Di Benua Timur Naga Langit sebuah dunia di mana sekte-sekte besar dan kultivator bersaing untuk menaklukkan langit, hidup seorang pemuda desa bernama Tian Long.
Tak diketahui asal-usulnya, ia tumbuh di Desa Longyuan, tempat yang ditakuti iblis dan dihindari dewa, sebuah desa yang konon merupakan kuburan para pahlawan zaman kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ar wahyudie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
“Langit tidak membukakan pintunya untuk yang lemah. Tapi bagi yang berani mengetuk, bahkan langit pun harus menjawab.”
................ ................. .......................... ................ ..........
Langkah Tian Long bergema lembut di atas jalan batu yang membentang menuju gerbang utama Kota Jinghai.
Udara malam berembus membawa aroma besi dan dupa yang samar, seolah menyimpan sisa-sisa doa dan darah dari masa lalu.
Dari kejauhan, deretan lentera bergoyang tertiup angin malam, cahayanya menari di permukaan batu dan memantul di wajah Tian Long yang masih berlumur debu serta sisa darah kering.
Di punggungnya, bayangan tato berbentuk teratai berdenyut perlahan, seakan naga purba yang tengah bernafas dalam tidur panjangnya, menunggu saat untuk terbangun.
Ia berhenti tepat di depan gerbang raksasa setinggi tiga puluh meter.
Dua patung naga batu berdiri di sisi kiri dan kanan, tubuh mereka melingkar megah, sisiknya memantulkan cahaya bulan, dan mata mereka menyala biru redup seperti bara yang belum padam.
Pintu itu bukan sekadar tembok kayu dan besi, melainkan segel spiritual kuno, penjaga batas antara dunia fana dan wilayah kekuatan.
Hanya mereka yang diakui oleh kehendak energi langit yang dapat melangkah melewatinya tanpa dihancurkan oleh kekuatan segel.
Dua penjaga berjubah hitam berdiri tegak di depan gerbang, tubuh mereka nyaris menyatu dengan bayangan malam.
Uap spiritual berwarna kelabu mengalir samar dari jubah mereka, menandakan tingkat kultivasi yang tak bisa diremehkan.
Salah satu dari mereka menatap Tian Long dengan sorot mata tajam, seolah hendak menembus lapisan jiwanya.
Tatapan itu dingin, penuh kecurigaan, namun juga diselimuti sedikit rasa waspada.
“Kau sendirian?” Suara penjaga itu terdengar berat, seperti batu yang digesek baja.
Tian Long mengangguk perlahan. “Aku ingin masuk ke kota.”
“Namamu?”
“Tian Long.”
Kedua penjaga itu saling bertukar pandang — hanya sekejap, tapi cukup untuk menunjukkan keraguan yang tersirat di balik ketenangan mereka.
Salah satu dari mereka kemudian mengambil sebutir batu kristal dari pinggangnya. Batu itu berbentuk segi delapan, memantulkan cahaya lembut biru pucat yang berdenyut pelan.
“Letakkan tanganmu di sini. Batu pengukur energi ini akan menilai kadar Jing Qi dalam tubuhmu. Bila nilainya di bawah batas, kau tak berhak melangkah melewati gerbang ini tanpa izin resmi.”
Tian Long memandang kristal itu sejenak, seolah menimbang sesuatu. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia mengulurkan tangan dan menempelkan telapak tangannya di permukaan batu.
Sejenak tak terjadi apa-apa. Lalu—
Wuuuoooommmm!
Cahaya keemasan menyembur dari dalam batu, berdenyut bagai matahari yang terkurung dalam kristal.
Kilatan itu melesat menembus udara, membentuk riak-riak energi yang menggulung di sekeliling mereka.
Angin berputar hebat; jubah kedua penjaga itu berkibar liar.
Patung naga batu di sisi kiri gerbang bergetar halus, matanya yang sebelumnya padam kembali menyala dengan cahaya biru keperakan.
Udara menjadi berat, dipenuhi gema spiritual yang berdesir seperti bisikan langit.
Kedua penjaga terbelalak. “Apa… ini…?”
Salah satu dari mereka berlutut tanpa sadar, menahan tekanan tak terlihat yang muncul dari tubuh Tian Long.
Tian Long segera menarik tangannya, dan cahaya itu padam seketika.
Ia menatap mereka dengan tenang. “Aku hanya ingin lewat, bukan membuat masalah.”
Penjaga itu menelan ludah. “S-silakan masuk… Tuan Muda.”
Gerbang Jinghai bergetar pelan sebelum akhirnya terbuka, mengeluarkan suara berat yang bergema panjang di seluruh lembah.
"GROOOOAAAANNN…"
Suara itu seperti raungan naga purba yang telah tidur berabad-abad dan kini perlahan terbangun.
Udara bergetar. Cahaya dari lentera-lentera di sisi jalan berpendar lembut, menyambut langkah seorang pengelana muda yang baru menapaki batas dunia baru.
Untuk pertama kalinya, Tian Long melangkah masuk ke kota besar di Benua Timur.
Di balik gerbang megah itu, kehidupan mengalir bagai sungai tanpa henti.
Deru pedagang memanggil dari kios rempah yang mengepulkan uap harum kayu manis dan bunga kering.
Di sudut lain, penjual jimat sibuk menggoreskan simbol pelindung dengan kuas tinta spiritual, sementara seorang pengemis buta memainkan seruling bambu di bawah cahaya lentera dengan nadanya yang lembut, namun mengandung kesedihan yang menembus hati.
Para murid sekte berjalan beriringan, jubah mereka berkibar lembut, dihiasi lambang-lambang suci dari berbagai aliran.
Di atas langit kota, burung-burung roh melintas, meninggalkan jejak cahaya perak di udara, membawa pesan antar sekte dengan sayap yang bergetar oleh energi spiritual.
Tian Long berjalan perlahan di jalan utama berbatu giok, setiap langkahnya memantulkan cahaya keemasan dari lentera di atas kepala.
Matanya berkelana — penuh rasa ingin tahu, tapi juga dengan kewaspadaan seorang yang telah melihat dunia luar dan tahu bahwa keindahan sering kali menyembunyikan tajamnya bahaya.
Udara malam membawa suaranya pergi bersama aroma dupa dan besi, lenyap di antara hiruk-pikuk manusia yang berlalu.
Di kedalaman pikiran Tian Long, gema suara Long Zhen Tian muncul seperti riak dalam danau purba — tenang, berat, dan mengandung kebijaksanaan yang tak bisa ditawar.
“Manusia tumbuh bersama keinginan, Tian Long.
Itu kekuatan mereka… sekaligus racun yang paling mematikan.”
Tian Long menatap bayangan dirinya di permukaan batu giok yang mengilap, melihat sorot matanya sendiri yang memantulkan sisa cahaya emas dari lentera. Bibirnya melengkung samar.
“Dan aku harus hidup di tengah racun itu, ya?”
“Bukan hidup di tengahnya,” suara itu menjawab lembut, namun membawa gema ribuan tahun kekuasaan naga.
“Tapi belajar bernapas tanpa menelannya.”
Udara di sekelilingnya terasa sedikit lebih ringan. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah lagi di antara arus manusia yang berlalu — para pedagang yang menimbang emas, murid sekte yang berdebat soal teknik, dan pengemis tua yang tertidur di bawah bayangan lentera.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti.
Kerumunan besar tampak memenuhi alun-alun kota. Suara riuh bercampur bisik-bisik kagum dan cemas.
Tian Long mendekat. Di hadapannya, sebuah papan pengumuman besar berdiri — ukirannya dipenuhi simbol segel spiritual yang masih berdenyut samar.
Gulungan sutra putih tergantung di tengahnya, huruf-huruf besar tergores dengan tinta spiritual berwarna biru gelap, memancarkan sedikit hawa tekanan.
Cahaya dari lentera di sekitarnya menari di atas permukaan tulisan itu.
Ia membaca perlahan:
"PENGUMUMAN DARI AKADEMI LANGIT ABADI"
“Pendaftaran murid baru dimulai esok hari.
Mereka yang mampu melewati Ujian Roh Langit akan diterima sebagai murid luar.
Hadiah bagi peserta terbaik: satu jimat naga tingkat langit dan izin memasuki Menara Langit Ketiga.”
Kerumunan itu ramai.
Beberapa pemuda berbicara penuh semangat, sebagian lain tampak takut mendengar nama ujian itu.
Tian Long berdiri di antara mereka, membaca perlahan setiap kalimat di papan itu.
“Akademi Langit Abadi…” gumamnya.
Suara Long Zhen Tian muncul lagi, kali ini lebih dalam.
“Itu tempat para naga manusia beradu sayap. Tapi di sanalah pula, rahasia tentang garis darahmu mungkin mulai terungkap.”
Tian Long mengangkat wajahnya.
Cahaya lentera menyorot matanya yang berwarna emas samar.
“Kalau begitu, aku akan ke sana.”
“Hati-hati,” kata Long Zhen Tian, suaranya berat.
“Di sana, tidak semua yang tersenyum adalah teman. Dan tidak semua guru mengajar untuk kebaikan muridnya.”
Tian Long tertawa kecil. “Aku sudah belajar itu sejak malam iblis pertama kali datang ke desaku.”
Ia membalikkan badan, menatap ke arah timur — di mana di kejauhan, menara raksasa berdiri menembus awan, diselimuti cahaya biru.
Itulah Menara Utama Akademi Langit Abadi, tempat semua kultivator muda bermimpi untuk mencapai.
Cahaya dari tato teratai di lengannya berdenyut lagi, lembut tapi jelas.
Suara naga tua bergaung samar, seperti hembusan angin dari langit jauh.
“Langit mulai memperhatikanmu, Tian Long.”
Ia menghela napas panjang, matanya menatap menara itu penuh tekad.
“Kalau begitu… biarkan langit tahu siapa yang akan berdiri di atasnya.”
Dan malam itu, di antara cahaya lentera Jinghai dan suara seruling pengemis tua, perjalanan Tian Long sebagai calon murid Akademi Langit Abadi pun dimulai — tanpa ia sadari, langkah kecilnya baru saja mengguncang seluruh benua naga.