NovelToon NovelToon
Object Of Desires

Object Of Desires

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Pengantin Pengganti / Romansa / Kaya Raya
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Elin Rhenore

Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

A Dream That Change Everyhting

"Kayanya ini bukan jalan ke arah rumah kita deh, mas."

Vanya menyadari hal tersebut, seharusnya perjalanan rumah mereka tidak sejauh itu dan tidak melewati jalan ini. Ia menoleh ke arah Rendra, pria yang sedari tadi sibuk dengan Ipadnya itu menoleh ke arahnya. Rendra mematikan Ipadnya seketika saat ia memutuskan untuk memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibir istrinya.

"Memang bukan, beberapa hari atau beberapa minggu kita akan tinggal di apartemen saya."

"Kenapa?"

"Saya merenovasi rumah, hari ini sudah dimulai. Saya tidak sempat memberitahu kamu tadi." Rendra memperjelas. Raut wajah Vanya semakin penuh tanya.

Mengapa pula rumah mereka yang terlihat baik-baik saja bahkan terkesan baru itu harus direnovasi. Vanya bahkan belum sebulan tinggal di sana. Selama ini juga rasanya tak ada yang perlu direnovasi.

"Memangnya apa yang direnovasi?"

"Saya menambahkan ruang untuk private gym, jadi saat renovasinya selesai kamu tidak perlu lagi gym di luar."

Mata Vanya membulat, apa ini gara-gara kecerobohannya waktu itu? Menggunakan brallete saat gym di sasana yang terletak tak jauh dari komplek perumahan mereka. Walau sasana itu diperuntukkan hanya untuk perempuan rasanya dia memang salah karena pakaiannya terlalu terbuka.

"Karena waktu itu ya? Sebenarnya kamu tidak perlu sampai merenovasi rumah. Aku tidak akan mengulanginya lagi dan juga—" Vanya ingin menjelaskan lebih lanjut namun ucapannya terpaksa harus menggantung di udara karena Rendra memotongnya.

"Di rumah tidak akan ada yang melihatmu."

"Apa maksudnya itu?" mendengar itu, Vanya langsung memicingkan alisnya. Apa maksud dari perkataan Rendra ini sama sekali tak dimengerti olehnya. Memangnya kenapa jika orang lain melihatnya.

"Mereka hanya melihat."

"Saya tidak suka milik saya juga dinikmati oleh orang lain, apalagi mereka adalah bawahan saya sendiri."

Dan Vanya barusaja tersadar jika tak lagi menemukan dua bodyguardnya ada di sekelilingnya. "Kamu memecat mereka, Mas?!" Vanya tak sadar suaranya meninggi di akhir kalimat.

"Saya tidak suka menjelaskan dua kali, Anantari. Apa bisa dimengerti?"

Vanya memutar tubuhnya menghadap ke depan, wajahnya cemberut dengan kening yang berkerut dalam. Tentu ia bisa mengerti jika Rendra tak suka menjelaskan lebih dari sekali. Pria itu selalu menuntut pendengarnya mengerti hanya dengan sekali penjelasan yang terkadang tidak jelas bagi Vanya.

"Apa sih salah mereka, kamu yang ngotot untuk kasih aku bodyguard, kamu juga yang pecat mereka. Kadang aku merasa nggak bisa ngerti jalan pikiranmu, Mas" Vanya tak mengatakannya dengan lantang, hanya gerutuan rendah karena ia sangat kesal dengan perilaku Rendra yang di luar nalar.

"Kamu tidak perlu mengerti jalan pikiranku, Anantari. Cukup berada di sampingku saja sudah cukup." Dan ya, Vanya terkejut bukan main saat Rendra membalas ungkapan isi hatinya itu dengan suara lembut. Vanya tak lagi membalas, ia kesal dan tak mau menggubris Rendra.

"Dan kamu juga tidak perlu khawatir tentang keperluanmu. Shouta sudah membawa kebutuhanmu."

"Tentu! Tentu saja, kamu selalu mengatur semuanya sesuai kemauanmu sendiri, 'kan? Semuanya harus seperti apa yang dikatakan oleh Tuan Rendra Adiatmaharaja." Vanya kembali menggerutu, kali ini lebih keras, ia bahkan menoleh sedikit melihat ke arah Rendra.

Namun, siapa yang sangka saat itu juga Rendra sedang menatapnya dengan tatapan yang tajam. Vanya tak peduli jika Rendra tersinggung dengan ucapannya, apa yang dikatakannya adalah fakta.

Vanya kira Rendra akan membalas ucapannya. Nyatanya, pria itu kemudian hanya menghela nafasnya dan mengalihkan pandangannya seolah-olah tak ingin melakukan perdebatan dengan Vanya untuk mempertahankan harga dirinya. Seolah-olah ia menerima saja apa yang dikatakan oleh sang istri.

Keheningan pun menyelimuti seisi mobil, sopir yang sedari tadi hanya diam saja fokus menyetir, ditambah lagi perang dingin di antara Vanya dan Rendra. Hanya deru mobil yang menandakan bahwa mereka masih berada di dimensi yang sama.

Hingga akhirnya mereka pun sampai pada gedung bangunan menjulang, sopir telah menurunkan keduanya di loby apartement. Vanya hanya mengikuti Rendra yang diam seribu bahasa. Mereka memasuki lift, Vanya membiarkan Rendra memimpin karena ini pertama kalinya bagi Vanya tahu tentang apartemen ini. Ia bahkan tidak peduli tombol berapa yang dipencet oleh Rendra.

"Bagaimana hari pertamamu kerja?" tanya Rendra memecah kesunyian yang hampir menjadi satu kesatuan dengan mereka.

"Aku kira, Mas Rendra nggak peduli." Vanya menjawab acuh tak acuh sembari menyandarkan tubuhnya pada dinding lift.

"Saya sangat peduli, apapun tentang kamu saya peduli, Anantari." Suaranya rendah hampir seperti menggoda.

"Buktinya hari ini Mas Rendra nggak kasih tahu aku kalau Ibu mau menemuiku."

"Maafkan saya, pekerjaan saya banyak. Saya juga harus mengurus urusan Pak Widjaya."

"Pak Widjaya?" Vanya merasa janggal saat Rendra memanggil ayahnya dengan sebutan seperti itu. "Kenapa manggilnya gitu, kan itu ayahnya Mas Rendra."

"Saya tidak minta dia jadi ayah saya. Lupakan tentang dia, saya ingin tahu tentang kamu," terma Rendra sembari menoleh ke arah Vanya.

Vanya melihat Rendra yang menoleh ke arahnya melalui dinding lift yang seperti cermin, darisana ia bisa tahu jika tatapan Rendra terlihat seperti seseorang yang sedang lelah. Vanya ingin menoleh dan menanyakan apa yang terjadi seharian ini kepada pria itu hingga tampak begitu lelah. Namun, suara lift telah sampai pada lantai yang dituju itu membuatnya mengurungkan niatnya.

Untuk kesekian kalinya, Rendra memimpin jalan. Di lantai tersebut hanya ada satu pintu. Rendra langsung membuka akses pintu keamanannya. Dan terbukalah pintu apartemen tersebut. Vanya mengekor di belakang Rendra.

Tepat di langkah pertama Rendra, lampu apartemen tersebut menyala dan menampilkan kemewahan apartemen tersebut. Lantai marmer yang mengkilat membuat Vanya langsung membuka heelsnya dan menggantinya dengan sandal rumah. Ia terus mengikut di belakang tubuh sang suami.

Dari balik tubuh suaminya itu Vanya bisa melihat jendela-jendela besar membentang luas dan menampilkan pemandangan lampu kota yang tampak indah di malam hari seperti ini, perempuan itu langsung berlari kecil melewati sofa dan menuju ke arah jendela dengan pandangan takjub. Ia bisa melihat sorot lampu kendaraan yang bersilangan membelah bagian kota. Dari dalam sini ia bisa mendengar suara kota hanya terdengar seperti desahan jauh, seolah dunia luar terhenti di balik kaca tebal. Di sini, kemewahan bukan sekadar benda, tapi rasa—rasa memiliki dunia yang tak pernah benar-benar bisa disentuh orang lain.

"Mas kenapa baru ajak aku ke sini, di sini pemandangannya indah sekali." Vanya menoleh ke arah Rendra—memprotes. Pria itu sedang berdiri di bar dapur, di tangannya sudah ia pegang sebuah gelas berisi wine.

"Norak."

Vanya tidak peduli, ia kembali memperhatikan pemandangan itu dengan seksama. Merasa pemandangan itu sangat memanjakan matanya.

"Kalau setiap malam pemandangannya begini, aku bisa tidur dengan tenang."

"Bahkan tanpa pemandangan seperti itu kamu sudah tidur seperti mayat, Anantari."

"Apaan sih mas, masa nyamain sama mayat. Kalau aku jadi mayat beneran gimana?"

Mendengar ucapan Vanya itu, tangan Rendra mengerat di gelas yang ia pegang. Kelelahannya hari ini tampaknya mengembalikan sisi buruk dirinya.

"Jangan katakan hal seperti itu lagi."

"Kamu yang mulai, Mas!" Vanya lantas berbalik, ia berlari kecil dan langsung menuju ke arah Rendra.

"Maaf."

"Mana gelas buat aku?" tanyanya saat tak mendapati gelas lain di sana. Sengaja mengabaikan kata maaf Rendra yang baru dia dengarnya sekali ini selama ia tinggal bersama pria itu.

Rendra hendak berbalik untuk mengambil gelas namun Vanya malah mengambil gelas yang ada di tangan Rendra dan menuangkan wine ke dalam gelas itu hingga terisi separuh.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Berbagi," jawab Vanya sekenanya.

Rendra menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kelakuan Vanya.

"Setelah ini pergilah istirahat, kamarmu ada di sebelah sana. Semuanya sudah ada di sana. Jangan masuk ke kamarku seenaknya seperti di rumah. Apa kamu mengerti, Anantari?"

"Huft ...." Vanya menghela nafasnya. "Anantari jangan ini, Anantari jangan itu, Anantari, Anantari ... bla – bla – bla." Vanya sengaja mengejek Rendra, pria itu langsung menatapnya tajam.

"Jangan menguji kesabaranku, Anantari."

"Ya, ya, ya, aku mengerti. Ini ...." Vanya lantas mendorong gelas dari tangannya ke arah Rendra, dan meninggalkan pria itu di sana.

Mata Rendra tak berhenti mengamati pergerakan Vanya menuju kamarnya yang bersebrangan dengan kamar miliknya. Ia mengambil gelas yang disodorkan Vanya kepadanya, dan menyesap di tempat yang sama dengan bekas lipstik Vanya berada.

**

Kilatan-kilatan petir membuat suasana kamar menjadi lebih mencekam, Vanya terbangun karena ia lupa untuk menutup tirai jendela kamarnya sehingga cahaya itu bisa langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengusik kedamaian tidurnya yang biasanya tak terganggu.

Melihat tirainya terbuka dengan lebar, Vanya langsung turun dari ranjangnya dan berjalan menuju ke jendela besar itu. Awalnya menarik sisi kanan tirai yang menjulang hingga ke langit-langit. Dari situ ia bisa melihat rintik hujan yang menjadi semakin deras. Setelah itu bergantian menarik sisi yang lainnya.

Saat hendak kembali tidur tiba-tiba saja perut Vanya berbunyi, ternyata ia lapar, selain itu tampaknya ia juga akan susah tidur jika sudah terbangun seperti ini. Vanya memilih ke luar kamarnya dan menuju ke area dapur yang tidak jauh dari sana.

Lampu otomatis menyala saat Vanya melangkahkan kakinya menuju ke dapur, ia segera membuka lemari dan kabinet untuk mencari sumber pangan yang bisa ia gunakan untuk mengganjal perutnya. Tapi tak ada apapun, hanya air mineral, dan beberapa botol wine yang ditata rapi di rak bar.

"Apa-apaan ini, membawaku ke sini tapi tak ada makanan yang bisa dimaka—n." Vanya terlonjak sedikit saat sebuah kilatan menyambar, nyalanya melebihi lampu di ruangan itu. Vanya menatap ke arah jendela, padahal tirainya tertutup. Vanya menghela nafas cepat karena tak ada yang bisa dimakan ia pun memilih air putih untuk mengganjal perutnya, mungkin ia akan kembali ke kamarnya dan memesan dari layanan pesan antar saja.

"TIDAK!" Hendak kembali ke kamarnya, Vanya mendengar teriakan yang lumayan keras mengingat jika suara kilat saja samar-samar terdengar di kamarnya.

Ia tahu siapa pemilik suara ini, ia pun tahu darimana asalnya, Vanya menoleh ke arah yang berlawanan. Matanya tertuju pada pintu yang ... tidak sepenuhnya tertutup? Alis Vanya terangkat sebelah, itulah sebabnya teriakan itu bisa terdengar sangat keras.

"Apakah dia bermimpi buruk?" tanyanya dalam gumaman rendah. Vanya masih ingat perintah Rendra untuk tidak masuk ke dalam kamarnya apapun yang terjadi. "Dia sudah dewasa, dia pasti bisa menanganinya." Lantas Vanya beranjak hendak kembali ke kamarnya.

Namun, lagi-lagi sebuah teriakan terdengar dari kamar itu. Kali ini Vanya tidak menghiraukan peringatan Rendra. Setengah berlari ia menuju ke kamar pria itu dan membukanya. Saat itu ia melihat sosok Rendra tidur dengan gelisah, matanya terpejam tapi gerak tubuhnya menunjukkan jika pria itu seperti sedang mengalami sesuatu yang buruk.

Vanya langsung menuju ke arah ranjang, ia segera duduk di samping Rendra dan mencoba untuk membangunkan pria malang itu.

"Mas, bangun! Kamu hanya mimpi." Menggunakan kekuatan tangannya ia mengguncang tubuh Rendra. Namun tak ada hasilnya.

"Rendra! Bangunlah! Itu hanya mimpi!" gerakan Vanya diusahakan lebih kuat. Tetap tak ada hasil. Vanya berpikir cepat agar Rendra bisa bangun dari mimpi buruknya. "Jangan salahkan aku nanti ya, Mas. Maaf."

Dan setelah itu ia menampar keras wajah Rendra hingga pria itu akhirnya membuka matanya. Tepat saat ia membuka matanya ia langsung memeluk sosok kecil dan rapuh di hadapannya dengan erat.

Vanya sangat terkejut, tangannya masih di udara belum membalas pelukan erat seolah tak ingin kehilangan itu.

"Aku kira ... aku kira aku kehilangan—" belum sempat Rendra menyelesaikan kalimatnya ia tersadar. Menyadari bahwa Vanya telah melanggar perintahnya dan masuk ke dalam kamarnya. Sontak ia mendorong tubuh Vanya menjauh darinya. Wajahnya jelas menunjukkan rasa tak suka, seolah Vanya telah menerobos ke dalam pertahanan terakhirnya dan dirinya telah kalah telak dalam sebuah peperangan. Kurang lebih seperti itu.

"Apa yang kamu lakukan di sini, bukankah aku—" Tak berhasil Rendra mengakhiri ucapannya, Vanya sudah menyelanya.

"Aku pikir keadaannya darurat." Hanya empat kata, ada suara sumbang kekecewaan dalam setiap katanya. Vanya pikir akan mendengar kata terima kasih, nyatanya pria itu malah bersungut marah.

"Perintahku sudah jelas. Jangan masuk ke dalam kamarku apapun keadaannya. Apa kamu begitu bodoh sampai mengabaikan ucapanku?" Nada Rendra tidak tinggi, tapi setiap katanya sangat menusuk seperti duri yang tajam menyayat.

Vanya mengepalkan telapak tangannya. Wajahnya terasa panas, matanya kini berkaca-kaca. "Ya!" Vanya ingin suaranya terdengar garang, tapi yang keluar dari tenggorokannya hanya cicitan lemah. "Aku memang bodoh, sejenak aku lupa kalau kamu bukan kakakku. Aku lupa kamu pasti bisa menghadapi setiap mimpi buruk. Maafkan aku."

Rendra awalnya hendak menjawab tapi bibirnya yang terbuka hanya mengeluarkan hembusan angin belaka, tak ada kalimat bantahan, ia sepenuhnya terkejut karena Vanya tampak begitu emosional. Dan ia tahu sebabnya, karena itulah ia tak bisa mengatakan apapun untuk memberikan komentar sinis atau sindirannya seperti biasa.

Vanya berkata apa adanya, saat mendengar teriakan pertama ia masih berpikir jika Rendra pasti bisa melewati mimpi buruk. Tapi saat mendengar teriakan kedua, ia teringat malam-malam panjangnya bersama sang kakak dulu.

Kematian kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan membuat kakaknya hampir selalu mengalami mimpi buruk setiap malam. Teriakan demi teriakan, ketakutan demi ketakutan, harus dilewati Vanya. Selama bertahun-tahun ia menjadi penenang untuk sang kakak. Kini saat dihadapkan dengan situasi yang sama, secara naluri ia akan melakukan apa yang pernah ia lakukan dulu—menenangkan. Meski apa yang ia lakukan jauh dari kata menenangkan.

"Minumlah air hangat, aku tidak akan mengganggu lagi." Vanya hendak melangkah pergi saat tak ada reaksi apapun dari Rendra. Ia bangkit dari duduknya, melangkah pergi, namun saat ia baru saja menapakkan kakinya, sebuah pelukan di pinggang menghentikannya.

Bisa dirasakan sebuah kehangatan melingkari pinggang ramping Vanya. Ia juga merasakan kehangatan di punggungnya, seperti seseorang sedang menyandarkan kepalanya di sana.

"Jangan pergi." Suara Rendra terdengar rendah dan dalam.

"Bukankah kamu tidak ingin aku masuk ke sini?"

"Sekarang tidak lagi."

"Kenapa kamu begitu plin-plan, Mas?" tanya Vanya dengan suaranya yang lirih.

Rendra membalikkan tubuh Vanya, dengan posisinya yang duduk ia menghadap Vanya yang berdiri dengan mendongakkan kepalanya. Matanya terlihat sayu, sepertinya belum sepenuhnya lepas dari mimpi buruknya.

"Terhadap kamu ...." Rendra memperhatikan manik cokelat gelap milik Vanya lekat-lekat. "Saya begitu tidak berdaya, Anantari."

"Apa kamu adalah Rendra Adiatmaharaja yang aku kenal itu?" tanya Vanya dengan sedikit ledekan di dalam kalimatnya dan ia sambil sedikit menjauhkan dirinya dari Rendra, namun pengamatannya masih terkunci pada sosok tampan di depannya.

Rendra mengangguk samar, lalu tiba-tiba saja ia turun dari ranjang dan duduk di bawah.

"Kemarilah. Sepertinya, ini malam yang panjang bagi kita." Rendra menepuk tempat di sebelahnya. Vanya menurut, ia duduk di sebelah Rendra tanpa pertanyaan apapun.

"Kenapa menurutmu ini akan jadi malam yang panjang untuk kita, Mas?"

Rendra menoleh pada Vanya, tatapan keduanya saling terkunci, gejolak-gejolak emosi saling bertautan melalui pandangan itu namun tak pernah terucap melalui lisan mereka.

"Karena saya ingin melihat kamu sepanjang malam ini."

"Hanya melihat?" tanya Vanya, dengan senyuman nakal di wajahnya.

"Jangan memancing saya, Anantari. Kamu tidak akan bisa menanganinya."

"Oh benarkah? Lagipula belum dicoba."

Rendra tidak memberi jawaban apapun, ia hanya mendekatkan kepalanya dengan tatapan yang hanya tertuju pada iris cokelat milik sang istri.

Hela napas Rendra terasa hangat di kulit Vanya, jarak mereka kini nyaris tak bersisa. Suara di sekitar seakan meredam, menyisakan hanya detak jantung keduanya yang terdengar jelas. Vanya menahan senyumnya, meski sorot matanya bergetar oleh intensitas tatapan itu.

Jemari Rendra terangkat, menyusuri garis rahang Vanya perlahan, seolah menghafal setiap lekuk yang sudah begitu dihafalnya namun tak pernah membosankan.

"Kamu tahu, Anantari... ada hal-hal yang tidak perlu dicoba untuk tahu bahwa kamu tidak akan pernah lupa rasanya."

Vanya menelan ludah, senyum nakalnya tak sepenuhnya pudar, tapi kini disertai tatapan yang samar-samar mengakui tantangan itu. "Kalau begitu... buktikan." Vanya menutup matanya bersiap dengan apapun yang akan dilakukan oleh Rendra malam ini. Namun, sedetik, semenit, tak ada yang dia rasakan. Akhirnya ia membuka matanya dan melihat Rendra.

Seujung bibir Rendra terangkat, bukan senyum penuh, tapi cukup untuk membuat napasnya terasa lebih berat. Ia tak buru-buru—Rendra selalu tahu bagaimana membuat waktu berpihak padanya.

"Apa yang kamu lakukan, Anantari?"

Wajah Vanya langsung memerah dibuatnya. "Aku pikir ... aku pikir ...." Vanya benar-benar sangat malu, ia pikir Rendra akan menciumnya. Tapi pria itu justru hanya menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan oleh Vanya.

"Saya sudah mengatakannya, saya hanya ingin melihat kamu sepanjang malam ini."

Vanya mendengus kesal sembari memalingkan wajahnya yang semakin memerah. Rendra tak tinggal diam, ia menarik tubuh Vanya dan membaringkan kepala perempuan itu di atas pangkuannya hingga ia bisa melihat wajah istrinya dengan lebih leluasa. Vanya kelabakan, ia hendak bangkit tapi Rendra menahannya.

"Biarkan saya melihat kamu lebih lama."

"Kalau begitu lihat baik-baik ya, Mas. Nih!" Vanya sengaja menengadahkan kepalanya menghadap Rendra meski malunya minta ampun.

"Maafkan saya, ya, Anantari."

Deg.

Ini sudah dua kali Rendra mengatakan maaf kepadanya, ada apa sebenarnya dengan pria ini. Sungguh momen yang sangat langka sekali bisa mendengarnya meminta maaf. Tapi dalam rangka apa?

Vanya ingin bertanya tapi Rendra sudah mendahuluinya bicara.

"Jika saya bisa mengulang waktu, pilihan saya akan tetap sama. Tapi tak ada kata jika di dunia ini. Hidup yang kita jalani saat ini, perasaan kita saat ini, adalah akumulasi dari semua pilihan kita. Saya tidak menyesal."

"Aku juga tidak menyesal, Mas." Vanya yang semula memperhatikan kini membalas ucapan Rendra.

Aku tidak menyesal menjadi istrimu, Mas. Vanya membatin sembari menatap Rendra dengan tatapan yang sepenuhnya berbeda. 

...--Bersambung--...

...OBJECT OF DESIRES | 2025...

1
👣Sandaria🦋
baca satu bab, Kakak. asik nih cerita pengacara saling bakutikam di ruang sidang, kemudian saling bakugoyang di ranjang👍😆
Elin Rhenore: terima kasih kakak /Hey/
total 1 replies
d_midah
selain cantik, yang aku bayangin pipinya yang gemoy☺️☺️🤭
Tulisan_nic
sidangnya siaran langsung apa gimana Thor?
Elin Rhenore: sidangnya siaran langsung, karena sifatnya terbuka untuk umum.
total 1 replies
Tulisan_nic
Baca bab 1 udah keren banget,aku paling suka cerita lawyer² begini.Lanjut ah
Elin Rhenore: terima kasih yaaa, semoga sukaa
total 1 replies
Ayleen Davina
😍
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025
Hallo Kak. Semangat berkarya ya 🫶
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: seru ceritanya 🫶
total 2 replies
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
"istri saya" kulanjutin dah😂
Mei Saroha
ayooo kakak othorr lanjutkaann... yukkk bisa yuukkk
Elin Rhenore: sabar yaaaa hehehehe
total 1 replies
Mei Saroha
rendra bertekad untuk lindungi Vanya..
Mei Saroha
alurnya keren thorr
semangat nulisnyaa yaaaa
Mei Saroha
hareudangg euyyy
Mei Saroha
morning wood itu apa kak 😃😀😁
Mei Saroha
apakah keluarga rendra membunuh orangtua Vanya?
Siti Nina
Lanjut thor jgn di gantung cerita nya
Siti Nina
Nah lho perang akan segera di mulai
Siti Nina
Oke ceritanya 👍👍👍
Siti Nina
Meleleh gak tuh mendengar ucapan Renrda manis banget
Mei Saroha
wahh.. ini masuk KDRT bukan sih
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
good
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
nah, sumber masalah nya harus diusut nih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!