Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3.
Azhar berbaring gelisah di atas ranjang. Tangannya yang terluka membuatnya sulit bergerak leluasa, ditambah lagi ia tak bisa tidur nyenyak jika udara kamar terasa pengap.
Dia sudah berkali-kali memiringkan tubuh, mengguling ke kanan dan kiri, tapi tetap saja mata ini enggan terpejam.
“Kenapa selalu begini sih… nggak bisa tidur pulas kalau nggak pake AC,” gumamnya lirih, suara penuh frustasi.
Dengan hati-hati, ia bangkit. Gerakannya lamban, seolah sedang bergerak dalam rekaman slow motion.
Bukan karena malas, melainkan agar tidak menimbulkan suara yang bisa mengganggu tidur Nisa istrinya yang sudah lelap di sisi ranjang.
Pandangan matanya kemudian terarah ke sudut kamar. Di sana, sebuah kipas angin berwarna hitam berdiri. Bibir Azhar perlahan melengkung, sebuah senyum kecil yang penuh harapan.
“Alhamdulillah… cuman kipas juga nggak apa-apa. Semoga adem,” desisnya pelan, lalu ia nyalakan kipas itu sebelum kembali masuk ke kelambu biru langit.
Begitu udara mulai berhembus, dada Azhar terasa sedikit lega. Walau tangannya nyeri setiap kali bergerak, setidaknya hawa panas tak lagi mencekik.
Ia melirik sekilas ke arah Husnah yang masih pulas, lalu menghela napas panjang.
“Yang penting tenang nggak perlu ganggu tidurmu,” bisiknya lembut.
---
Pagi pun tiba. Fajar baru saja merekah ketika Nisa sudah bangun. Ia berwudhu, menunaikan shalat Subuh dengan khusyuk, lalu bergegas ke dapur.
Tangannya cekatan, menimba air dari sumur untuk mengisi bak mandi, sebelum mulai menyiapkan sarapan untuk bapaknya dan juga sang suami.
Tak lama, langkah Pak Daud terdengar di halaman belakang. Lelaki paruh baya itu menghampiri putrinya yang sedang menimba air.
“Nis… kenapa nggak bangunin Bapak aja kalau mau isi bak mandi? Kasihan kamu sendirian,” tegurnya sambil menaruh beberapa kantong kresek hitam ke tanah.
Nisa menoleh, keringatnya menetes di kening. “Nggak apa-apa, Pak. Sudah biasa. Lagian bapak dari mana pagi-pagi begini?”
“Dari pasar,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Tadinya mau bangunin kamu, biar bisa bareng belanja. Tapi Bapak lihat kamu masih tidur, jadi langsung pergi saja.”
Mata Nisa berbinar. Ia meraih kantong kresek itu, lalu menatap bapaknya dengan haru.
“Masya Allah, Bapak beliin semua kebutuhan pokok padahal saya tadi rencananya mau ke pasar agak siangan.”
Pak Daud terkekeh. “Bapak paham apa yang kamu inginkan, Nak.”
Seketika Nisa memeluk tubuh bapaknya erat. Lelaki itu masih gagah meski usianya sudah melewati lima puluh tahun.
“Ya Allah, sehat-sehat teruslah Bapak. Panjang umurki, hanya Bapak yang saya punya di dunia ini,” ucapnya lirih, suara bergetar karena air matanya sudah mengalir.
Pak Daud menepuk punggung putrinya lembut. “Sudahlah, jangan cengeng. Nih, ada beberapa potong baju buat suamimu. Semoga cocok dipakainya.”
Nisa terdiam, tersentuh oleh perhatian sederhana itu.
---
Di dapur, ia mulai menata bahan belanjaan bapaknya. Udang segar, daging ayam, sapi, ikan semuanya lengkap.
Setelah menaruh sebagian di kulkas, ia menyiapkan menu untuk pagi ini.
“Mas Azhar sukanya apa, ya? Kemarin saya lupa nanya…” gumamnya, mengernyit kecil.
Ia berpikir sejenak, lalu tersenyum.
“Kayaknya enak kalau masak sup kimlo, ayam lalapan, sama udang tepung. Ditambah gulai udang biar lebih mantap. Semoga aja dia suka.”
Tangannya lincah mengupas, memotong, menumis. Nisa tak terlihat gugup sedikit pun. Baginya, dapur adalah dunia yang akrab, tempat ia bisa mencurahkan kasih dan tenaganya tanpa mengeluh.
---
Jam menunjuk pukul tujuh lebih sedikit. Azhar baru terbangun ketika aroma harum tumisan bumbu menyeruak ke dalam kamar. Ia bangkit pelan, berjalan menuju dapur.
Dari ambang pintu, ia berhenti. Pandangannya terhenti pada sosok istrinya yang sibuk memasak, wajahnya teduh diterpa cahaya pagi.
Azhar hanya berdiri terpaku. Ada rasa kagum yang menyelusup diam-diam ke dalam hatinya.
Namun ketenangan itu terputus ketika terdengar ketukan pintu depan. Azhar buru-buru beranjak, membuka pintu, dan mendapati seorang pria berwajah santai tersenyum lebar.
“Kenapa sekalian tahun depan baru muncul kemari!” sindir Azhar ketus.
Pria itu terkekeh tanpa malu. “Hehe, maaf, Pak Mayor. Baru sempat. Soalnya dapat kabar telat kalau Bapak nggak di rumah dinas.”
“Kamu ini selalu saja terlambat bergerak,” balas Azhar sambil mengambil koper dan ransel dari tangan pria itu.
Dari dapur, Nisa muncul sambil mengelap tangannya. Melihat tamu suaminya, ia langsung tersenyum ramah.
“Eh, Mas… ada tamu toh? Kenapa nggak diajak masuk sekalian. Biar makan pagi sama-sama.”
Azhar mendesah. “Pak Ikram katanya sudah kenyang.”
Ikram langsung menyela sambil tergelak. “Hehe… sebenarnya belum kenyang sih, Mbak. Tadi cuma sempat sarapan kue sama teh.”
Nisa tersenyum lembut. “Kalau begitu ayo, Pak Ikram. Biar lebih ramai. Kalau cuma berdua kan sepi.”
Mata Ikram berbinar, langsung setuju. Azhar hanya bisa menghela napas, menahan kesal melihat gaya cengengesannya.
---
Di meja makan, hidangan sudah tersaji lengkap yaitu berbagai macam masakan yang terkadang dimasaknya, yaitu ada gulai udang telur puyuh, udang goreng tepung, sup kimlo, ayam goreng, tahu-tempe, lalapan.
“Masya Allah… Mbak Nisa, ini sih sudah lebih mewah daripada makanan di rumah dinas!” puji Ikram sambil cepat-cepat menyendok nasi dan lauk.
Azhar menatapnya tajam. “Makan dulu yang bener. Jangan banyak omong.”
Nisa tersenyum, menatap suaminya lembut. “Nggak apa-apa, Mas. Itu tandanya Pak Ikram suka masakan saya.”
Nisa terdiam, menyimak dengan hati yang pelan-pelan diliputi rasa minder. Ia baru tahu keluarga suaminya ternyata berpendidikan tinggi, pekerjaannya mapan, sementara dirinya hanya lulusan SMA yang bahkan gagal kuliah karena harus mengurus ibunya yang sakit.
Nisa terdiam. Ia pura-pura sibuk mengaduk sup, padahal hatinya seperti diremas.
“Keluarga Mas Azhar hebat-hebat semua Mbak Dianti, Bella bahkan adik iparnya pun sudah dokter, perawat, atau kerja di kota besar. Sedangkan aku? Hanya lulusan SMA, bahkan kuliah pun gagal karena harus merawat Ibu dulu. Apa aku pantas jadi bagian keluarga mereka? Apa mereka akan menganggapku remeh?”
Ia menunduk, menahan rasa minder yang menyelinap, tapi kemudian menguatkan hatinya.
“Tidak, Nisa jangan kalah. Tugasmu sekarang adalah menjadi istri yang baik. Mas Azhar sudah memilihmu. Itu berarti ada alasan Tuhan menempatkanmu di sisinya. Kamu harus percaya diri.”
Ia tersenyum samar, berusaha menutupi rasa rendah diri yang tiba-tiba menyergap.
Setelah telepon selesai, Azhar dan Ikram bergegas. Hari itu ada pekerjaan penting di kantor, dan Azhar sudah merasa cukup kuat untuk ikut meski tangannya masih terluka.
Nisa menyambut mereka di pintu, mengecup tangan suaminya penuh takzim.
“Hati-hati di jalan, Mas.”
Pak Daud baru saja pulang dari sawah ketika melihat menantunya bersiap berangkat.
Ia mengangguk penuh wibawa, sementara Nisa hanya bisa menatap punggung suaminya yang kian menjauh, dengan doa lirih yang hanya ia dan Tuhan yang tahu.
Pak Daud berdiri di teras, keringat dari sawah masih menetes di pelipisnya. Pandangannya mengikuti langkah Azhar dan Ikram yang sudah bergegas meninggalkan rumah.
Di sampingnya, Nisa masih berdiri, menunduk penuh hormat sambil menahan perasaan.
Pak Daud menarik napas panjang, lalu menatap langit yang memutih oleh terik siang. Dalam hatinya, doa yang selama ini terpendam kembali menyeruak.
"Ya Allah… Engkau Maha Tahu jalan hidup anakku. Nisa bukan gadis yang sempurna, bukan pula perempuan yang berpendidikan tinggi seperti yang lain. Tapi Engkau tahu betul betapa besar hatinya untuk keluarga. Dari kecil dia lebih sering memikirkan ibunya yang sakit, bahkan rela berhenti sekolah demi merawatnya. Dan kini, dia Kau takdirkan menjadi istri kedua dari seorang perwira yang disegani banyak orang. Rahasia pernikahan ini hanya kami yang tahu, hanya Engkau yang benar-benar paham."
Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat menyembunyikannya.
"Ya Rabb, jangan biarkan anakku dihina atau direndahkan. Lindungi hatinya agar tidak patah oleh cibiran dunia. Jadikanlah Mas Azhar benar-benar pelindung sekaligus penuntun bagi Nisa, bukan sekadar nama yang disandang di buku nikah. Mudahkanlah langkah mereka, satukan cinta mereka dalam ridha-Mu, dan jangan biarkan air mata anakku jatuh sia-sia."
Pak Daud menoleh sekilas pada Nisa yang masih menatap jalanan kosong, kedua tangannya terlipat rapi di depan dada.
Senyum tipis terbit di wajahnya, seakan ia ingin menyembunyikan segala rasa minder yang tadi bergejolak.
Pak Daud menepuk bahu putrinya lembut.
“Nak, bapak nggak punya apa-apa buatmu selain doa. Tapi percayalah doa orang tua itu senjata paling kuat. Semoga rumah tanggamu, meski dimulai dengan jalan yang berat, akan berakhir dengan kebahagiaan yang panjang.”
Nisa menoleh, tersenyum sembari menahan tangis. “Makasih banyak, Pak…”
Dan di teras sederhana itu, doa seorang ayah berpadu dengan harapan seorang anak sebuah ikatan yang tak terlihat, namun lebih kuat daripada apa pun.
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor