Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Sang Mahkota
Api menjilat tirai sutra, melahapnya dalam hitungan detik. Asap hitam yang menyesakkan memenuhi ruangan, membuat mata perih dan napas sesak. Yi Seon menarik Hwa-young dengan paksa, menjauhkannya dari dinding api yang merambat cepat. Di sudut lain, Jenderal Kim dan Mae-ri menendang guci-guci air, suara pecahan keramik dan desis air yang bertemu api terdengar kacau.
"Buku itu!" Suara Hwa-young terdengar parau, serak oleh asap. Mengabaikan tarikan Yi Seon, ia menerjang kembali ke lantai yang panas. Panas menyengat kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Dengan tangan gemetar, ia menyambar Buku Besar Bayangan yang pinggirannya sudah menghitam dan hangus, lalu memeluknya erat ke dada seolah itu adalah satu-satunya hartanya di dunia.
"Kau sudah gila?!" bentak Yi Seon, wajahnya yang penuh jelaga tampak frustrasi sekaligus cemas. "Buku terkutuk itu lebih penting dari nyawamu?!"
Hwa-young terbatuk hebat, paru-parunya terbakar. "Sandi ... sandi terakhir apa yang kau maksud?" tanyanya di sela napas yang tersengal. Ini lebih dari sekadar buku. Ini adalah kunci dari dua kehidupannya yang penuh paranoia.
Yi Seon tidak menjawabnya. Matanya beralih ke Jenderal Kim. "Kim! Ambil buku itu darinya!"
"Jangan sentuh aku!" Hwa-young berteriak, melengking putus asa.
Jenderal Kim membeku, terjebak di antara perintah tuannya dan keputusasaan sang Putri Mahkota. Api di sekitar mereka mulai sedikit jinak di bawah siraman air.
"Aku menulis namaku sendiri di halaman itu, Hwa-young!" desis Yi Seon, akhirnya meledak. Ia mendekat, menembus kepulan asap, matanya berkilat tajam di tengah kegelapan. "Aku menulisnya agar Matriarch Kang percaya aku ada di bawah kendalinya. Aku memberimu buku itu untuk membuktikan padamu bahwa aku bisa mengendalikan pengawasanmu! Aku ingin kau percaya aku adalah musuh, agar aku bisa menjadi sekutumu!"
Setiap kata terasa seperti tamparan. Sebuah kebohongan yang begitu rumit, begitu berlapis. Namun, kegilaan di mata Yi Seon saat ia berusaha menyelamatkannya tadi, bukan buku itu, tetapi dirinya, terasa nyata. Paranoia yang ia bangun selama dua kehidupan tiba-tiba retak, bukan hancur, tetapi cukup untuk membiarkan secercah keraguan masuk.
"Kenapa?" bisik Hwa-young. "Kenapa Matriarch Kang harus percaya kau mengawasiku?"
"Karena dia yang memintaku! Dia ingin aku menjadi mata-mata pribadinya, melaporkan setiap gerakan dan niatmu!" balas Yi Seon, penuh amarah yang tertahan. "Jika dia melihat namaku di buku itu sebagai 'aset yang dibeli', dia akan merasa aman. Dia akan berhenti mengirim anjing-anjing pelacaknya, karena dia yakin aku sudah melaporkan semuanya!"
"Dan ... sandi ibuku?" Suara Hwa-young bergetar.
Yi Seon mengangguk, napasnya masih memburu. "Ibuku ... Ibunda Ratu. Sebelum meninggal, dia memberitahuku tentang sandi terakhir. Dia bilang, jika aku menemukan buku ini dan terpojok oleh Kang, aku harus menulis namaku sendiri. Itu artinya, 'Aku sedang membalikkan pengawasan'. Kang tidak akan pernah mencurigai pengkhianatan yang datang dari dalam keluarganya sendiri."
Tangan Hwa-young yang gemetar membuka buku itu. Di sana, tertulis dengan tinta yang angkuh, Pangeran Mahkota Yi Seon. 5000 keping emas. Perintah, Mengawasi Putri Mahkota.
Semuanya palsu. Jumlah emas itu, perintah itu. Sebuah sandiwara yang dirancang dengan sempurna.
"Kau ... kau membiarkanku mencuri ini?"
"Aku membiarkanmu mengambilnya agar kau melihat namaku," kata Yi Seon, nadanya melembut meski deru napasnya masih kasar. "Aku ingin kau tahu sedalam apa cengkeraman Kang padaku. Dan aku ingin kau tahu aku bersedia mengambil risiko terbesar untuk membebaskan diri. Buku ini adalah bukti aku bidaknya, sekaligus bukti aku adalah bidak yang memberontak."
Kaki Hwa-young terasa lemas. Bukan, Yi Seon bukanlah pengkhianat dari masa lalunya. Dia adalah sekutu yang jauh lebih berbahaya dan terperangkap dalam jaring yang sama.
"Jenderal Kim," perintah Yi Seon, kembali tegas. "Amankan buku itu. Bawa Putri Mahkota keluar. Api ini akan menarik perhatian patroli, dan aku yakin mereka milik Matriarch Kang."
Jenderal Kim, dengan pemahaman baru di matanya, mengangguk cepat dan mengambil buku itu dari pelukan Hwa-young yang mulai lunglai. Mereka melarikan diri ke dalam kegelapan malam, meninggalkan api yang melalap habis rumah sewaan itu beserta semua rahasia palsu di dalamnya.
*
Aroma asap masih menempel di pakaian mereka saat mereka tiba di sebuah gubuk terpencil di luar kota, pos rahasia Jenderal Kim. Di bawah cahaya lentera yang berkelip, Buku Besar Bayangan terbentang di atas meja kayu yang reyot.
"Aku minta maaf harus melakukannya dengan cara seperti itu," kata Yi Seon, nadanya datar. "Jika aku berterus terang, Kang akan tahu. Telinga dan matanya ada di setiap sudut Istana."
Hwa-young menghela napas, matanya tertuju pada peta taktik gerilya yang terpajang di dinding. "Aku pikir ... aku pikir kau akan mengulang pengkhianatan masa lalu."
"Pengkhianatan masa lalu?" Yi Seon mengerutkan kening, tidak mengerti.
Hwa-young tersentak. Ia lupa, dunianya yang penuh hantu adalah miliknya sendiri. "Maksudku ... paranoia. Aku pikir kau akan menyerahkanku pada Matriarch Kang."
Yi Seon menatapnya lama, tatapan yang sulit diartikan. "Dia merampas segalanya dariku, kecuali takhta ini. Aku tidak akan pernah menyerahkanmu padanya. Setidaknya, tidak selama kau berguna bagiku."
Bukan pernyataan cinta, tapi sebuah janji politik yang brutal dan jujur. Hwa-young bisa menerimanya.
"Baiklah," kata Hwa-young, kembali fokus. "Sekarang kita punya buku ini. Apa rencananya?"
"Kita identifikasi semua orang yang dibeli Kang," kata Yi Seon. "Kim, hubungi Sora. Beri tahu dia kita aman dan buku ini ada di tangan kita."
"Bagaimana kau tahu tentang Sora?" tanya Hwa-young, terkejut.
Senyum dingin tersungging di bibir Yi Seon. "Aku punya mata-mataku sendiri, Hwa-young. Aku tahu kau bertemu Paman Go, mencuri sutra ungu itu. Aku membiarkannya. Itu pengalihan yang sempurna. Sementara Kang sibuk dengan skandal sutra, kau bisa langsung menyerang jantung kekuasaannya."
Kekaguman menjalari Hwa-young. Yi Seon bukan boneka. Dia adalah pemain catur yang sama lihainya.
Sisa malam itu mereka habiskan untuk membedah buku tersebut. Pagi menjelang, saat Hwa-young mengusap matanya yang lelah, ia menemukan sesuatu yang mengerikan sekaligus memberinya harapan.
"Lihat ini," katanya pada Yi Seon, menunjuk ke daftar yang paling tebal. "Sebagian besar nama di sini bukan bangsawan. Mereka pedagang kecil, pengrajin, petani ... Orang-orang yang dihancurkan Kang lalu 'diselamatkan' dengan uang suapnya."
Yi Seon melihat nama-nama itu. Orang-orang biasa. "Korban," gumamnya.
"Tepat," kata Hwa-young, matanya berbinar lelah. "Dan lihat halaman depan. Ini daftar anggota inti Chungmae yang asli, yang dicatat Ibuku. Mereka semua adalah pedagang terpinggirkan yang ia bantu. Kekuatan Chungmae bukan uang, Yi Seon. Kekuatan Chungmae adalah keadilan."
Ini adalah warisan ibunya. Bukan sekadar jaringan dagang, tapi sebuah perisai bagi mereka yang tak bersuara. Dan Matriarch Kang telah merusaknya, mengubah perisai itu menjadi senjata untuk dirinya sendiri.
"Jadi..." Yi Seon mulai mengerti arah pembicaraan ini.
"Kita tidak akan menghukum mereka," kata Hwa-young, tekadnya mengeras. "Kita akan membebaskan mereka. Kita akan merekrut kembali mata-mata Kang dan mengubah mereka menjadi agen ganda untuk kita. Kita akan menawarkan mereka keadilan, bukan sekadar uang."
"Itu gila dan berisiko," balas Yi Seon, tapi ada kilat ketertarikan di matanya.
"Loyalitas yang dibangun di atas kebutuhan jauh lebih kuat daripada yang dibangun di atas keserakahan," tegas Hwa-young. "Sekarang, kita harus kembali ke Istana. Biarkan Matriarch Kang panik mencari buku ini."
*
Kembali di Paviliun Bulan Baru, udara terasa tegang. Hwa-young tahu badai akan segera datang. Ia menulis surat permintaan sutra biasa, tetapi menyematkan seutas benang ungu, sandi untuk Sora, sebelum memberikannya pada Mae-ri. Pesan itu sederhana, Mulai bergerak. Identifikasi semua target. Tunggu perintahku.
Sore harinya, Yi Seon memanggilnya ke ruang kerjanya. "Matriarch Kang menemuiku tadi pagi," katanya tanpa basa-basi. "Dia menuduhku lalai atas kekacauan di kantor pajak. Aku mengorbankan beberapa pejabat rendahan dari buku itu untuk menenangkannya."
"Bagus," kata Hwa-young.
"Tapi itu belum selesai," lanjut Yi Seon. "Dia menuntutku, melalui Ibu Suri, untuk melakukan audit mendalam pada keuanganmu. Dia mencium bau dana sutra ungu. Dia ingin tahu dari mana uangmu berasal.
Dana Chungmae masih terlalu kecil. Jika diaudit, jejaknya akan mudah ditemukan.
"Jenderal Kim akan memimpin tim audit," kata Yi Seon cepat, melihat kepanikan di wajah Hwa-young. "Dia akan memalsukan laporannya. Tapi kita hanya punya waktu tiga hari. Dan selama itu, Kang akan menyebarkan rumor bahwa kau tidak becus mengurus keuanganmu sendiri."
"Aku siap," jawab Hwa-young.
Tiba-tiba, Jenderal Kim, yang sedari tadi diam, melangkah maju. Wajahnya tegang. "Yang Mulia, saya baru menerima laporan dari Pasar Timur."
"Apa itu?" tanya Yi Seon.
"Ada kekacauan kecil. Beberapa pedagang yang namanya ada di buku ini tiba-tiba membatalkan pesanan bijih besi dari Keluarga Kang. Mereka bilang mendapat penawaran lebih baik."
Hwa-young dan Yi Seon saling pandang. Itu terlalu cepat.
"Sumber saya mengatakan," lanjut Kim, "mereka menerima paket berisi uang untuk melunasi utang mereka pada Kang, dan sebuah catatan kecil."
"Apa isi catatannya?" tanya Hwa-young, firasat buruk mulai merayapinya.
"Catatan itu berbunyi, 'Keadilan akan dibayar kembali'."
Hwa-young memejamkan matanya. Sora. Sahabatnya itu tidak menunggu perintah. Dia bertindak sendiri, terlalu cepat, terlalu gegabah.
"Ini berbahaya," desis Yi Seon. "Kang akan melacak siapa yang membayar utang mereka. Kita harus mengendalikan Sora!"
"Aku akan mengirim..."
BRAKK!
Pintu ruang kerja Yi Seon dibanting terbuka. Seorang pelayan Istana Timur masuk dengan wajah pucat pasi, napasnya terengah-engah.
"Yang Mulia! Matriarch Kang ... dia ada di Paviliun Bulan Baru! Dia menuntut bertemu Putri Mahkota ... sekarang juga!"
Hwa-young dan Yi Seon membeku.
"Dia bilang ... dia bilang dia membawa bukti!" jerit pelayan itu. "Bukti bahwa Putri Mahkota telah memeras seorang pedagang untuk merusak bisnis Keluarga Kang!"
Darah serasa surut dari wajah Hwa-young. Dia tahu siapa pedagang itu. Salah satu orang yang baru saja "dibebaskan" oleh Sora. Kang telah menangkapnya kembali dan membalikkan keadaan.
"Sora bergerak terlalu cepat," bisik Hwa-young, panik.
"Kita harus menghadapinya. Sekarang," kata Yi Seon, menarik tangan Hwa-young yang dingin. "Ini perang narasi. Jenderal Kim, siapkan penjaga!"
Mereka bergegas menuju Paviliun Bulan Baru. Hwa-young bisa merasakan jantungnya berdebar hingga ke tenggorokan. Di sana, di tengah paviliunnya, Matriarch Kang berdiri dengan senyum kemenangan. Di sampingnya, seorang pedagang kecil bernama Tuan Choi bersimpuh sambil menangis tersedu-sedu.
"Ah, Pangeran Mahkota. Tepat waktu," sapa Matriarch Kang, semanis racun. "Putri Mahkota Anda yang terkasih ini ternyata sibuk menghancurkan reputasi keluarga saya. Tuan Choi di sini akan bersaksi bagaimana Putri Mahkota mengancam akan membunuh istrinya jika ia tidak membatalkan pesanan bijih besi saya!"
Mata Hwa-young bertemu dengan mata Tuan Choi yang penuh ketakutan dan permohonan maaf. Dia terjebak.
"Itu bohong!" seru Hwa-young.
"Oh, benarkah?" ejek Matriarch Kang, mendekat selangkah. "Lalu bagaimana Anda menjelaskan dari mana Anda mendapatkan dana untuk menyuap para pedagang kecil ini, Putri Mahkota? Katakan padaku, apa nama jaringan kotor yang kau gunakan untuk merusak ekonomi kekaisaran?"
Dunia Hwa-young seakan menyempit. Ia tidak bisa membuka kedok Chungmae. Ia tidak bisa menyeret Yi Seon. Ia terpojok.
Kemudian, sebuah ide gila, sebuah pertaruhan terakhir, terlintas di benaknya. Ia harus membalikkan papan catur ini sekarang juga.
Dengan langkah yang dibuat setenang mungkin, Hwa-young maju, menatap lurus ke mata Matriarch Kang.
"Anda salah paham, Matriarch Kang," kata Hwa-young, dingin dan jernih, memotong keheningan yang mencekam. "Ini bukan jaringan kotor. Ini adalah penyelidikan rahasia."
Semua mata tertuju padanya. Yi Seon menatapnya dengan keterkejutan.
Hwa-young berbalik, tangannya dengan anggun menunjuk pada suaminya sendiri. "Penyelidikan rahasia atas praktik monopoli dan pemerasan yang Anda lakukan terhadap pedagang kecil ... atas perintah langsung dari Yang Mulia, Pangeran Mahkota Yi Seon."
Senyum di wajah Matriarch Kang membeku. Matanya yang tajam beralih dari Hwa-young ke Yi Seon, mencari celah, mencari kebohongan. Udara di ruangan itu terasa berat, sarat dengan ketegangan yang bisa meledak kapan saja.
Matriarch Kang tertawa pelan, tawa dingin yang tidak mencapai matanya. "Penyelidikan, katamu?" turun menjadi bisikan berbahaya. "Menarik sekali. Kalau begitu, Pangeran Mahkota," ia berhenti sejenak, membiarkan setiap kata meresap, "mungkin Anda bisa menjelaskan ... mengapa nama Anda sendiri ada di dalam buku aset yang sedang Anda selidiki?”