Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Pelanggaran, Kartu Merah?
"Aaa... sudah, sudah. Geli!" rengek Yuri.
Sekarang giliran dia yang digelitik oleh Kenan, posisinya meringkuk di atas sofa di bawah kungkungan dosennya itu.
"Rasakan ini!" Kenan tertawa renyah, badannya makin condong ke depan, memangkas jarak antara wajah mereka hingga nyaris nggak tersisa.
"Aw... Aw..." ringis Yuri tiba-tiba, tangannya refleks memegang perutnya.
Raut wajah Kenan seketika berubah, dipenuhi rasa khawatir. "Kenapa? Masih sakit ya?" Tangan Kenan berhenti menggelitik. Ia mencoba menarik tubuhnya mundur.
"Tapi bohong!" ledek Yuri sambil tertawa keras, matanya memancarkan kenakalan.
"Kamu ini, ya!" Kenan pura-pura marah. Ia beralih memainkan pipi Yuri, mencubitnya pelan seolah pipi itu adalah squishy yang empuk.
"Hwaaa... Jwangan mwayinkan Pwipwi akyu, Kyenan Bwalaa," Yuri berbicara dengan susah payah karena pipinya ditarik ke depan.
Kenan makin terbahak, tawanya lepas, sampai ujung matanya mengeluarkan sedikit air mata. Ia seperti menemukan mainan baru yang nggak terduga dalam diri mahasiswinya ini.
Merasa pipi Yuri mulai memanas karena terlalu sering di-uyel-uyel, Kenan menghentikan aksinya. Kini, tangannya mengelusnya pelan, menghilangkan rasa sakit mungkin akibat cubitan tadi. Yuri sibuk menenangkan diri dan mengatur napas yang terengah. Bibirnya sedikit terbuka, memancarkan rona merah.
Kenan menatap bibir itu. Matanya yang gelap memancarkan sesuatu yang sulit dibaca. Keheningan tiba-tiba menyelimuti mereka, menenggelamkan tawa riang sebelumnya.
Perlahan, sangat perlahan, Kenan memajukan wajahnya lagi. Yuri hanya bisa menahan napas. Apa yang akan dia lakukan? Tiba-tiba—
"Hmmm," Yuri melotot kaget. Tubuhnya kaku seketika.
What the hell, Man!
Kenan—dosennya sendiri—saat ini menciumnya. Bibir Kenan menempel di bibir Yuri. Hembusan hangat napasnya bisa Yuri rasa membelai wajahnya. Matanya hanya bisa berkedip salah tingkah di bawah cahaya remang. Pikirannya kosong. Bingung.
Rasa cokelat bercampur stroberi, sisa puding yang mereka makan tadi, memenuhi indra penciuman Yuri. Kenan memejamkan matanya, seolah menikmati momen itu sepenuhnya. Ia mulai melumat lembut, berusaha menerobos pertahanan Yuri. Ciumannya begitu nyata, basah, dan menuntut.
Tepat saat Yuri ingin mendorong badan Kenan karena otaknya baru menyadari betapa gilanya situasi ini—lampu ruangan tiba-tiba menyala.
Jebret.
Giliran Yuri yang menutup mata karena silau yang mendadak. Kenan segera mundur perlahan. Badannya ia sandarkan di sofa, sementara tangannya menutupi sebagian wajahnya. Ia sibuk mengatur napasnya.
"Hah... Hah... Hah," suaranya lirih terdengar jelas di telinga Yuri, memecah keheningan yang mematikan.
Perlahan Yuri membuka mata, menegakkan kembali badannya. Punggungnya terasa panas.
Mungkin, kami sudah kelewatan bercandanya tadi, ucap Yuri dalam hati, mencoba mencari alasan logis untuk menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang.
Kenan menatap Yuri dengan pandangan yang rumit, dipenuhi penyesalan, hasrat, dan kebingungan. Tangannya menyugar rambutnya yang berantakan. Padahal selama ini, model comma hair-nya selalu on point. Malam ini, Yuri seolah melihat sisi lain Kenan, sisi yang rapuh dan impulsif.
"Maaf, Yurika."
Oh, tidak. Yuri harus bagaimana? Menjawab apa? Marah? Kesal? Kecewa? Tapi... Tapi... Dia menikmati. Jauh di lubuk hatinya, dia merasa nyaman dan bahagia saat bercanda, bahkan saat dicium, oleh Kenan.
Yuri belum juga membalas perkataan Kenan. Dia hanya mengedipkan matanya polos, mencoba memproses segalanya.
"Maaf ya," Kenan mengulangi, kini meraih tangan Yuri. Jari-jari mereka saling bertaut.
"Hehehe," hanya tawa layaknya orang bodoh yang bisa Yuri berikan malam ini. Tawa yang canggung dan nggak berdaya, tawa yang menyembunyikan sesuatu di dalam dadanya.
***
"Woi... What's up, Bro," sapa teman Ezra yang lain. Mereka bertukar sapa dengan tos khas ala pria.
Ezra dan Bimbo datang lebih dulu di kafe tempat teman-teman tim basket mereka biasa nongkrong.
"Tumben, Zra, mau ikut nongkrong. Nggak sama si Ayang?" goda salah satu teman mereka.
"Bang," Ezra sedikit membungkukkan badan sopan saat melihat Nero, senior mereka, bergabung. Ia nggak menggubris godaan yang lain.
Memang baru kali ini Ezra akhirnya mau gabung ikut nongkrong bersama yang lain. Sudah hampir dua tahun Bimbo dan teman-teman lain membujuk agar Ezra sesekali ikut bermain bersama mereka. Ezra yang terkenal dingin dan anti-sosial memang sulit diajak kumpul.
Nero.
Ezra juga baru tahu bahwa seniornya itu ikut bergabung di perkumpulan ini. Padahal, semuanya adalah teman seangkatan Ezra, nggak ada seorang pun yang seangkatan dengan Nero.
Nero menyapa dengan senyum ramah seperti biasa. Obrolan santai khas laki-laki mulai mengudara, dari bahasan pertandingan NBA dan sepak bola di Eropa, merembet ke games online, dan akhirnya berakhir membahas para perempuan, termasuk hubungan Ezra yang ramai jadi bahan pembicaraan.
"Jadi bener, Zra, lo pacari adik kelas kita itu?" tanya salah satu yang duduk di sebelah Ezra.
"Gue juga heran, kapan lo PDKT-nya, tahu-tahu jadi aja. Hebat euy," tambah yang lain.
Nero terus mengamati dalam diam. Senyumnya samar, tapi matanya mulai menunjukkan minat yang nggak wajar.
"Jangan-jangan Lo ngibulin kita kali. Biar lo nggak dikejar-kejar Kak Tania lagi," ledek lainnya.
Godaan itu sukses membuat mata Nero mulai berubah keruh. Nama Tania, wanita yang terang-terangan dia sukai—walaupun nggak pernah membalas perasaannya—disebut di sini.
"Kagaklah. Gue sudah suka sama dia dari lama, dan ternyata dia suka gue balik. Ya sudah jadi," jawab Ezra santai.
"Ha? Sesimpel itu?" Teman-teman Ezra cengok, nggak percaya bahwa awal kisah percintaan bisa sesingkat dan semulus itu.
"Buset, itu jalan tol apa gimana. Mulus banget, Zra."
Bimbo yang sibuk bermain games di ponselnya cuma bisa tertawa lirih, karena teman-temannya seolah nggak percaya dengan pengakuan Ezra yang terkenal anti-perempuan dan super dingin itu.
"Terus, Tania gimana?" Nero tiba-tiba bersuara, mengalihkan fokus pembicaraan.
"Ya, gue sudah sering bilang ke Kak Tania kalau gue nggak bisa sama dia. Tapi dia terus ngejar, Bang. Maaf nih, Bang," Ezra merasa sungkan karena ia tahu Nero adalah teman seangkatan Tania, dan Nero juga sering menaruh perhatian pada wanita itu.
"Eh... Itu bukannya Kak Tania?" tanya salah satu teman yang nggak sengaja melihat ke arah meja kasir.
"Tania," panggil Nero. Wanita itu baru saja selesai melakukan pembayaran di kasir, tampak dandanan santai tapi sedikit dempul.
"Hai," sapa Tania dengan antusias, tetapi matanya melirik Ezra sebentar dan sedikit acuh memalingkan muka, berusaha menjaga harga diri di depan teman-teman Ezra.
Ezra sendiri lanjut sibuk bermain games online bareng Bimbo dan beberapa teman lainnya, seolah nggak terpengaruh oleh kehadiran Tania. Di seberang meja, Tania sibuk mengobrol basa-basi bareng Nero sambil sesekali dia melirik Ezra yang fokus dengan ponselnya. Ada raut kecewa yang jelas di wajah Tania, dan Nero menangkap itu dengan sangat jelas.
Nero sendiri sedang memikirkan rencana apa yang akan dia lakukan ke depan. Ezra adalah penghalang ganda: di satu sisi merebut kekuasaannya di tim basket, di sisi lain menghalangi Tania.
Drrrt. Drrrt.
Bel getar ala kafe di tangan Tania berbunyi, memberitahu pesanan minumannya sudah siap. Segera dia berjalan kembali menuju kasir sekalian pamit pada lainnya.
"Gue balik dulu, Bro," ucap Nero pada yang lain. Dia berdiri dan bertos ria dengan semua yang ada di meja. Nero pergi, tetapi otaknya bekerja keras, merangkai benang-benang permusuhan secara senyap pada Ezra dengan rapi.
Btw, aku mampir nih kak. Seru ceritanya. Semangat 😊💕💕