NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:285
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Padepokan Suryajenggala

...Padepokan Suryajenggala...

Angin sore Suryadwipa membawa harum dupa dan kayu cendana. Di balik pilar merah keemasan, Aula Utama Padepokan Suryajenggala bergetar oleh langkah para muridnya anak-anak usia 12 tahun, seragam hitam pekat dengan sabuk hijau melilit pinggang. Mata mereka semua tertuju pada satu hal: bocah asing yang dibawa Ki Bagawanta.

Bangunan utama/aula padepokan berdiri persis setelah halaman arca, megah dengan pilar-pilar bata tinggi yang kokoh bagaikan kaki raksasa penopang langit. Pintu masuknya berupa bingkai batu berhias kepala kala besar, gigi-giginya seperti akan menggigit siapa pun yang masuk tanpa hati bersih. Di aula tersebut terdapat 3 bangku sepanjang 100 yang digunakan untuk rapat, acara, atau saat jam makan.

Cindeloka, dengan rompi biru ternganga dibagian depan, tanpa memakai dalaman, tubuhnya atletis terlihat jelas, dengan kalung liontin tergantung di leher, rambut coklat berantakan, kulit putih bercahaya dan celana pendek yang masih basah oleh air laut, berjalan sambil mengangkat satu alis sikap tengilnya tak hilang meski baru saja hampir mati.

Ki Bagawanta berdiri di depan aula.

Suara guru besar itu menggetarkan kayu-kayu langit.

"Anak-anak... hari ini, kita kedatangan murid baru." ucap Ki Bagawanta sambil memegang bahu Cindeloka.

Bisik-bisik langsung memenuhi aula.

"Itu anak yang tadi dibawa ombak?"

"Matanya biru... kaya cerita kutukan Sunda!"

"Tapi cakep juga, ya..."

"Katanya paras tampannya bawa sial."

"Huh, jangan-jangan pulau bisa kebakaran lagi."

Cindeloka menatap mereka satu per satu, tersenyum congkak, Ia maju ke depan dengan memperlihatkan wajah tengilnya.

"Nama saya... Raden Cindeloka Tisna dari Klan Sunda. Cita-cita? Jadi Pendekar Bumi Nusantara. Kalo bisa sih... melampaui Pandega (Pemimpin Agung Bumi Nusantara) yang sekarang."

Suasana langsung pecah.

"Gila! Bocah baru langsung ngomong mau ngalahin Pandega?"

"Anak Sunda ini berani juga."

"Atau cuma bodoh?"

Cindeloka mengedipkan mata.

"Tenang, semuanya... aku tahu kalian semua kaget liat cowok setampan aku." balas Cindeloka dengan tengil

Suasana hening 3 detik.

Lalu seluruh aula meledak tawa.

Ki Bagawanta menyuruh Cindeloka duduk.

Kosong satu kursi-di samping seorang gadis.

Kulitnya putih oriental, matanya biru sabit, rambut pirang digulung rapi. Aura tegas dan dingin memancar seperti embun di senjata baja.

Puti Lisnawati Cykadwight, dari Klan Chaniago Swarnadwipa.

Gadis Minang yang terkenal galak, sensitif, dan anti didekati laki-laki.

Cindeloka melirik, senyum jail.

"Halo, nama kamu panjang banget ya. Boleh aku panggil cantik aja?" Ucap Cindeloka sambil menjabat tangan

BRAKK!

Tinju Lisna mendarat tepat di pipinya tanpa ragu.

"Mulutmu pedas! Jangan sok dekat dengan aku!" ujar Lisna dengan memperlihatkan wajah galaknya

Cindeloka terpental sedikit, tapi malah tertawa.

"Hahaha! Lumayan, kakiku gak kedinginan lagi. Pukulanmu hangat soalnya."

Lisna mendengus.

Seluruh murid menatap mereka penuh gosip.

Pintu aula berderit.

Seorang pemuda 20 tahun, wajah tegas dengan rambut cepak, masuk dengan langkah mantap sambil membawa tongkat pendek. Matanya menyapu seluruh murid.

"Selamat sore, para calon pendekar. Hari ini kita mulai Latihan Perdana Dasajian teknik dasar tanpa sihir. Tapi sebelum itu..." seru Kang Wijen.

Ia mengangkat tangan.

"Syarat latihan: setiap murid wajib membawa keris. Angkat keris kalian." seru Kang Wijen sembari menyuruh semua muridnya untuk mengangkat keris.

Serentak puluhan keris terangkat.

Kecuali satu.

Cindeloka mengangkat sebilah kujang kecil, melengkung, usang.

Suasana langsung riuh.

"Hahaha! Dia bawa kujang?!"

"Itu senjata kampung!"

"Klan Sunda memang aneh!"

Cindeloka menjawab santai:

"Daripada keris mahal tapi jiwa pengecut, mending kujang jelek tapi pemiliknya ganteng."

Riuh tawa.

Lisna hampir tersenyum, tapi menahannya.

"Aku minta kalian untuk segera berkumpul di aula latihan sekarang!!!" perintah Kang Wijen dengan lantang.

Seluruh murid pergi meninggalkan aula menuju ke tempat latihan silat yang berada di ruangan terbuka. Begitu memasuki aula latihan, aulanya yang begitu luas sehingga napas seakan hilang melihat ruangnya yang tak berujung. Lantainya dari batu hitam yang sudah halus terasah oleh ribuan tapak kaki para pendekar yang berlatih, Di bagian utara aula, berdiri sosok bangunan yang membuat seluruh kompleks terasa sakral: Paduraksa Bali, gapura beratap melengkung yang dihiasi ukiran pola kawung dan patra punggel. Gapura itu menjadi pintu simbolis menuju dunia supranatural serta gunung Suryajenggala yang gagah berdiri diselimuti samudra awan di kakinya, tempat para murid melakukan meditasi atau duel resmi. Ketika matahari pagi muncul tepat dari balik paduraksa, sinarnya jatuh seperti garis emas pada lantai batu-sebuah pertanda bahwa hari latihan dimulai.

"Untuk pembukaan... duel bebas. Tanpa sihir. Tanpa ajian." Seru Kang Wijen dengan menunjuk Cindeloka dan Lisna.

"Cindeloka Sunda, Lisna Chaniago. Maju."

Suasana mendadak senyap.

Cindeloka mengedip pada Lisna.

"Jangan keras-keras ya. Mukaku sensitif dan punya fans."

"Berhenti menggoda atau aku patahkan giginya." Balas Lisna dengan sikap kuda kuda

Duel dimulai.

Lisna menyerang cepat tendangan Galitiak Minang.

Cindeloka nyaris tak sempat menghindar.

"EH! CEPET BANGET!"

Lisna menyerang lagi, memutar tubuh dan mengirim hantaman siku.

Cindeloka terjatuh, tapi bangkit sambil tertawa.

"Oke, oke... sekarang giliranku. Coba teknik dasar Klan Sunda"

Ia menarik napas.

Urat di dadanya berpendar.

Liontin bergetar.

Dari dalam tubuhnya, cakra Maung Bodas bergemuruh seperti auman dari dunia lain.

Aula langsung dipenuhi hawa dingin.

Beberapa murid mundur ketakutan.

"CAKRANYA MENYALA!"

"KUTUKAN SUNDA?!"

"MAUNG BODAS! DIAMKAN BOCAH ITU!"

Lisna terpaku.

Matanya membesar.

Cindeloka tak sadar ia mengangkat tangan, kekuatan putih berputar di sekitarnya, siap meledak.

Namun sebelum energi itu pecah

DUG!

Tongkat Kang Wijen memukul lantai keras sekali.

"CINDELOKA! Hentikan! Kau belum boleh memakai cakra itu!" Hardik Kang Wijen dengan menunjuk jarinya ke Cindeloka.

Aura Maung Bodas mereda.

Cindeloka terhuyung, napas terengah.

Lisna memandangnya lama.

Ada ketakutan... tapi juga rasa penasaran.

Ketika murid-murid lain bubar, Kang Wijen memanggil Cindeloka.

Pria muda itu menghela napas.

"Anak Sunda... kekuatanmu berbahaya. Tapi tidak bisa diabaikan." ujar Kang Wijen dengan wajah kagum sekaligus takut

Ia mengulurkan setelan silat hitam dan sabuk hijau terlipat rapi.

"Mulai hari ini, kau resmi menjadi murid Padepokan Suryajenggala."

Cindeloka menerima pakaian itu, matanya berbinar.

"Serius?! Jadi aku boleh latihan bareng? Boleh duel lagi sama dia?" menunjuk Lisna.

Lisna langsung memukul kepala Cindeloka dari belakang.

"Aku tidak tertarik duel dengan badut."

"Eh tapi kamu tetap duduk sebelah aku, kan?"

Lisna mendengus, tapi tidak pergi.

Murid-murid lain mulai menjaga jarak dari Cindeloka-ada yang takut, ada yang iri, ada yang tak percaya bahwa "Si Terkutuk" diterima.

Namun satu orang tidak menjauh.

Seseorang yang tadi hampir memukulnya sampai pingsan.

Lisna Chaniago.

Mata birunya menatap Cindeloka... bukan lagi dengan jijik atau marah.

Melainkan sebuah campuran berbahaya antara rasa penasaran dan... simpati.

Auman Maung Bodas bergema pelan dalam dada Cindeloka.

Seolah berkata: " perjalananmu baru dimulai, bocah..."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!