NovelToon NovelToon
Bukan Sistem Biasa

Bukan Sistem Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Dikelilingi wanita cantik / Sistem
Popularitas:18k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
​Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
​Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
​Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
​[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
​Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31 Kekhawatiran bela

Sherline memandang punggung Rama yang menjauh tanpa menoleh lagi, hingga pemuda itu menghilang di balik tikungan jalanan yang rimbun. Keheningan sesaat melingkupi jalanan sepi itu, hanya suara serangga hutan dan deru mesin mobil patroli yang masih menyala yang terdengar.

​Wajah Sherline, yang sebelumnya menampilkan senyum perhitungan, kini kembali kaku dan dingin.

​"Kapten, kenapa kita biarkan saja dia pergi?" tanya salah satu rekannya, seorang pria bertubuh kekar bernama Bima, suaranya terdengar tidak puas. "Dia jelas-jelas menantang otoritas kita."

​Sherline menoleh pada Bima, tatapannya tajam.

​"Menantang? Dia tidak melanggar hukum, Bima. Dia hanya tahu betul hak-haknya," jawab Sherline, suaranya sarat kejengkelan, namun juga mengakui. "Dia benar. Kita datang tanpa surat panggilan resmi, dan kita tidak bisa memaksakan interogasi di jalan umum seperti ini."

​"Tapi, Kapten," sambung rekan yang satunya, yang lebih muda dan tenang, bernama Arya. "Dia tidak terlihat seperti warga biasa. Aksinya di pasar—dan penolakannya barusan—terlalu tenang. Saya merasa aneh menyebutnya anak berusia belasan tahun."

​Sherline menghela napas, menyandarkan pinggulnya ke pintu mobil patroli. Rasa frustrasi terasa jelas di matanya. Baru kali ini ada orang biasa yang menolak perintahnya dengan alasan yang begitu logis dan sah.

​"Dia memiliki postur tubuh dan wajah yang terlihat dewasa. Jika saja aku tidak menyuruh Sersan Hadi untuk menyelidiki pemuda itu sebelumnya, aku juga tidak akan percaya jika dia masih seorang murid SMA Kelas XII," gumam Sherline.

​Ia membuka pintu mobil, gesturnya tegas. Ia harus menahan kekesalan itu demi menjaga sikapnya sebagai seorang Kapten, meski merasa diabaikan oleh pemuda belasan tahun tersebut.

​"Dia bilang akan menunggu di rumahnya? Bagus. Kita akan memberinya kunjungan resmi. Kali ini, kita akan datang dengan semua yang kita butuhkan. Aku ingin lihat bagaimana bocah itu akan menolaknya."

​Mereka semua masuk ke dalam mobil. Saat mobil patroli berbalik dan meninggalkan jalanan sepi, Sherline mengeluarkan ponselnya. Ia membuka video buram rekaman amatir di pasar, memutarnya berulang kali—menganalisis setiap gerakan Rama.

​Rama tiba di rumah Pak Suhardi dan langsung disambut oleh Bu Maya yang baru saja pulang dari sawah.

​"Loh, kamu sudah pulang, Nak?" ucap Bu Maya, melihat ke belakang Rama tidak menemukan Bela ikut dengannya.

​"Iya, Bu. Aku hanya mengurus surat pindahan saja, lalu setelah semuanya beres aku langsung pulang," Jawab Rama.

​"Ibu kira, kamu akan pulang bersama Bela," Kata Bu Maya kembali, lalu melanjutkan, "Ya sudah... kamu tidak akan ke mana-mana lagi, kan? Ibu kebetulan ada perlu dengan Bu Darmi sebentar."

​Rama mengangguk pelan. "Iya, Bu. Ibu pergi saja... aku akan tetap di rumah sembari menunggu Bela pulang."

​Bu Maya tersenyum hangat menyentuh pundak Rama dengan lembut.

​"Bapak juga pasti sebentar lagi akan pulang, dan Ibu juga tidak akan lama. Aku hanya ingin membayar utang pada Bu Darmi. Jika terlalu lama, Ibu merasa malu padanya," ucapnya. Rama hanya menganggukkan kepalanya.

​Lalu, Bu Maya pun langsung pergi menuju rumah Bu Darmi, salah satu tetangga jauhnya yang cukup memiliki hubungan baik dengannya.

​Setelah memastikan Bu Maya tak terlihat lagi, Rama pun langsung masuk menuju ruang tamu dan duduk di sana sembari berkata pada sistem di kepalanya.

​"Sistem, keluarkan surat izin pindah sekolah itu, aku ingin melihatnya," bisiknya pelan.

​[DING! Permintaan diterima. Menampilkan Item 'Surat Izin Pindah Sekolah SMA Bakti']

​Tiba-tiba, sebuah cahaya kebiruan yang sangat redup dan nyaris tidak terlihat melintas di udara di hadapan Rama, seolah menembus dimensi. Perlahan, cahaya itu memadat dan berubah wujud menjadi selembar kertas resmi.

​Di tangan Rama kini tergenggam selembar Surat Resmi berkop SMA Bakti. Kertas itu terasa nyata dan memiliki tekstur seperti dokumen penting.

​Rama membacanya dengan cepat.

​SURAT PERNYATAAN IZIN PINDAH SEKOLAH

​Nomor: S.P.P.S / 14 / II / 20XX

​Yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Sekolah SMA Bakti, dengan ini menyatakan bahwa siswa:

​Nama: Rama Setiawan

​Kelas: XII IPA 2

​NIS: XXXXXX

​DIZINKAN UNTUK PINDAH SEKOLAH ke institusi pendidikan lain atas permintaan pribadi/keluarga, terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat ini.

​[Terdapat Tanda Tangan Kepala Sekolah dan Stempel Resmi SMA Bakti]

​Jantung Rama berdebar kencang. Ini adalah yang ia butuhkan. Bukan sekadar isapan jempol, melainkan dokumen sah yang didapatkan tanpa proses birokrasi yang rumit. Berkat Sistem miliknya, semua itu benar-benar bisa diatasi.

​"Terima kasih, Sistem. Aku benar-benar beruntung telah memilikimu. Kehadiranmu sungguh membawa berkah sekaligus mempermudah hidupku," Ungkap Rama dengan tulus.

​[SISTEM]: Terima kasih kembali, Tuan. Sistem akan selalu menyediakan semua kebutuhan Tuan, berikut dengan misi-misi yang harus Tuan selesaikan.]

Rama baru saja menyembunyikan Surat Izin Pindah Sekolah di dalam saku celananya ketika suara pintu depan terbuka dengan cepat terdengar. Itu bukan suara Bu Maya yang perlahan, melainkan suara langkah kaki yang tergesa-gesa.

​"Kak Rama!"

​Bela muncul dari balik pintu, wajahnya memerah karena kecemasan dan emosi yang campur aduk. Ia mengenakan seragamnya yang sedikit kusut dan basah oleh keringat.

​"Bela. Kamu sudah pulang?" sambut Rama, berusaha terdengar tenang sambil bangkit dari kursi tamu.

​Bela tidak menjawab sapaan Rama. Ia langsung menghampiri Rama, tangannya memegangi lengan Rama dengan cengkeraman kuat, matanya memancarkan kekhawatiran dan amarah kecil.

​"Kenapa Kakak tidak menungguku?" tuntut Bela, suaranya sedikit bergetar. "Aku mencarimu saat jam istirahat kedua dan kamu sudah tidak ada! Kenapa kamu pulang begitu saja tanpa bilang padaku?"

​"Aku hanya—"

​"Jangan bilang hanya mengurus surat pindahan!" potong Bela cepat, suaranya naik satu oktaf. "Kak, apa yang kalian bicarakan di ruang kepala sekolah? Apakah Pak Guntur memarahimu? Apakah dia mengeluarkanmu dari sekolah? Atau—jangan-jangan Kakak akan dilaporkan pada polisi karena telah membuat Deni terluka?"

​Beberapa pertanyaan langsung Bela lontarkan membuat Rama hanya bisa menatap mata gadis itu lekat. Hatinya menghangat ketika melihat kecemasan gadis itu.

​"Tenanglah, Bela. Jangan terlalu khawatir," Rama memegang kedua tangan Bela. "Kakak tidak dihukum. Pak Guntur melepaskanku begitu saja. Tidak ada laporan ke polisi, tidak ada masalah hukum. Aku sudah bilang, semuanya akan baik-baik saja."

​"Dilepaskan?" Bela mengerutkan kening, bingung. "Itu tidak mungkin. Pak Guntur tidak akan pernah melepaskan orang yang menyakiti Deni semudah itu, bahkan jika Kak Rama yang benar sekalipun. Lalu, surat pindahmu? Apa Pak Guntur memberikannya padamu?"

​Rama diam sejenak. Ia tidak mengatakan bahwa surat itu adalah hadiah dari Sistem. Agar tidak menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, ia terpaksa berbohong dan membiarkan Bela berpikir bahwa ia mendapatkan surat itu langsung dari Pak Guntur.

​"Ya, aku sudah mendapatkannya," Jawab Rama.

​"Hah... Benarkah?" seru Bela, sedikit tidak mempercayainya. Setelah memukuli anak Kepala Sekolah itu, Rama bukan hanya tidak menerima hukuman, tetapi ia juga ternyata masih bisa mendapatkan surat izin pindah sekolah tersebut.

​Rama tersenyum samar, lalu merogoh saku celananya dan menyerahkan lembar kertas surat itu pada Bela. Bela yang tidak percaya pun langsung mengambil surat itu dengan cepat dan memeriksanya.

​Ada keterkejutan sekilas terpancar di wajah Bela ketika membaca surat itu, tetapi kemudian ia menghela napas lega. Semua kekhawatiran di dalam hatinya menghilang, digantikan dengan kelegaan.

​"Syukurlah... Aku benar-benar khawatir Kakak akan menerima hukuman berat dari Pak Guntur," Ucap Bela sembari mengembalikan kertas itu pada Rama.

​"Gadis bodoh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan... Tidakkah kamu merasa bahwa aku sekarang bukan lagi seperti Rama yang dulu?" ucap Rama. Gadis itu langsung menatapnya tanpa berkedip. Pertanyaan tentang perbuatan Rama sudah ia ungkapkan sebelumnya, terutama tentang perubahan fisiknya.

​"Hmm... sejak kapan Kakak bisa melawan Deni dan teman-temannya? Bukankah dulu Kakak dibuat terluka oleh mereka? Apakah selama ini Kakak memang sengaja agar terlihat lemah, ataukah Kakak termasuk orang yang suka dipukuli tanpa melawan?"

​Jelas sekali itu membingungkannya, apalagi Bela menyaksikan sendiri bagaimana Rama mengalahkan Deni dan kawannya di sekolah tadi.

​"Ah... itu..." Rama merasa terjebak oleh ucapannya sendiri. Ia tidak tahu harus menjawab apa karena semua perubahan yang terjadi terhadap dirinya berkaitan dengan Sistem, yang jikapun dijelaskan tidak mungkin ada yang mempercayainya.

​"Humph... Lupakan. Aku masih kesal sama Kakak karena telah meninggalkanku," karena tak kunjung mendapat jawaban, Bela pun mengalihkan pembicaraan. Wajah cemberut itu justru terlihat lucu di mata Rama.

​Rama langsung tersenyum seketika, menyentuh kepala gadis itu mengusapnya dengan lembut dan berkata, "Pergilah berganti baju, Kakak akan memasak makanan kesukaanmu sebagai permintaan maaf karena telah meninggalkanmu."

​Bela langsung mendongak dengan senyum merekah di bibirnya. "Janji ya, pokoknya setelah Bela mengganti baju... Bela langsung mendatangi Kakak ke dapur!"

​Ucapnya dengan semangat, lalu langsung bergegas memasuki kamarnya.

​Rama hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah gadis itu, dan juga dirinya langsung menuju dapur untuk menyiapkan masakan kesukaan gadis itu.

1
Was pray
amat pendek
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
lanjut
Memyr 67
𝖽𝗂𝗍𝗎𝗇𝗀𝗀𝗎 𝗄𝖾𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍𝖺𝗇𝗇𝗒𝖺
Was pray
ceritanya lumayan menarik tapi up nya gak pasti
Memyr 67
𝗇𝖺𝗆𝖺 𝗍𝖾𝗆𝖺𝗇 𝖺𝗒𝖺𝗁𝗇𝗒𝖺 𝗋𝖺𝗆𝖺 𝗌𝗎𝗉𝗋𝗂𝖺𝖽𝗂 𝖺𝗍𝖺𝗎 𝗌𝗎𝗁𝖺𝗋𝖽𝗂? 𝗄𝗈𝗄 𝗀𝖺𝗇𝗍𝗂 𝗀𝖺𝗇𝗍𝗂?
Akamcad949: ah terimkasih udah di kasih tau, maaf mungkin ada sedikit typo di sana🙏
total 1 replies
kenzo
crazy up Thor
TUAN AMIR
mantap Thor. sambung lagi. ceritanya menarik 👍👍
Fatkhur Kevin
deni sampah
Saepul Laut
mantap bos ku
Rhagiel
saya sih oke....hihihiiiiii 🫣
Abdul Khoidir Hatala
keren
Abdul Khoidir Hatala
lanjutkan Thor
Durma Imamudin
cukup menghibur
Andira Rahmawati
buah naganya buat bela aja ..q juga suka☺️..
lanjut thorrrr💪💪💪
Andira Rahmawati
cerita yg menarik...👍👍👍
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
Nice Thor
Santoso
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
shookiebu👽
Keren abis! 😎
Odalis Pérez
Gokil banget thor, bikin ngakak sampe pagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!