Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Pintu utama ruangan studio musik terbuka, menampilkan sosok tiga cowok berparas tampan sedang melangkahkan kaki masuk ke dalam seraya mengobrol serta bercanda ria secara bersama-sama. Namun, itu tidak berlangsung lama, lantaran mereka bertiga seketika menghentikan langkah kaki dan menghentikan obrolan saat melihat Mbak Ernie sedang membersihkan sesuatu di lantai dekat alat musik drum.
Mereka bertiga ingin melontarkan pertanyaan, tetapi sesegera mungkin mengurungkan niat saat mendapati sosok Livia yang kini tengah melamunkan sesuatu di atas kursi piano.
Gavin Radley Sanjaya—seorang cowok berambut abu-abu terang yang sedikit bergelombang dan berantakan, memiliki tinggi 178 sentimeter—melangkahkan kaki mendekati tempat Livia berada saat ini dengan memasang ekspresi wajah penuh akan arti. Ia menghentikan langkah kaki tepat di samping kanan Livia, sedikit membungkukkan badan, sebelum pada akhirnya membuka suara.
“Livia! Ada kebakaran!” teriak Gavin tepat di telinga kanan Livia.
Livia refleks melebarkan mata sempurna dan sesegera mungkin tersadar dari alam lamunannya. Ia buru-buru bangun dari atas tempat duduk, lantas dengan memasang ekspresi penuh kepanikan mulai mengalihkan pandangan ke arah sekeliling—berusaha mencari sumber kebakaran yang baru saja dirinya dengar.
Bukan cuma Livia yang melakukan hal itu, melainkan juga Mbak Ernie yang masih sibuk membersihkan pecahan handphone milik Azka. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena Mbak Ernie buru-buru menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap lembut dada kirinya saat menyadari bahwa itu hanyalah kejahilan dari seorang Gavin semata.
Melihat ekspresi yang sedang ditunjukkan oleh Livia, membuat Gavin tidak lagi bisa untuk menahan tawanya. Ia tertawa dengan begitu sangat lepas sambil memegangi perutnya yang mulai berubah menjadi sedikit sakit, sembari menunjuk ke arah sahabat perempuannya itu.
Livia spontan menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara tawa milik Gavin. Ia sesegera mungkin mengalihkan pandangan, merubah tatapan menjadi begitu sangat tajam, sebelum pada akhirnya mendaratkan pukulan cukup kencang di kepala salah satu sahabat baiknya itu.
“Argh! Sakit, Liv!” erang Gavin, menghentikan tawanya sambil memegangi bagian kepalanya.
“Rasain ….” Livia kembali mendudukkan tubuh di tempat semula, memperbaiki letak kacamatanya sambil melirik malas ke arah Gavin. “Salah siapa ngagetin orang.”
Darren Alvaro Pradipta—seorang cowok berambut hitam legam dengan potongan short undercut rapi, memiliki tinggi 179 sentimeter—menggelengkan kepala pelan saat melihat interaksi kedua sahabatnya itu, sebelum pada akhirnya melangkahkan kaki mendekat sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Liv, ada kejadian, kah, waktu gue sama anak-anak belum datang ke sini?”
Livia mengalihkan pandangan ke arah Darren, mengangguk pelan sambil menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. “Iya … Azka kayaknya lagi berantem besar lagi, deh, sama orang tuanya … tadi mukanya benar-benar beda banget … Gue sampai nggak berani negur sama sekali.”
Mendengar hal itu, membuat Niko Adryan Lesmana—seorang cowok berambut hitam keabu-abuan dengan potongan Messy Fringe, memiliki tinggi 180 sentimeter—yang sedang membantu Mbak Ernie mengambil beberapa serpihan handphone seketika mengalihkan pandangannya. Ia mengerutkan kening sempurna, bangun dari posisi jongkoknya dan segera berjalan mendekati tempat ketiga sahabatnya sekarang berada.
“Masalah apa lagi? Bukannya waktu itu masalahnya udah kelar, ya?” tanya Niko, menghentikan langkah kaki tepat di samping kanan Gavin, lantas bergerak untuk menyandarkan tubuh pada sahabatnya itu yang masih sibuk mengusap-usap kepala.
Livia mengangkat kedua bahu pelan. “Nggak tahu … waktu gue datang juga dia lagi ngelamun, terus mood-nya langsung berubah waktu dapat telepon dari mamanya.”
Darren mengangguk paham, kemudian mendudukkan tubuh di atas kursi drum sambil menatap kosong ke arah set alat musik di depannya. “Kayaknya masih masalah yang sama … tapi biarin aja dulu. Gue yakin dia bisa nyelesain semuanya sendiri … kayak sebelumnya.”
Livia, Niko, dan Gavin refleks mengalihkan pandangan ke arah Darren. Mereka diam sejenak, sebelum mengangguk paham dan mulai merubah topik obrolan ke berbagai macam hal—mulai dari kelas kuliah, latihan musik, hingga membahas tentang Gavin yang kemarin malam pergi untuk minum-minum bersama Azka.
•••
Suara langkah kaki seseorang sedang masuk ke dalam ruangan tengah sebuah rumah mewah nan megah terdengar, membuat dua pasangan paruh baya serta seorang cewek berparas cantik yang sudah terlebih dahulu berada di sana seketika mengalikan pandangan.
Dari tempat mereka berada sekarang, mereka dapat melihat sosok Azka tengah melangkahkan kaki mendekat dengan memasang ekspresi sangat tidak bersahabat.
Melihat kehadiran Kaizen, membuat Diana Elvaretta Argantara—seorang perempuan berumur akhir empat puluhan yang menjabat sebagai ibunda Azka—bangun dari atas tempat duduknya. Ia mengukir senyuman manis, lantas segera melangkahkan kaki mendekati tempat sang anak bungsu berada saat ini sambil memperbaiki letak selendang sutra di bahunya.
“Azka Sayang, akhirnya kamu pulang juga, Nak,” ucap Diana begitu sangat lembut, berbeda sekali dengan waktu dalam panggilan telepon beberapa saat lalu.
Azka memutar bola mata malas saat mendengar ucapan itu. Ia tidak memberikan jawaban dan memilih untuk mengalihkan pandangan ke arah tempat sang papa serta satu keluarga lain yang berada di dalam ruangan tengah rumah.
Diana menggigit bibir bawahnya cukup kencang saat tidak mendapatkan balasan dari Azka. Ia menggerakkan kedua tangan untuk menangkup wajah anak bungsunya itu, tetapi sesegera mungkin melebarkan mata sempurna saat putranya itu tanpa aba-aba memberikan tepisan cukup kencang.
“Nggak usah basa-basi. Kenapa nyuruh aku buat pulang? Terus, kenapa ada Vanessa sama keluarganya di sini? Kalian berdua masih kekeh mau jodohin aku?” cecar Azka dengan suara begitu sangat datar, sembari menatap wajah sang mama dengan penuh akan kekecewaan.
Diana sontak terdiam seribu bahasa saat mendengar pertanyaan serta melihat tatapan yang sedang diberikan oleh Azka. Ia ingin membuka suara, tetapi entah kenapa tidak bisa—rasanya tubuh serta hatinya menolak untuk sekadar mengatakan sepatah kata saja.
Azka tersenyum sinis sambil berdecak pelan, sebelum pada akhirnya berbalik badan dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar ruangan tengah. Namun, langkahnya seketika terhenti saat tiba-tiba saja mendengar suara sang papa memanggil namanya dengan suara begitu sangat keras serta lantang—dipenuhi oleh aura kendali yang begitu sangat kuat sekali—hingga membuat keluarga Vanessa sedikit terkejut karenanya.
Danil Rendra Argantara—seorang pria berumur lima puluhan awal yang menjabat sebagai ayahanda Azka—bangun dari atas tempat duduknya, sembari menatap datar ke arah punggung lebar sang anak bungsu. “Azka Elza Argantara, cukup kamu bersikap seenaknya! Sekarang duduk di sini dan nurut sama omongan Papa sama Mama! Papa nggak nerima bantahan sedikit pun! Kalau ka—”
“Kalau aku apa?” potong Azka sangat cepat, berbalik badan dan menatap wajah sang papa dengan penuh hawa amarah, “Kalau aku nggak nurut Papa akan ngancem blablabalabala … Itu yang mau Papa bilang? … Silahkan, Pa … silahkan Papa ngelakuin apa pun yang Papa mau. Aku nggak peduli sama sekali … ancaman Papa cuma angin lalu buat aku … Oh, iya … mending stop jodoh-jodihin aku sama Vanessa … karena percuma … walaupun aku mau … Yang ada Vanessa cuma bakalan aku jadiin budak pemuas napsu dan samsak tinju!”
Mendengar hal itu, membuat Danil, Diana, Vanessa serta keluarganya refleks melebarkan mata dengan tubuh menegang seketika. Mereka tidak pernah menyangka akan mendengar kalimat sekejam itu keluar dari dalam mulut cowok sebaik Azka.
Melihat semua orang yang berada di dalam ruangan tengah terkejut dengan ucapannya, membuat Azka sedikit merekahkan senyumannya, kembali berbalik badan dan melanjutkan langkah kakinya—sembari melambaikan tangan ke arah sang mama dan sang papa sebagai tanda perpisahan untuk selama-lamanya.