Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.
Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.
Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.
Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Naya.
Naya baru saja hendak meletakkan laporan itu di meja Rio ketika langkahnya membeku seketika. Pendengarannya yang sensitif menangkap sebuah frekuensi suara yang sangat ia kenali—suara yang setiap malam ia tangisi dalam mimpinya.
Naya menoleh ke arah ponsel Rio yang sedang melakukan video call. Matanya yang biasanya dingin dan tak tersentuh, kini membelalak lebar. Ia melihat sebuah siluet pria di layar kecil itu. Pria yang rambutnya sedikit lebih panjang, yang wajahnya tampak lebih dewasa karena tempaan kerasnya hidup di London, namun tetap memiliki tatapan mata yang sama.
"Rian...?" lirih Naya hampir tanpa suara.
Di London, Rian tidak menyadari kehadiran Naya karena sudut kamera Rio hanya fokus pada wajah kakaknya. Namun Naya, yang kini berdiri di ambang pintu kantor pusat Hardi Group di Jakarta, merasa dunianya seolah meledak. Getar jantung yang selama ini ia rasakan secara batin, kini menemukan buktinya.
Di ruang kantor pusat Hardi Group yang kedap suara, waktu seolah berhenti bagi Naya. Jarinya yang sedang memegang map laporan mencengkeram kertas itu hingga sedikit kusut, namun ia berhasil menjaga ekspresi wajahnya tetap datar. Dingin.
Di layar ponsel Rio, ia melihat siluet itu. Pria itu. Rian sedang tersenyum tipis, tampak lebih kuat namun ada guratan lelah yang membuatnya terlihat lebih dewasa. Suaranya yang menyebut nama "Rian" tadi terus bergema di telinga Naya seperti melodi yang paling indah sekaligus paling menyakitkan.
Naya ingin sekali berteriak. Ia ingin merebut ponsel itu dari tangan Rio, memandangi wajah Rian lebih dekat, dan bertanya, "Bagaimana kabarmu? Kenapa kamu tidak mengabari aku?"
Namun, logika Naya bekerja lebih cepat dari perasaannya. Ia tahu di mana ia berdiri sekarang. Ini adalah markas besar ayahnya. Setiap sudut ruangan ini memiliki telinga. Kakak Dian, Rio, hanyalah seorang karyawan—Naya tidak bisa menjamin kesetiaannya jika Ayahnya Hardi mulai menginterogasi.
"Ada apa, Mbak Naya?" tanya Rio, menyadari atasannya mematung di ambang pintu.
Naya segera memutus kontak mata dengan layar ponsel itu. Ia menghela napas pendek, mengembalikan topeng profesionalnya. "Tidak ada. Saya hanya sedikit pusing karena lampu ruangan ini terlalu terang."
Naya melangkah maju, meletakkan map itu di meja Rio dengan tangan yang ia usahakan agar tidak gemetar. Ia bahkan tidak melirik ke arah ponsel itu lagi, meski hatinya menjerit meronta.
"Oh, ini adik saya di London sedang pamer teman-temannya, Mbak," ujar Rio ramah, hendak mengarahkan kamera ponselnya lebih jelas ke arah Naya, seolah ingin mengenalkan bosnya yang cantik.
"Tidak perlu, Rio. Lanjutkan saja urusan pribadimu. Saya butuh laporan itu selesai dalam sepuluh menit. Saya tunggu di ruangan saya," potong Naya dengan nada bicara yang sangat dingin, hampir kasar.
Naya berbalik dan berjalan keluar dengan langkah tegas. Begitu pintu ruangannya tertutup rapat dan terkunci, Naya menyandarkan tubuhnya ke pintu. Ia merosot jatuh ke lantai, menutupi mulutnya dengan kedua tangan agar isak tangisnya tidak terdengar keluar.
Hatinya berdegup sangat kencang. Rian ada di London. Dia masih di sanan, Bersama adik Rio.
Ada rasa lega yang luar biasa yang menyapu batinnya. Rian hidup. Rian baik-baik saja. Dan yang paling penting, Rian masih mengenalkan dirinya dengan nama yang sama—Rian yang ia cintai.
"Terima kasih... terima kasih sudah bertahan," bisik Naya di sela tangisnya yang sunyi.
Naya menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak boleh lemah sekarang. Mengetahui Rian berada di dekat lingkungan adik karyawannya adalah informasi yang sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Ia harus menjadi lebih berhati-hati. Ia harus melindungi keberadaan Rian di sana, bahkan jika itu berarti ia harus tetap bersikap seolah-olah ia tidak pernah melihat pria itu di layar tadi.
Di apartemen Dian yang hangat di London, Rian masih terpaku menatap layar ponsel yang diletakkan di atas meja. Meskipun sudut kamera Rio terbatas, Rian sempat menangkap sekelebat bayangan wanita dengan blazer hitam yang baru saja keluar dari ruangan kakaknya. Suara dingin wanita itu saat memotong pembicaraan Rio terasa begitu familiar, namun terlalu singkat untuk ia pastikan.
"Eh, Mas Rio? Masih di sana?" tanya Dian saat melihat kakaknya di layar tampak terburu-buru membereskan kertas di mejanya.
"Dian, Mas harus tutup dulu ya," ujar Rio dengan nada panik sekaligus segan. "Bos Mas baru saja masuk dan dia sepertinya sedang tidak mood. Orangnya sangat disiplin dan dingin kalau soal waktu. Mas cuma dikasih waktu sepuluh menit buat selesaikan laporan ini."
Rian mencondongkan tubuhnya ke depan, jantungnya berdegup tidak keruan. "Mas Rio, tunggu sebentar..."
"Maaf ya teman-temannya Dian! Lain kali kita sambung lagi. Salam kenal buat semuanya!" Rio segera menekan tombol merah, dan layar ponsel Dian seketika menjadi gelap.
Hening.
Rian masih menatap layar ponsel Dian yang kini hanya memantulkan bayangan wajahnya sendiri yang tampak pucat. Harapan yang tadi sempat membuncah kini menggantung di udara, menyisakan rasa sesak yang luar biasa.
"Wah, galak sekali bosnya Mas Rio," celetuk Aris mencoba mencairkan suasana, meskipun ia sebenarnya menyadari perubahan raut wajah Rian.
Dian tertawa kecil sambil mengambil ponselnya kembali. "Sudah kubilang, kan? Di Hardi Group itu tekanannya gila. Kakakku bilang putri pemiliknya memang tidak kenal ampun kalau soal kerjaan. Mungkin dia tertekan karena harus memegang beban sebesar itu di usia muda."
Rian hanya bisa terdiam. Ia meremas jemarinya di bawah meja. Suara wanita tadi—meski terdengar sangat kasar dan berbeda dari Naya yang ia kenal dulu—tetap memberikan getaran yang sama di batinnya. Ia merasa Naya ada di sana, sangat dekat dengan ponsel yang baru saja mati itu.
"Kenapa, Yan? Kamu kelihatannya penasaran sekali sama bosnya kakakku?" goda Dian sambil mulai menyantap kembali makanannya.
Rian mencoba tersenyum, meski senyum itu terasa sangat berat. "Tidak, hanya merasa kasihan saja sama kakakmu kalau bosnya segalak itu."
Di balik kalimatnya, Rian sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Ia merasa lega karena setidaknya ia mendapatkan kepastian bahwa Naya ada di Jakarta dan memegang kendali. Namun, ia juga merasa perih menyadari betapa jauhnya posisi mereka sekarang. Naya di puncak menara Hardi Group, dan ia di sini, di sebuah apartemen kecil di London, berjuang demi sebuah nama yang belum tentu bisa mencapai telinga wanita itu.
"Naya... kamu berubah sejauh itu untuk bertahan hidup, ya?" batin Rian pilu.
Malam itu, jamuan makan malam di apartemen Dian berakhir dengan perasaan yang menggantung. Rian pulang bersama Aris dalam keheningan yang lebih pekat dari biasanya. Ia tahu, tirai rahasia ini baru saja tersingkap sedikit, dan ia harus lebih cerdas untuk membuka sisanya tanpa membuat Naya berada dalam bahaya lebih lanjut.
Bersambung...