Ditipu Kekasih, Dinikahi Tuan Muda Kaya

Ditipu Kekasih, Dinikahi Tuan Muda Kaya

01. Pulang

.

"Apa kau benar-benar akan pulang, Aya? Tidak ingin berpikir ulang?"

Lima tahun lamanya Cahaya, atau yang biasa akrab dipanggil Aya, mengabdi sebagai pembantu rumah tangga di kota metropolitan. Hari ini, ia akan pulang, karena lima hari lagi adalah hari pernikahannya. Senyum lebar terukir di wajahnya, mencerminkan kebahagiaan yang selama ini ia rindukan. Akhirnya, ada seseorang yang menerima dirinya apa adanya, mencintainya dengan tulus.

Nyonya Shifana, majikannya, menatapnya dengan sendu. Rasa kehilangan tampak jelas di mata wanita yang masih cantik di usianya yang tak lagi muda itu. Nyonya Shifana, istri dari Tuan Dirgantara, telah menganggap Aya sebagai bagian dari keluarganya. Sesuatu yang acap menimbulkan rasa iri di antara sesama pembantu.

"Iya, Nyonya. Saya minta maaf jika ada salah kata dan sikap selama bekerja di sini," jawab Aya, air mata menetes membasahi pipinya. Berat rasanya meninggalkan keluarga kaya yang telah begitu baik padanya. Mereka telah memberinya lebih dari sekadar gaji. Mereka telah memberinya keluarga.

Akan tetapi, ia juga ingin memiliki kehidupan sendiri, sebuah rumah tangga yang ia impikan sejak lama. Usia dua puluh empat tahun bukanlah usia muda lagi untuk seorang gadis desa. Teman-temannya, kebanyakan, telah memiliki anak usia lima tahun. Dan jujur saja, ia merasa iri. Selama ini ia bersikap cuek, tapi sesungguhnya itu hanya untuk menutupi rasa sesak di dadanya.

Jauh di atas tangga, tersembunyi di balik pilar besar, Marcel Dirgantara, tuan muda kedua rumah besar itu, menyaksikan interaksi antara Aya dan Nyonya Shifana dengan ekspresi datar. Sorot matanya menyimpan makna yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Tuan muda yang memiliki bekas luka di wajahnya, hingga wajah itu menyerupai topeng yang mengerikan, sejatinya menyembunyikan luka batin yang jauh lebih dalam, sebuah rahasia yang terpendam.

Marcel Dirgantara, diam-diam mencintai Aya, Cinta yang tumbuh perlahan namun begitu kuat. Kehadiran Aya telah mengisi kekosongan di hatinya, menghiasi hari-harinya yang selama ini dipenuhi oleh kesunyian dan rasa rendah diri.

Akan tetapi rasa takut menghalanginya untuk mengungkapkan perasaannya. Ia takut ditolak, takut Aya merasa jijik pada wajahnya yang buruk rupa.

Melihat Aya bersiap untuk pergi, hati Marcel seperti diremas. Kepergian Aya berarti kepergian cahaya kecil yang selama ini menerangi kegelapan dalam hidupnya. Marcel menghela napas panjang, mencoba meredam perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. Ia tak mungkin menahan Aya untuk tetap tinggal. Aya berhak memiliki kehidupannya sendiri.

"Apa kamu sudah siap, Aya? Aku akan mengantarmu ke terminal bis.”

Marvel Dirgantara, tuan muda pertama muncul di tengah percakapan Aya dan Nyonya Shifana. Pria yang selalu tersenyum hangat.

“Tidak usah, Tuan Muda. Saya naik taksi saja." Aya merasa tak enak hati. Walaupun dirinya akrab dengan Tuan Muda pertama, tapi merepotkan tuan muda keluarga Dirgantara juga bukan hal yang bagus.

Marvel menggeleng lembut. "Tidak apa-apa, Aya. Lagipula, aku juga sedang ingin keluar sebentar." Nada suaranya tegas, menunjukkan bahwa ia tak akan menerima penolakan.

Aya ragu sejenak, memandang wajah ramah Marvel, lalu mengangguk. "Baiklah, kalau Tuan Muda memaksa," jawab Aya setengah bercanda. Tuan muda pertama memang baik pada siapa saja.

“Kamu ini!” Marvel menggeplak kepala Aya.

“Nyonya, Tuan Muda jahat.” Aya berpura-pura merengut dan mengadu pada nyonya Shifana.

“Syukurin. Lagi pula setelah ini dia tidak akan bisa menggodamu!”

“Nyonya….?” Aya berpura-pura merajuk karena tidak dibela.

Marvel tertawa tergelak.

Marcel, yang berada tak jauh dari mereka, menatap mereka dengan tatapan datar. Dua tangannya terkepal. Rasanya seperti ada yang menusuk jantungnya. Sakit. Pedih. Aya tertawa lepas bersama Marvel, tawa yang tak pernah ia lihat ketika bersama dirinya.

Di hadapan Marvel, Aya tampak begitu riang, berbeda sekali dengan sikapnya yang kaku dan canggung setiap kali berhadapan dengannya. Kontras yang menyayat hati. Sakit rasanya, bisa melihat tak bisa memiliki.

Akhirnya mereka bersiap berangkat. Aya menarik koper besarnya berjalan di belakang Marvel. Marcel menatap kepergian mereka dengan hati hancur. Setelah hari ini, ia benar-benar kehilangan harapan.

Cahaya, menghentikan langkahnya. Seolah merasa ada sesuatu yang tertinggal. Menoleh kebelakang, tak ada apapun. Aya menggerakkan kepalanya menatap ke atas. Tatapannya bertumbuk pada pria yang sejak tadi memperhatikan dalam diam. Aya memutar kembali kakinya hingga mereka berhadapan lurus.

Entah kenapa Aya merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Kenapa tiba-tiba merasa berat untuk melangkah?

“Ahh, tidak. Ini pasti karena aku sudah bekerja di sini dalam waktu lama,” batinnya.

Dua pasang mata masih saling tatap, Aya merasa dadanya berdebar kencang. Gadis itu menundukkan kepala lalu membungkukkan badan, pertanda dia meminta ijin undur diri. Berdiri tegak, kembali menatap wajah Marcel sebentar, lalu membalikkan badan. Mengambil napas dalam, membuang sesak yang tiba-tiba hadir, entah karena apa, ia juga tak tahu, lalu melangkah pergi.

“Selamat tinggal, Tuan Muda Kedua,” ucapnya dalam hati.

*

*

*

Perjalanan pulang terasa panjang. Makhluk manis dalam bis itu menatap keluar jendela. Ada banyak gedung-gedung bertingkat, ruko berjajar di pinggir jalan, meninggalkan kota, melewati hutan jati yang luas, melintasi hamparan sawah hijau yang terbentang.

Semilir angin masuk melalui jendela yang terbuka, menerpa wajah ayu nya. Ia akan pulang. Bertemu dengan ibu yang sudah enam bulan tidak berjumpa sejak ia pulang kampung terakhir kali. Satu-satunya keluarga yang ia miliki. Kenangan masa kecil bercampur aduk dalam benaknya.

*

*

*

Enam jam terkantuk-kantuk dalam bis, akhirnya Aya sampai juga di desa. Turun di terminal, lalu melanjutkan perjalanan dengan menumpang ojek.

Aya disambut hangat oleh ibunya. Rumah mereka yang dulu kecil, beratap seng dan berdinding bambu, kini telah berubah. Lima tahun merantau ke kota, Aya berhasil merubah perekonomian keluarga.

"Aya... Kamu sudah pulang, nak?” lirih Bu Ningsih, air mata bahagia membasahi pipinya yang mulai dihiasi keriput. Bu Ningsih membuang sapu ijuk di tangannya, berlari kecil menghampiri, memeluknya erat-erat.

"Ibu.. Aya pulang." Aya membalas pelukan ibunya, air matanya juga menetes. "Aya pulang, Bu."

Bu Ningsih tersenyum lebar. "Alhamdulillah, kamu sudah sampai dengan selamat, Nak. Bagaimana perjalananmu tadi?” Wanita tua itu mengusap kepala Aya dengan lembut.

"Alhamdulillah, aman, Bu..." Aya memeluk ibunya makin erat, merasakan kehangatan yang selama beberapa bulan ini ia rindukan.

Mereka berdua segera masuk ke dalam rumah. Aya mengerutkan kening. Bukankah kalau mau ada hajatan, rumah pasti ramai dengan tetangga yang bantu-bantu? Tapi kenapa terasa sunyi sekali. Tak ada seorangpun tetangga ada di rumahnya.

Aya merasa sedikit aneh. Walaupun memang hajatan akan diadakan di rumah mempelai pria, sesuai permintaan calon suaminya. Namun, bukankah seharusnya juga ada selamatan atau apalah keperluan lainnya. Apalagi hari H tinggal lima hari lagi.

“Kenapa tidak ada tetangga yang datang bantu-bantu, Bu?” Aya tak bisa menahan penasaran akibat rasa janggalnya.

“Engg, itu, Nak…”

Terpopuler

Comments

〈⎳ FT. Zira

〈⎳ FT. Zira

bahas soal desa sih kalo lebih dari itu belum nikah disebut perawan tua🤧🤧

2025-08-04

1

〈⎳ FT. Zira

〈⎳ FT. Zira

yuhuuu
.. hadirr mii di karya baru/Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss/
moga sukses untuk karya barunya...
vote pertama buat Aya/Kiss//Kiss//Kiss//Kiss/

2025-08-04

1

〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ ✍️⃞⃟𝑹𝑨

〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ ✍️⃞⃟𝑹𝑨

eeehhh jaman sekarang udah gak ada bis ekonomi loh, cemua nya AC /Grin/

2025-08-04

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!