Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Gadis itu, kamu!
.
“Aku apa, Kak?” Aya mengerutkan kening bingung.
“Aku jatuh cinta pada seorang gadis.”
Duarrr
Aya terkejut dengan ucapan Marcel. Dadanya berdetak cepat. Pria yang ia cintai diam-diam telah jatuh cinta pada seseorang. Aya menghirup udara banyak-banyak untuk menetralkan hatinya yang terasa nyeri.
Aya membalas genggaman tangan Marcel sambil tersenyum manis. “Kalau begitu, kenapa tidak diungkapkan saja, Kak? Katakan padanya tentang semua perasaan kakak. Kakak tidak boleh ragu sebelum berjuang.” ucap Aya. Walaupun terasa sakit, tapi ia akan mengikhlaskan jika Marcel bahagia dengan wanita lain.
Marcel menatap lekat ke arah wajah Cahaya meneliti setiap perubahan wajah gadis itu. “Apa menurutmu dia akan menerimaku?” tanyanya.
Lagi-lagi cahaya tersenyum. “Kenapa tidak? Kakak orang yang baik. Lagi pula Kakak juga kaya raya. Kakak harus berani mengungkapkan perasaan Kakak padanya. Lagi pula kakak tidak akan tahu hasilnya sebelum mencoba.” Di dalam rasa sakitnya cahaya terus memberikan semangat kepada pria itu.
“Aku akan mengatakan perasaanku padanya.”
Cahaya mengangguk. Senyumnya tetap tulus meskipun hatinya sakit.
“Gadis yang aku cintai itu adalah,,,”
Cahaya merasa jantungnya dipompa semakin cepat saat Marcel menggantung ucapannya.
“Gadis yang perlahan telah mencairkan hatiku yang beku. Gadis yang telah meruntuhkan tembok pertahananku. Gadis yang selalu tersenyum tulus. Gadis yang selalu bersemangat. Gadis yang selalu memiliki pemikiran positif. Gadis itu adalah,,, kamu. Cahaya Maheswari.”
Duarr…
Cahaya tersentak. Gadis itu tertegun mendengar Mama yang disebut oleh Marcel. Jantungnya berdebar kencang mendengar pengakuan pria itu. Ia menatap mata Marcel, mencari kebohongan, namun yang ia temukan hanyalah ketulusan.
"Aku,,,?" bisiknya. Suara gadis itu bahkan bergetar.
Marcel menggenggam tangannya semakin erat. "Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu. Aku tahu aku tidak sempurna, dengan masa lalu dan penampilanku. Tapi, aku sungguh-sungguh dengan perasaanku. Aku mencintaimu, Aya."
Cahaya menunduk, menggelengkan kepala. Bukan masa lalu Marcel yang saat ini ia pikirkan. Bukan juga penampilan pria itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia bahagia mendengar pengakuan Marcel, sangat bahagia. Namun, di saat yang sama, ia juga merasa takut.
Kata-kata Nyonya Syifana tentang bibit, bebet, dan bobot terngiang di benaknya. Ia hanyalah seorang gadis sederhana dengan kekurangan fisik, sementara Marcel adalah seorang seorang tuan muda bangsawan. Marcel adalah putra dari majikannya.
Marcel bersedih melihat reaksi gadis itu. Iya berpikir kalau Aya tidak bisa membalas cintanya. “Jadi aku ditolak?” tanyanya. “Sudah aku duga.” Marcel melepaskan genggamannya pada tangan Cahaya sambil tertawa getir.
"Tidak.” Cahaya menyahut cepat. Membuat Marcel kembali menoleh padanya dengan tatapan tidak mengerti.
“Sebenarnya… aku juga sudah lama menyukai kakak. Maaf, aku jatuh cinta pada tuan muda Marcel. Tapi aku,,, aku tidak pantas untuk Kak Marcel." Suara cahaya begitu lirih nyaris tak terdengar.
Marcel mengangkat dagu Cahaya, memaksanya untuk menatapnya. "Siapa bilang kamu tidak pantas? Kamu lebih dari pantas, Cahaya. Kamu adalah wanita paling baik dan tulus yang pernah aku temui. Kamu mampu merubah pandanganku terhadap dunia. Kamu yang menghangatkan kebekuanku. Aku benar-benar jatuh cinta padamu.”
"Tapi, Nyonya,,, " Cahaya menggantungkan kalimatnya, ragu untuk melanjutkan.
Marcel mengerutkan kening. "Mama? Apa hubungannya dengan Mama?"
Cahaya menghela napas panjang. "Aku pernah secara tidak sengaja mendengar Nyonya berkata, Kak Marcel akan dijodohkan dengan wanita yang sepadan. Wanita yang memiliki bibit, bebet, dan bobot yang sama dengan keluarga besar Dirgantara."
Marcel terdiam sejenak.Keningnya berkerut. Apakah Cahaya berada di sekitar mereka pada saat mamanya mengatakan tentang perjodohan.
"Cahaya, dengarkan aku! Aku tidak peduli dengan bibit, bebet, dan bobot. Aku hanya peduli denganmu. Aku yang akan bicara pada Mama. Aku akan meyakinkannya bahwa kamulah wanita yang aku inginkan."
Cahaya menatap Marcel dengan tatapan ragu. "Apa Nyonya akan setuju?"
Marcel tersenyum lembut. "Aku akan memperjuangkan cinta kita. Aku tidak akan menyerah sampai Mama merestui hubungan kita."
Cahaya terharu mendengar kata-kata Marcel. Ia tahu, memperjuangkan cinta mereka tidak akan mudah. Tapi, ia percaya pada Marcel dan cintanya.
"Baiklah, Kak," ucap Cahaya dengan mantap. "Aku akan mempercayai Kak Marcel."
Marcel tersenyum lega. Ia menggenggam tangan Cahaya semakin erat, seolah tidak ingin melepaskannya. "Terima kasih, Cahaya. Terima kasih sudah memberiku kesempatan."
“Aku yang berterima kasih Kak. Aku bahkan tidak menyangka diriku yang seperti ini dicintai oleh seorang tuan muda seperti Kak Marcel.”
“Kenapa harus bicara seperti itu? Hamba sahaya atau tuan muda itu hanya sebutan di mulut manusia. Di mata Tuhan kita semua sama, yang membedakan adalah akhlak kita.”
Aya mengangguk. Taman itu menjadi saksi bisu pengakuan cinta yang menghangatkan hati. Setelah itu Marcel dan Aya menghabiskan waktu berdua di sana. Bercengkrama, berbagi cerita dan sesekali tertawa lepas.
"Aya, aku tidak pernah sebahagia ini," ucap Marcel sambil menggenggam erat tangan gadis itu.
"Aku juga, Kak. Aku merasa seperti mimpi,” balas Aya sambil tersenyum manis.
"Ini bukan mimpi, Aya. Ini kenyataan.” Marcel mengusap lembut pipi Aya. "Aku berjanji akan membuatmu bahagia."
Mereka terus bercanda dan tertawa, menikmati setiap detik kebersamaan. Hingga matahari mulai merunduk, sinarnya yang keemasan menyinari wajah mereka, menciptakan siluet indah di antara pepohonan.
"Sudah sore, Kak," kata Aya, memecah keheningan. "Sebaiknya kita pulang."
Marcel mengangguk setuju. "Baiklah. Ayo kita pulang."
Dalam perjalanan pulang, Aya tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Marcel berkata akan mengungkapkan hubungan mereka kepada Nyonya Syifana. Aya harap-harap cemas, memikirkan bagaimana reaksi majikannya itu.
"Kamu kenapa diam saja?" tanya Marcel, menyadari kegelisahan Aya.
"Aku... aku takut, Kak," jawab Aya lirih.
"Takut kenapa?"
"Aku takut Nyonya tidak merestui hubungan kita," ungkap Aya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku bukan siapa-siapa, Kak. Aku tidak pantas untuk Kak Marcel."
Marcel menghentikan mobilnya di tepi jalan. Ia menatap Aya dengan tatapan lembut. "Jangan bicara seperti itu, Aya. Kamu pantas untukku. Kamu adalah wanita yang aku cintai. Aku tidak peduli dengan kondisi fisik, status atau latar belakangmu."
"Tapi, Kak..."
"Dengarkan aku," potong Marcel. "Aku yang akan bicara pada Mama. Aku akan meyakinkannya bahwa kamulah wanita yang aku inginkan. Aku akan memperjuangkan cinta kita, Aya. Percayalah padaku."
Aya menatap Marcel dengan tatapan penuh harap. "Aku percaya padamu, Kak," ucapnya.
Marcel tersenyum lega. Ia mengusap air mata Aya dan kembali menjalankan mobilnya.
.
Mobil Marcel berhenti di halaman luas rumah keluarga Dirgantara. Marcel membuka pintu mobil dan menggenggam tangan Aya saat turun.
Nyonya Syifana, yang kebetulan sedang berada di teras, menatap kedatangan mereka dengan pandangan menyelidik. Aya merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Kegugupan melandanya, hingga tanpa sadar, ia melepaskan genggaman tangan Marcel.
Marcel menyadari perubahan sikap Aya. Ia menoleh ke arah gadis itu dan memberikan senyuman menenangkan.
"Jangan khawatir, ada aku!”
. cuit cuit