Irsyad mendapat tugas sulit menjadikan Bandung Medical Center sebagai rumah sakit pusat trauma di Bandung Timur.
Kondisi rumah sakit yang nyaris bangkrut, sistem yang carut marut dan kurangnya SDM membuat Irsyad harus berjuang ekstra keras menyelesaikan tugasnya.
Belum lagi dia harus berhadapan dengan Handaru, dokter bedah senior yang pernah memiliki sejarah buruk dengannya.
Bersama dengan Emir, Irsyad menjadi garda terdepan menangani pasien di Instalasi Gawat Darurat.
Terkadang mereka harus memilih, antara nyawa pasien atau tunduk dengan sistem yang bobrok.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari yang Sibuk
“Code blue!!”
Bergegas Irsyad berlari menuju ruangan nomor lima. Nampak di sana dokter Panca sedang memberikan CPR pada pasien anak.
“Apa yang terjadi?”
“Aku belum sempat memeriksanya. Dia sudah mengalami henti jantung ketika baru dipindahkan,” jawab dokter Panca sambil terus melakukan CPR.
Irsyad segera memeriksa keadaan anak tersebut. Dia melihat memar di beberapa bagian tubuh. Sepertinya luka memar didapat saat mobil terguncang dan terbalik ketika kecelakaan terjadi. Luka memar terlihat luas dan bengkak. Selain itu luka robekan di bagian lengan membuatnya curiga. Karena aliran darah yang keluar terkesan lambat seperti terhambat.
“Dia mengalami cedera vena,” ujar Irsyad.
Setelah beberapa saat, detak jantung pasien kembali. Dokter panca segera turun dari ranjang. Dia mengusap keningnya yang berkeringat.
“Apa terjadi pembentukan gumpalan darah?”
“Ya, saat ini dia mengalami emboli paru. Dia harus secepatnya dibawa ke ruang operasi.”
“Baik, dok.”
Dokter Panca bergegas menuju nurse station. Dia harus segera menyiapkan ruang operasi, dokter bedah dan anestesi. Dan yang paling penting, menghubungi orang tua korban.
Panca masih berusaha menghubungi orang tua korban ketika ranjang anak yang tadi ditanganinya didorong suster untuk dibawa ke ruang operasi. Di belakangnya Irsyad berjalan dengan cepat.
“Dokter, orang tua korban masih belum bisa dihubungi.”
“Hubungi terus. Aku akan mengoperasinya sekarang.”
“Tapi orang tua pasien belum bisa dihubungi.”
“Nyawa pasien dalam bahaya. Aku yang akan bertanggung jawab.”
Tak ingin berdebat terlalu lama, Irsyad segera berlari menuju ruang operasi. Tak ada pilihan bagi Panca selain melakukan apa yang diperintahkan Irsyad. Pria itu meminta Farah untuk terus menghubungi orang tua korban, sementara dirinya akan menangani pasien lain.
Sementara itu, Emir tengah menangani pasien yang mengalami cedera sedang. Pasien anak itu mengalami pergeseran tulang panggul akibat kecelakaan yang dialaminya.
“Siapa nama mu?” tanya Emir.
“Vino.”
“Oke Vino, tulang panggul mu sedikit bergeser. Aku akan mengobatinya, apa kamu siap?”
“Apakah sakit?”
“Sedikit.”
Emir membenarkan posisi kaki Vino. Dia meminta suster untuk memegangi bagian atas tubuh anak itu. Kemudian pria itu memegang pangkal kaki Vino yang tulang panggulnya bergeser.
“Vino, kamu kelas berapa?”
“Kelas delapan.”
“Apa pelajaran favorit mu?”
“Olahraga.”
“Oh ya? Olahraga apa yang kamu suka?”
“Futsal.”
“Kapan terakhir kamu bertanding? Coba ceritakan.”
Emir sengaja mengajak Vino bicara, untuk mengalihkan pikiran anak itu. Sambil mendengarkan cerita Vino, Emir mulai bersiap untuk membenarkan posisi panggul anak itu. Dengan gerakan cepat, dia membenarkan panggul yang bergeser. Terdengar teriakan Vino ketika Emir membenarkan posisi panggulnya. Prosesnya sendiri berlangsung hanya dalam hitungan detik.
“Panggul mu sudah kembali seperti semula.”
“Benarkah?”
“Ya.”
Vino sedikit menggerakkan tubuh bagian bawahnya. Rasa sakit yang tadi dirasakan sudah tidak ada lagi. Wajah anak itu menyunggingkan senyuman.
“Terima kasih, dokter.”
“Sama-sama.”
Selesai menangani Vino, Emir berpindah ke ranjang lain. Seorang suster menangani pasien anak yang merasakan sesak di bagian dada. Anak itu nampak kesulitan bernafas.
“Apa yang terjadi?”
“Dia seperti kesulitan bernafas, dok. Saya sudah memanggil dokter Gusti, tapi dia tadi sedang sibuk.”
“Siapa nama mu?”
“Dani.”
“Dani, apa kamu kesulitan bernafas?”
“Iya.”
“Apa kamu merasakan nyeri di sini?”
Emir mengetuk pelan dada anak itu. Dani pun menganggukkan kepalanya. Terdengar suara batuk anak itu.
“Ada udara terperangkap dalam paru-parunya. Ambil peralatan, aku akan melakukan torakosentesis.”
Torakosentesis adalah prosedur medis untuk mengeluarkan cairan dari ruang pleura (rongga antara paru-paru dan rongga dada) dengan menggunakan jarum.
“Apa tidak perlu melakukan rontgen dulu, dok?”
“Tidak perlu. Cepatlah sebelum keadaan anak ini memburuk!”
Suster tersebut segera berlari mengambil peralatan. Sebelumnya dia mengatakan pada Farah akan tindakan yang diambil Emir. Farah pun bergegas mencari keberadaan Gusti. Setahunya Emir adalah dokter residen tahun kedua. Dia tidak boleh melakukan tindakan torakosentesis tanpa pengawasan dokter spesialis. Berhubung dokter spesialis emergensi sedang tidak bertugas, wanita itu terpaksa mencari Gusti.
Perawat yang tadi sudah kembali ke dekat Emir. Pria itu segera mengoleskan cairan antiseptik pada area kulit yang akan ditusuk olehnya. Sebelum melakukan torakosentesis, lebih dulu Emir menyuntikkan anestesi lokal. Kemudian dia mencari area penusukan, lokasinya di atas tulang rusuk.
Pelan-pelan Emir menusukkan jarum. Sang perawat hanya mampu menahan nafas. Berharap Emir tidak melakukan kesalahan. Di saat bersamaan Gusti sampai ke dekat mereka.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Torakosentesis. Apalagi?” jawab Emir santai. Dia kini sedang mengeluarkan cairan dari dalam paru. Cairan disedot ke dalam spuit atau kantong. Setelah semua cairan keluar, Emir mencabut jarum kemudian menutup bekas tusukan dengan perban.
“Selesai. Apa sekarang sudah lebih baik?” tanya Emir pada Dani.
“Iya, dok.”
Emir menepuk pelan lengan Dani kemudian meninggalkan ranjang anak itu. Gusti langsung mengejar dokter residen itu. Apa yang dilakukan Emir menurutnya terlalu berani. Apalagi tidak ada dokter spesialis yang mengawasi tindakannya barusan.
“Kamu tahu kalau kamu tidak boleh melakukan tindakan itu tanpa pengawasan.”
“Siapa yang akan mengawasi? Bukankah dokter Ilham tidak ada di sini?”
“Kamu juga melakukannya tanpa melalui rontgen lebih dulu.”
“Terlalu lama. Lagi pula dugaan ku benar. Udara di parunya sudah dikeluarkan dan kondisi anak itu selamat.”
Dengan santai Emir meninggalkan Gusti yang masih terlihat kesal padanya. Diam-diam Emir tersenyum saja. Semua yang berada di IGD hanya tahu kalau dirinya adalah dokter residen bedah tahun kedua.
Tanpa mereka tahu sebelum mengambil residensi bedah, dia sudah menyandang gelar sebagai spesialis emergensi. Emir sengaja merahasiakan hal ini. Dia ingin melihat dulu sejauh mana kemampuan dokter yang ada di IGD ini.
***
Hanya dalam waktu tiga puluh menit, Irsyad sudah selesai melakukan operasi emboli paru. Dia hanya melakukan prosedur embolisasi endovascular atau pembedahan invasif minimal. Selesai mengoperasi anak itu, sekarang waktunya mengoperasi Naura. Pasien yang mengalami robekan di area pahanya.
“Halo Naura,” sapa Irsyad ketika bed anak itu didorong memasuki ruang operasi.
“Halo dokter.”
“Sudah siap?”
Naura menganggukkan kepalanya sambil melemparkan senyuman. Irsyad mencuci tangannya lebih dulu, baru kemudian memasuki ruangan operasi. Nayraya yang membantu proses operasi segera memasangkan jas bedah dan juga sarung tangan padanya.
Dokter anestesi sudah memberikan anestesi pada Naura. Obat sudah mulai bekerja dan Naura sudah kehilangan kesadaran. Irsyad pun bersiap untuk mengoperasi anak itu.
***
Kesibukan di IGD sudah mulai berkurang. Dari 35 pasien yang dibawa ke rumah sakit, hanya tujuh pasien yang mengalami luka berat dan harus dilakukan operasi. Delapan orang mengalami cedera sedang dan sudah berhasil ditangani, sisanya hanya mengalami cedera ringan.
Semua tim medis sedang berkumpul di ruang istirahat sambil menikmati minuman dingin. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Dari arah luar muncul Handaru. Pria itu baru saja kembali ke rumah sakit. Tadi dia sedang bertemu dengan calon investor.
“Aku dengar korban kecelakaan bus pariwisata dibawa ke sini.”
“Iya, dok. Total pasien ada 35. Tujuh mengalami cedera berat dan sudah dioperasi, kondisi mereka sejauh ini stabil. Delapan orang mengalami cedera sedang, sudah ditangani dan dipindahkan ke ruang perawatan. Sisanya mengalami cedera ringan. Mereka sedang menunggu wali untuk menjemput,” jelas Gusti panjang lebar.
“Aku juga dengar dokter baru sudah tiba hari ini.”
“Iya, dok. Mereka dokter barunya.”
Tangan Gusti menunjuk pada Irsyad dan Emir. Sontak Irsyad langsung berdiri. Pria itu mendekati Handaru yang cukup terkejut melihat dirinya.
“Halo dokter Irsyad.”
“Halo dokter Handaru.”
“Tidak disangka akan bertemu dengan mu di sini.”
“Aku juga tidak menyangka anda menjadi direktur rumah sakit ini.”
“Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah di Ibnu Sina posisi mu sudah baik?”
“Tentu saja untuk mengawasi mu.”
“Aku pimpinan di sini dokter Irsyad. Aku yang akan mengawasi mu. Di Ibnu Sina, kamu bisa bertindak sesuka mu, tapi tidak di sini. Ingat, aku bukan hanya direktur rumah sakit, aku juga dokter kepala bedah di sini. Setiap keputusan yang kamu ambil, harus melalui persetujuan ku.”
Handaru menepuk pelan lengan Irsyad lalu keluar dari ruangan. Raut wajahnya jelas menunjukkan ketidaksukaan. Begitu pula dengan Irsyad, kekesalan begitu jelas di wajahnya.
Semua yang di dalam ruangan hanya bisa melihat tanpa bisa mengerti apa yang terjadi di antara keduanya.
***
Akhirnya mereka ketemu juga
yg ada pasien bedah kecantikan malah jadi pasien bedah jantung n jadi pasien kejiwaan gegara liat pasien lain yg masuk IGD dengan kondisinya beneran gawat n darurat juga bikin yg liat stress 😂😂