langsung menjawab—seolah butuh waktu lebih dari satu tarikan napas untuk menemukan jawaban yang tepat.
Matanya menatap wajah Tiny yang kini menatapnya balik—ada keraguan, ada gentar. Tapi juga ada harapan. Beberapa detik sunyi. Lalu Xion berkata, suara rendah dan dalam,
“Aku perhatian karena kamu.”
Tiny mengerjap, menunggu lanjutannya. Xion melanjutkan, pelan tapi tegas, “Anaknya belum ada kalau bukan karena kamu. Jadi kalau aku jagain dia… ya otomatis aku juga jagain kamu.”
Ia memiringkan kepalanya sedikit, menatap mata Tiny yang berkaca-kaca. “Kalau kamu sakit, dia juga bisa kenapa-kenapa. Jadi ya… pusatnya kamu.”
Tiny menunduk cepat, menutup wajah dengan bantal kecil—menyembunyikan pipi yang sudah memerah total.
“Salting?” tanya Xion, nada suara datarnya seakan polos tapi tajam mengena.
Tiny hanya menggumam, “Gak usah sok tenang gitu deh…” tapi senyumnya—terselip jelas di balik bantal.
Xion menatap bantal yang kini menutupi hampir seluruh wajah Tiny, lalu berkata dengan datar, seperti tak terbebani apa pun, “Kalau salting ya salting aja. Ngapain ditutupin.”
Tiny mengintip sedikit dari balik bantal. “Aku saltingnya lebay,” bisiknya, setengah malu setengah geli sendiri.
Xion tersenyum tipis. Senyum yang jarang, tapi nyata. Dan entah kenapa… justru membuat jantung Tiny makin tak tenang.
“Jadi…” Tiny menunduk, jemarinya bermain-main dengan ujung selimut. “…udah cinta sama aku?”
Xion tak langsung menjawab. Tapi ia mengangguk pelan, seperti menyampaikan sesuatu yang dalam tanpa perlu banyak kata. “Masih dalam perjalanan,” katanya akhirnya.