Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran Menghadapi Ayah
Keira dalam di lema besar. Ia tak akan pernah ambil pusing jika ini hanya menyangkut dirinya, tapi kini saat memiliki keluarga ia baru tahu rasanya. Perasaan yang selama ini tak pernah rasakan, perasaan takut membuat kecewa takut memberi luka.
Tanpa ia sadari tangannya bergetar, ini semua kali pertama baginya. Dulu saat menjalankan misi, ia hanya khawatir akan keselamatannya dan rekam se tim. Ia yang biasa hidup keras dari remaja tak pernah merasakan bagaimana rasanya di khawatirkan dan melukai perasaan siapa pun. Jika ia salah atasan akan memberinya hukuman fisik cambuk atau pukulan saja.
Namun, ini. Saat hanya di suruh membawa ayahnya untuk sidang komite Keira hampir tak sanggup. Ia hanya berdiri mematung di koridor yang ramai.
Jav mendekat, menepuk bahunya pelan. "Tenanglah. Aku akan mencari cara untuk membantumu, ya."
Guru BP itu mencoba memberi rasa aman pada Keira. Ia tahu betul jika Keira tak sepenuhnya salah. Namun, Keira segera menolak.
"Tak perlu, Pak. Saya bisa atasi ini sendiri," ungkapnya. Ia bergegas pergi meninggalkan tempat ramai itu.
Keira menyusuri lorong yang sepi, sangat kontras dengan suasana riuh di koridor.
Suasana hening itu membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ini memang yang ia butuhkan.
Keira yang dulu juga selalu dalam kesendirian, sepi dan sunyi. Namun, dalam semalam hidupnya tiba-tiba berubah penuh dengan tantangan yang baru.
Di teras kelasnya yang sepi. Keira berjalan perlahan menuju tiang. Ia bersandar, bahunya merosot lemas.
Kepalanya tertunduk menatap sepatu yang terlihat usang. "Gimana ini? Gimana caranya aku kasih tau ayah. Aduh... aku bingung."
Keira yang frustasi mengacak-acak rambutnya. Bahkan kaca matanya sampai terjatuh ke lantai.
Di tengah keputusasaannya, tangan lembut menepuk pelan pundaknya. "Tenanglah, Keira. Aku akan ikut pulang denganmu. Kita hadapi ayahmu bersama ya. Lagi pula ini semua kan bermula dariku."
Raut wajah Larisa memelas, seakan meminta Keira menyetujui sarannya.
'Apa aku iyakan aja ya. Setidaknya ayah akan percaya, dan aku juga bingung harus ngomong gimana,' batin Kala, ia merasa tawaran Larisa ada benarnya.
Keira mengangguk. "Baiklah. Tolong ya, bantuin. Soalnya aku bingung ngomongnya ke ayahku."
Larisa menggelayuti lengannya dengan raut muka sumringah.
Keira yang masih tak terbiasa dengan pelukan itu melepas jemari Larisa di ikuti senyum tipis.
Larisa yang faham karena memang mereka belum sedekat itu menarik tangannya perlahan.
Jam Pulang Sekolah.
Pukul empat sore akhirnya kelas berakhir. Keira pulang bersama Larisa seperti yang mereka sepakati.
Mereka pulang seperti siswa pada umumnya, ceria dan penuh suka cita, namun langkah mereka terhenti saat Violeta tengah berdiri di depan pintu gerbang bersama gengnya.
Keira tau persis mereka memang tengah menunggunya.
Larisa yang berjalan di sampingnya mendesis, tubuhnya terguncang. Bahkan siswa yang lain mulai menjaga jarak tak ingin ikut terlibat.
"Gimana ini. Mereka pasti mau cari gara-gara lagi Keira," ujar Larisa, ia melambatkan langkahnya bersembunyi di belakang Keira.
Keira hanya menyunggingkan bibirnya tipis. "Biarkan saja. Aku mau liat mereka mau apa."
Langkah Keira tetap seperti biasa tenang dan terkontrol. Ia bahkan mengabaikan Violeta saat keluar gerbang. Namun, mereka segera menyusul.
"Tunggu!" teriak Violeta berlari mengejar mereka.
Keira berhenti berbalik menatapnya dengan sorot mata tajam menusuk. "Apa lagi?"
"Lo habis kali ini Keira. Gue gak tau lo dapat kekuatan itu dari mana, tapi yang jelas masa depan Lo udah berakhir," ujar Violeta, terlihat jelas ia sedang mencibirnya.
Langkahnya angkuh dan mendekat. "Lo udah bikin anak ketua komite koma, masa depan lo yang cemerlang akan ilang seketika. Dan aku pastikan Lo akan di hukum berat."
"Gimana sekarang takut kan, Lo?" cecar Violeta, kedua tangan bersendekap, kesombongan sangat nampak.
Tapi Violeta salah. Dia fikir Keira akan terpengaruh dan akan memohon padanya untuk membantunya terlepas dari semua tuduhan itu, justru Keira yang di kenalnya hanya tersenyum lebar dan mengancam.
"Heh, takut? Ngapain aku harus takut. Lagi pula aku gak berbuat salah sama sekali. Justru kalian harusnya sadar, jika terus berbuat kayak gini kalian mungkin akan bernasip sama seperti Audrey," ungkapnya mengancam.
Keira melangkah ke depan. Tatapannya mengintimidasi. "Kalian yang akan berakhir jika terus menggangguku, jadi stop, jangan pernah coba-coba cari masalah denganku."
"Ayo, Larisa."
Keira memutar tubuhnya dan berjalan menjauh.
"Liat aja lo Keira. Mereka gak akan biarin lo lolos gitu aja!" teriakan Violeta menggema di trotoar yang sangat ramai.
Keira dan Larisa tak mempedulikan mereka tetap berjalan dengan santai. Namun, Larisa segera ingat sesuatu saat Violeta meneriakkan kata-kata itu.
Langkahnya tiba-tiba berhenti. "Gawat!" katanya panik.
Keira tersentak dan menoleh, ia pun terkejut. "Ada apa?"
"Jangan-jangan yang mereka maksud itu pacarnya Audrey. Gawat-gawat! Kita dalam bahaya Kei."
Larisa benar-benar terlihat panik. Bahkan ia celingukan mencari sosok yang Keira sendiri tak tahu siapa itu.
Keira meraih pergelangan tangan Larisa, sentuhannya berhasil menenangkan Larisa.
"Tenanglah.Percaya padaku, mereka gak akan nyakitin kita," ucap Keira meyakinkan.
"Tapi Kei. Yang aku dengar, pacar Audrey itu bukan orang sembarangan," jelas Larisa mencoba memberitahu Keira. "Dia ... terkenal jago berantem. Bahkan semua siswa di sekolahnya semuanya tunduk padanya, dia juga suka memeras mereka."
Keira terdiam. Langkahnya kini penuh perhitungan. Bukan takut, tapi lebih memikirkan mungkin ini tujuannya terbangun di tubuh Keira.
Dunia pendidikan tengah tidak baik-baik saja. Terlalu banyak perundungan yang bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Mereka tak hanya melakukan sekali. Tapi setiap ada kesempatan mereka akan terus melakukannya. Keira merasa ia harus mencari tahu apa penyebab mereka melakukan itu semua.
"Tenanglah, Larisa. Percaya aja padaku," ungkapnya senyumnya sedikit menenangkan Larisa.
Tak terasa mereka telah tiba di halte bus. Dan tak butuh waktu lama bus datang mereka segera naik.
Keira dan Larisa duduk di kursi belakang. Suasana di dalam bus cukup riuh, canda tawa para siswa membuat Keira merasa bahagia. Dia yang tak pernah mengenyam pendidikan seperti siswa lainnya, kini akhirnya bisa merasakannya.
Keira menatap jauh ke luar jendela. Menatap padatnya hiruk pikuk kota dengan segala aktivitasnya.
Drrt! Drrt! Drrt!
Getar ponsel membuyarkan lamunannya. Keira meraih ponsel di saku bajunya.
Ia melihat nomor pengirim pesan. Itu nomor yang dia kirim pesan waktu itu.
[Tubuh Kala sudah kami semayamkan dengan layak. Tapi siapa kau sebenarnya, bagaimana bisa kau menemukan tubuh Kala?]
Keira terdiam beberapa detik menatap layar ponselnya. Ia berfikir mungkin harus menemui sepengirim pesan itu.
Di matikan lagi ponsel dan di simpannya kembali ke saku bajunya. Ia tak berniat untuk membalas pesan itu, menurutnya belum saatnya ia menemui si pengirim pesan.
Tak lama bis berhenti di halte terakhir. Larisa bergegas turun di ikuti Keira. Mereka masih perlu berjalan untuk sampai ke rumah Keira.
Saat tiba di depan rumah sekaligus restoran, Keira dan Larisa berhenti di ambang pintu.
"Masuklah, ayo bantu ayah. Pelanggan ayah banyak hari ini," teriak Marvin yang terlihat sangat sibuk melayani para tamu.
Namun, Larisa segera bersembunyi di balik tubuh Keira. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Sosok di dalam restoran berhasil membuatnya ketakutan setengah mati.
Aku jadi inget sama YML, dia kan dibunuh gegara memegang kunci rahasia besar.
Semoga tiada yang curiga kalau Keira masih hidup, dan matilah kamu wahai Dewa Agung
wuuu bara api mulai menyala.. ayo, hab*skan dan hanc*rkan semua yang menyakiti..