Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan atha
Segera Zayn keluar setelah mendengar suara ribut di depan. Dari jauh ia melihat seseorang tengah berdebat dengan security. Pasukan sudah bersiap, membuatnya cepat-cepat mendekat untuk melihat siapa yang datang.
Semakin dekat, wajah-wajah itu makin jelas. David, ayah Sila… Anggun, mama Sila… dan tentu saja, Sila sendiri.
“Ada apa lagi keluarga gila ini datang?” Zayn menggerutu dalam hati. Ia segera berbalik masuk dan melapor pada Atha.
“Tuan, Tuan David datang bersama istri dan anaknya. Sepertinya ada masalah,” lapor Zayn cepat.
“Apa lagi ini… ayo keluar,” ucap Atha sambil bangkit. Zayn dan Arvino langsung mengikuti di belakangnya.
“Hubungi Alfin. Sepertinya ini ada hubungannya dengan Tuan Muda, kalau gadis gila itu datang,” bisik Zayn.
“Kau benar, pasti ada kaitannya dengan Tuan Muda,” balas Arvino sambil merogoh ponsel di sakunya. Setelah mengirim pesan, ia berlari menyusul Atha dan Zayn ke depan.
Di halaman depan, Atha sudah berdiri tegak.
“Buka gerbangnya. Biarkan mereka masuk,” perintah Atha.
Security segera membuka gerbang. David, istrinya, dan Sila melangkah masuk. David yang wajahnya sudah merah padam langsung berdiri tepat di hadapan Atha.
“Atha! Apa-apaan putramu menampar putriku?!” teriak David. Ia bahkan tidak lagi memanggil “Bang”, tapi langsung menyebut nama Atha.
Zayn dan Arvino spontan hendak maju, namun Atha mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka tetap di tempat. Keduanya pun mundur selangkah, berdiri tepat di belakang Atha.
Atha sendiri tidak menanggapi teriakan David, membuat Anggun—istri David—makin kesal. Ia maju dengan emosi yang jelas terlihat.
“Apa kau bisu?! Kau tidak pernah mengajari putramu yang angkuh itu! Sama saja seperti istrimu yang—”
Dan…
PPPLLLAAAKKKKKK!!
Suara tamparan itu menggema keras.
Kretak…
Satu tamparan keras melayang ke wajah Anggun. Tubuhnya terpelintir, darah menetes dari sudut bibirnya, dan ia terhempas ke lantai. Sila dan David terkejut, membeku beberapa detik sebelum—
“Mama!!” jerit Sila sambil berlari menghampiri ibunya. Wajah Anggun tampak mengenaskan, bibirnya berdarah, ia bahkan sulit bicara.
David menoleh pada Atha dengan tatapan yang sulit dijelaskan—antara marah, takut, dan tidak percaya.
“Apa-apaan kau, Atha?!” teriak David.
Namun belum sempat ia mendekat—
Syuuuhh…
Bugh!
Kreetaakk—
“Aaarrrggghhh…!” David menjerit, tubuhnya terhuyung dan darah mengalir dari mulutnya. Sila menatap ayahnya dengan horor.
“Papa!!” Sila menangis. Ia tak tahu harus bagaimana ketika melihat ayahnya tersiksa, napas tercekat, tubuhnya gemetar, dan jelas tidak mampu berdiri. Atha hanya menatap mereka datar—tanpa emosi sedikit pun.
“Hiks… hiks…” Tangis Sila pecah. Kedua orang tuanya terluka parah, semua karena ulahnya.
Atha melangkah mendekat. Dalam sekejap, satu tangan besarnya mencengkeram leher Sila dan mengangkatnya tinggi, membuat kakinya terangkat dari tanah.
“Saya sudah menahan diri,” ucap Atha dingin, suaranya rendah dan menakutkan. “Tapi kau selalu membuat ulah. Selalu mengusik putraku. Wajar jika ia menamparmu.”
Lalu—
Syuuuhh…
BRAAAKKK!
Tubuh Sila terlempar keras ke dinding beton, membuatnya mengerang panjang. Rasa sakit membuat seluruh tubuhnya gemetar. Kali ini Atha benar-benar tidak menunjukkan belas kasihan pada keluarga itu.
David terkulai di tanah, sulit bernapas, sedangkan Anggun hanya bisa meneteskan air mata. Tenggorokannya seperti tersumbat, ia berusaha bicara namun hanya gumaman tak jelas yang keluar.
Atha masih menatap mereka datar sebelum perlahan berjalan mendekat ke arah Anggun, yang kini hanya bisa memandang dengan ketakutan penuh.
“Berani sekali kau menghina anak dan istriku. Selama ini kalian selalu mencari masalah denganku, dan aku diam. Tapi diamku justru membuat kalian semakin menjadi-jadi…” ucap Atha dengan suara rendah namun tajam.
Ia menoleh pada Zayn. Tanpa perlu bicara, Zayn langsung mengerti. Ia berlari mendekat dan menyerahkan pedang panjang ke tangan Atha. David dan Sila terbelalak ketakutan.
David mencoba merangkak mendekati istrinya, namun—
Syuuuh…
Sreet!
Tuss—
Gerakan cepat yang bahkan sulit dilihat oleh mata membuat tubuh Anggun terhempas tanpa daya. David dan Sila membeku beberapa detik sebelum akhirnya—
“Mamaaaa!!”
Sila menjerit, merangkak mendekati tubuh ibunya sambil menangis histeris. David pun ikut jatuh bersimpuh, gemetar, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Kau tega, Bang… kau tega melakukan ini pada istriku…” teriak David dengan suara serak dan putus asa.
“Paman! Kau kejam! Kau… kau pembunuh!” Sila ikut berteriak, suaranya pecah.
Atha hanya menatap mereka dengan wajah tanpa ekspresi. “Bagaimana, Sila? Bukankah semua ini terjadi karena ulahmu sendiri? Kalau kau tidak bertingkah dan memancing masalah, tidak ada satu pun dari ini yang terjadi.”
Tanpa menunggu jawaban, Atha berbalik dan pergi begitu saja, diikuti Zayn dan Arvino.
David dan Sila lemas, tak berdaya. Mereka hanya bisa memeluk tubuh ibu yang sudah tak bergerak.
Setelah beberapa saat, David menoleh ke putrinya dengan tatapan tajam.
“Apa maksud perkataan Atha tadi, Sila? Kau berbohong lagi?” suaranya bergetar menahan marah dan luka.
Sila menangis, dadanya sesak. “Papa… maafkan aku…”
“Jadi benar? Kau berbohong?!” teriak David.
“Maafkan aku, Papa… Tapi memang benar Kak Fandi menamparku… karena aku menyakiti wanita yang ada di rumah Kak Fandi… dan itu membuatnya marah…”
David memejam, frustrasi dan hancur. “Lihat apa akibat ulahmu, Sila! Lihat apa yang terjadi pada ibumu!”
Plaaakk! Plaaakk!
Dua tamparan mendarat di wajah Sila, membuatnya terhuyung mundur sambil menangis.
David sendiri mulai kesulitan bernapas. Ia mencoba mengangkat tubuh istrinya, namun tubuhnya goyah dan ia hampir jatuh.
Melihat itu, pasukan Atha yang ada di depan berlari mendekat.
“Biar saya bantu, Pak,” ucap salah satu dari mereka.
David hanya mengangguk lemah. Ia dipapah oleh seorang pasukan, sementara pasukan lainnya mengangkat tubuh Anggun menuju mobil.
Sila hendak ikut naik, namun security menghadangnya.
“Kami tidak diberi izin membawa Anda masuk,” kata mereka tegas.
David menoleh lemah. Ia ingin bicara, namun napasnya terlalu berat.
“Bapak kuat menyetir?” tanya pasukan yang membantu.
David menggeleng, menahan sakit di dadanya.
“Kalau begitu biar saya saja yang menyetir. Kita ke rumah sakit lebih dulu,” katanya sambil bertukar pandang dengan rekannya.
Mobil itu pun melaju pergi, diikuti satu mobil pasukan Atha di belakangnya.
Sila tertinggal di depan gerbang, sendirian. Security menutup gerbang di depan wajahnya.
Sila mematung, tubuhnya gemetar. Tangannya menutup mulut, suara lirih keluar dari bibirnya.
“Mama…”
⸻
Kembali ke kontrakan Rora dan Rami.
“Gimana? Udah ada balasan belum?” tanya Rami.
“Belum…” Rora terlihat frustrasi sekaligus cemas.
Tiba-tiba—
Ting!
Notifikasi masuk ke ponsel rora.
“Hah! Akhirnya! Dia kirim alamatnya. Ayo sekarang!” seru Rora spontan berdiri.
“Tunggu. Kamu yakin? Kalau kita dijebak bagaimana?” Rami tampak ragu.
“Buat apa menjebak kita? Sudah, ayo!” Rora menarik lengan Rami dan mereka langsung naik motor.
Motor melaju cepat, Rora memacunya tanpa ragu. Setelah sekitar 35 menit, mereka berhenti di depan sebuah rumah besar, mewah, dan terpencil.
“Kamu yakin, Ra?” Rami menelan ludah.
“Gak tahu. Tapi… itu security-nya.” Rora menunjuk ke arah depan.
“Terus kenapa security-nya?” tanya Rami bingung.
“Gini saja. Aku masuk sendiri. Kamu tunggu di sini. Kalau satu jam aku gak keluar… kamu cari bantuan, ya.”
“Kamu yakin?” tanya Rami lagi, suaranya kecil.