Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Nadia sudah memasuki minggu kelima di kebun teh Bibi Maya. Ia mulai terbiasa dengan ritme sederhana kehidupan pedesaan. Di mata orang lain, ia tampak membaik. Namun, tubuhnya mulai mengirimkan sinyal-sinyal aneh yang tidak bisa ia abaikan.
Beberapa hari terakhir, ia sering merasa mual hebat setiap pagi, terutama saat mencium aroma kopi yang kuat—ironisnya, aroma yang dulu ia sukai. Perutnya terasa sensitif, dan ia sering merasa kelelahan yang luar biasa, tidak sebanding dengan pekerjaan memetik teh yang sudah ia lakoni.
Awalnya, Nadia mengira ini hanyalah stres pasca-trauma atau efek buruk dari minuman yang ia konsumsi malam itu. Ia mencoba meredakannya dengan meminum ramuan herbal dari Bibi Maya. Namun, mual itu tidak kunjung hilang.
Pagi itu, saat sedang membantu Bibi Maya di dapur, tiba-tiba Nadia merasa pusing berputar. Ia buru-buru berlari ke belakang, dan memuntahkan isi perutnya dengan keras.
Bibi Maya bergegas menghampirinya, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Nadia, kamu kenapa? Sejak seminggu ini kamu selalu muntah. Jangan-jangan kamu masuk angin parah, Nak?" tanya Bibi Maya sambil memijat tengkuk Nadia.
Nadia menyeka mulutnya. Perutnya terasa kosong dan perih. "Enggak tahu, Bi. Mungkin aku cuma belum cocok sama udaranya..."
Bibi Maya menatap Nadia dengan pandangan yang menyelidik, pandangan seorang wanita yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Ia melihat kelelahan di mata Nadia, dan mual yang sangat spesifik itu.
"Nadia," kata Bibi Maya lembut, memegang kedua tangan keponakannya. "Coba jujur sama Bibi. Kapan terakhir kali kamu datang bulan?"
Pertanyaan itu seketika menampar kesadaran Nadia. Ia terdiam. Dalam kepanikannya melarikan diri, ia sama sekali tidak memperhatikan siklusnya. Ia sibuk menghitung berapa lama ia sudah menjauh dari Jakarta, bukan menghitung tanggal.
Nadia mulai menghitung mundur di kepalanya, jarinya meremas kain sarungnya. Kejadian di hotel itu terjadi sekitar lima minggu yang lalu. Jika dihitung mundur dari hari ini...
Mata Nadia membola. Sudah hampir dua bulan ia tidak melihat tanda-tanda datang bulan.
"Bi... aku..." Suara Nadia tercekat, tenggorokannya mendadak kering. Rasa dingin yang mencekam merambat dari ujung kaki hingga kepala.
"Ayo, kita ke bidan desa," putus Bibi Maya tanpa menunggu jawaban. "Jangan takut. Apapun hasilnya, Bibi akan temani kamu."
Sore itu, Nadia duduk di ruang periksa kecil yang berbau obat herbal dan antiseptik. Jantungnya berdetak kencang, menabuh genderang keputusasaan. Bidan yang ramah, Bu Siti, tersenyum dan melakukan pemeriksaan singkat.
Setelah beberapa menit, Bidan Siti meletakkan alatnya dan menatap Nadia dengan senyum lembut namun serius.
"Selamat, Nak Nadia," kata Bidan Siti pelan. "Usia kandungannya kurang lebih enam sampai tujuh minggu. Kondisimu agak lemah, jadi harus banyak istirahat dan nutrisi."
Dunia Nadia mendadak sunyi. Ia tidak mendengar lagi suara Bidan Siti atau bisikan lega dari Bibi Maya. Semua yang ia dengar adalah gema kata-kata itu: "enam sampai tujuh minggu."
Tangannya langsung memegang perutnya yang rata, seolah-olah ia bisa merasakan keberadaan janin yang asing itu.
Anak Bramantyo Dirgantara.
Air mata Nadia tidak mengalir karena kebahagiaan, melainkan karena horor murni. Pelarian yang ia rencanakan, usaha kerasnya untuk menghapus jejak dan melupakan malam kelam itu, kini sia-sia. Ada bagian dari Bramantyo yang kini tumbuh di dalam dirinya, terikat secara biologis, dan tidak mungkin lagi diabaikan.
Kartu nama hitam yang ia simpan di dompet kini terasa sepuluh kali lipat lebih berat dan lebih berbahaya.
Nadia bangkit dari tempat tidur periksa, tubuhnya limbung. Ia harus pergi. Melindungi anak ini, entah bagaimana caranya. Atau, yang lebih menakutkan, melindungi dirinya dari Bramantyo.
Jika Bramantyo tahu bahwa ia tidak hanya menolak uangnya tetapi juga membawa serta benihnya, pria dingin itu pasti akan menganggapnya sebagai ancaman yang jauh lebih besar terhadap keluarga dan reputasinya.
"Bi," bisik Nadia, suaranya parau. "Aku... aku harus pergi dari sini. Sekarang."
Bibi Maya terkejut. "Ke mana, Nak? Kamu kan sedang hamil!"
"Aku harus menjauh. Sejauh mungkin. Sebelum dia menemukanku," jawab Nadia, menatap ke arah pintu seolah Bramantyo sudah berdiri di sana. "Dia tidak boleh tahu tentang ini. Tidak akan pernah."
Kini, pelarian Nadia bukan lagi untuk harga diri, melainkan untuk dua nyawa.
Di Jakarta, tiga hari setelah Bramantyo memberikan perintah, David kembali dengan laporan lengkap. Bramantyo duduk di ruang kerjanya yang gelap, hanya diterangi oleh lampu meja, sementara ia menyesap whisky mahalnya.
David berdiri kaku, tangannya memegang tablet yang berisi hasil investigasi.
"Kami menemukan lokasinya, Pak. Nadia berada di sebuah desa terpencil di Jawa Barat, menumpang di rumah bibinya. Dia membuang ponsel lamanya dan memutuskan semua kontak," lapor David.
"Dan alasan dia menolak bayaranku?" tanya Bramantyo dingin, matanya tertuju pada api kecil yang membakar cerutu.
"Alasan penolakan tidak jelas, Pak. Tapi... ada perkembangan lain yang perlu Bapak ketahui."
David ragu-ragu sejenak, takut akan reaksi bosnya. "Tim kami mengonfirmasi bahwa Nadia baru saja mengunjungi bidan desa. Menurut catatan, usia kehamilannya diperkirakan mencapai tujuh minggu."
KLAK.
Bramantyo meletakkan gelas whisky-nya di meja. Bukan dengan benturan keras, melainkan dengan bunyi yang sangat terukur, yang justru terasa lebih mengancam. Keheningan yang tercipta sungguh menusuk.
Wajah Bramantyo tetap tanpa ekspresi. Tidak ada kejutan, tidak ada kemarahan. Hanya kalkulasi yang berjalan cepat di balik mata tajamnya.
"Tujuh minggu," ulang Bramantyo, suaranya pelan. "Tepat setelah malam itu."
Nadia bukan lagi sekadar wanita yang menolak bayarannya; dia adalah bom waktu biologis yang membawa ancaman paling serius bagi reputasi dan pernikahannya yang sempurna. Anak haram.
"Sempurna," Bramantyo menyeringai dingin. "David, segera batalkan semua pertemuan saya minggu depan."
"Apa rencana Bapak, Pak? Apakah kita akan menawarinya kompensasi yang lebih besar?" tanya David hati-hati.
Bramantyo menggeleng. "Tidak. Uang tidak akan berfungsi lagi. Jika dia sudah tahu dia mengandung, dia bisa menggunakannya sebagai senjata. Dia bisa menghubungi media. Dia bisa menghubungi istriku."
Ia bangkit, berjalan menuju peta properti yang terpasang di dinding. Jari telunjuknya yang kuat menyentuh sebuah titik terpencil, jauh di tengah hutan di perbatasan provinsi.
"Ingat rumah yang baru saja kita beli? Yang berada di tengah hutan, yang kita rencanakan sebagai tempat retret perusahaan?"
"Ya, Pak. Proyek pembangunan pagar dan keamanan baru saja selesai. Tidak ada akses jalan umum ke sana."
"Sempurna. Aktifkan rumah itu. Pasang komunikasi internal, tapi jangan ada sambungan internet. Dan David, aku tidak mau ada penjaga berseragam."
Bramantyo menoleh, tatapannya sedingin pemangsa.
"Kita akan membawanya ke sana. Aku tidak akan membiarkan benihku berkeliaran di luar kendaliku dan mengancam stabilitas keluarga Dirgantara. Dia harus berada di tempat yang tidak seorang pun, bahkan istrinya, tahu keberadaannya."
"Penculikan, Pak?"
"Penyimpanan sementara," koreksi Bramantyo, seolah-olah Nadia adalah dokumen berharga. "Dia akan tetap tinggal di sana sampai anak itu lahir. Setelah itu, kita putuskan langkah selanjutnya."
Ia menunjuk David. "Kau atur tim operasinya. Malam ini juga. Aku tidak ingin menunggu sampai besok pagi. Gunakan mobil tanpa pelat nomor resmi. Pastikan prosesnya cepat, senyap, dan tanpa jejak. Jika ada perlawanan, pastikan dia tetap tidak terluka—terutama janin itu. Dia adalah aset yang sangat sensitif."
"Baik, Pak. Saya akan menyiapkan semuanya." David membungkuk dalam, mengetahui betapa brutal dan finalnya perintah ini.
Bramantyo kembali ke mejanya, wajahnya datar. Ia mengambil pena, dan melanjutkan menandatangani dokumen seolah ia baru saja memesan makan malam, bukan menculik seorang wanita hamil yang membawa anaknya.
halo masih semangat tidak nih 😁