Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4
Selma berjalan pelan ke sofa, duduk sambil meraih ponsel. Suaranya kembali terdengar ketika Arslan sudah hampir menghilang di ujung tangga.
“Mama yang urus semua lamaran. Rencana pernikahan kamu biar Mama aja yang handle, termasuk adat dan tempat. Kamu tinggal siapin mental dan tanda tangan,” imbuhnya tegas tapi kalem.
Arslan tidak menjawab, hanya terdengar suara pintu kamarnya yang terbuka lalu tertutup rapi. Seperti biasa, tanpa protes, tanpa komentar.
Selma mulai mengetik sesuatu di layar ponsel, lalu menekan tombol panggilan.
“Aku telepon Bu Dina sekarang. Mamanya Nayaka. Almarhum Pak Ghazali sahabat Papa kamu, anak-anaknya itu baik semua. Mama yakin ini pilihan terbaik,” katanya sambil menyandarkan punggung ke sofa, napasnya berat tapi lega.
Tak butuh waktu lama, sambungan tersambung. Suara perempuan dewasa terdengar dari seberang, hangat dan penuh antusias.
“Selma? Ya Allah, udah lama banget. Tumben banget telepon malam-malam gini,” ujar Bu Dina.
Selma tertawa kecil. “Ini penting, Din. Tentang anak-anak kita.”
“Jangan bilang Arslan dan Nayaka?”
“Persis,” sahut Selma mantap.
Hening sebentar di ujung sana, lalu tawa pelan terdengar.
“Baru kemarin Nayaka cerita, katanya dia malah disuruh gantiin Aylara. Aku pikir dia bercanda, ternyata serius ya?”
“Arslan udah setuju. Dan Nayaka juga. Aku nggak nyangka anakmu bisa meyakinkan anakku secepat itu,” ucap Selma sambil geleng kepala, meski lawan bicaranya tak bisa melihat.
“Aku juga kaget, Sel. Tapi jujur aja... Nayaka itu dari dulu memang beda. Mulutnya memang bar-bar tapi hatinya lembut.”
Selma tersenyum simpul. “Cocok sama Arslan yang dingin dan keras kepala.”
“Jadi kapan lamaran?”
“Minggu depan. Aku siapin semua. Kamu tinggal datang sama anak-anak, pakai baju cantik. Jangan pusingin apa-apa. Biarkan ini jadi acara yang berkah,” imbuh Selma penuh semangat.
“Aku setuju. Terima kasih ya, Sel.”
Sambungan berakhir. Selma memejamkan mata sejenak, menyandarkan diri, lalu tersenyum tenang.
Di atas sana, Arslan berdiri menatap ke luar jendela kamarnya. Udara malam menyentuh wajahnya, dan untuk sesaat, matanya sedikit mengendur. Tak ada penolakan.
Tak ada antusiasme juga. Hanya kesadaran bahwa keputusan sudah dibuat, dan tidak ada alasan untuk menoleh ke belakang.
Matahari baru naik setengah ketika suara sendok dan garpu beradu di meja makan keluarga Ghazali. Aroma roti panggang dan teh melati memenuhi ruang makan yang hangat.
Bu Dina duduk di ujung meja sambil menyesap tehnya. Aylara mengenakan jas putih, rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tenang seperti biasa. Sementara Nayaka tampak enerjik dengan sneakers putih dan tote bag berisi seragam baru.
“Kalian berangkat bareng nggak hari ini?” tanya Bu Dina sambil melirik jam dinding.
“Enggak, Ma. Rumah sakit kita beda,” ujar Nayaka sambil memasukkan ponsel ke dalam tas.
Aylara mengangguk pelan. “Aku ke RS As-Syifa. Naya di tempat lain sekarang.”
“Kerja di mana kamu?” tanya Bu Dina dengan nada penasaran.
“RS Mahardika. Mulai hari ini,” sahut Nayaka cepat.
Aylara menghentikan kunyahan. “Itu rumah sakitnya calonmu?”
Nayaka hanya mengangkat alis dan tersenyum miring. “Mungkin.”
Setelah sarapan selesai, keduanya pamit. Mobil Aylara meluncur lebih dulu, meninggalkan rumah dengan kecepatan sedang. Nayaka menyusul beberapa menit kemudian. Di dalam mobilnya, ia sempat merapikan ID card barunya. Wajahnya memantul di kaca spion. Matanya berbinar, tapi ada juga sedikit gugup.
Sesampainya di rumah sakit yang berada di pusat kota, Nayaka langsung diarahkan menuju lantai dua. Di sana, seorang kepala perawat sudah menunggunya.
“Kamu Nayaka?” tanya perempuan paruh baya itu.
“Iya, Bu,” ucap Nayaka singkat.
“Kamu langsung ikut Dokter Arslan. Hari ini ada dua operasi.”
“Langsung hari pertama?” gumam Nayaka nyaris tak percaya.
Perawat itu tersenyum misterius. “Kamu kan asisten pribadinya sekarang. Semangat, ya.”
Nayaka tidak banyak protes. Langkahnya cepat mengikuti perawat menuju ruang persiapan. Saat pintu terbuka, aroma alkohol medis langsung menyergap. Di ujung ruangan berdiri seorang pria tinggi, mengenakan baju operasi warna biru laut. Dagu tegas, mata tajam, dan wajah yang… terlalu tampan untuk seorang manusia biasa.
“Selamat pagi,” sapa Nayaka sopan.
Tanpa menoleh, pria itu berkata datar, “Kamu terlambat dua menit.”
Nayaka terdiam. Ia baru mau membalas, tapi pria itu sudah membuka map pasien dan menyerahkannya. “Baca ini. Operasi mulai sepuluh menit lagi. Jangan lamban.”
“Baik, Dok,” ujar Nayaka sambil menahan napas panjang.
Saat membaca data pasien, Nayaka tahu ini bukan prosedur sembarangan. Dokter Arslan bukan hanya perfeksionis, tapi juga terkenal dingin, bahkan kadang kejam dalam melatih bawahannya.
Beberapa staf melihat mereka berdua dengan tatapan penasaran. Belum ada yang tahu bahwa pria tampan nan dingin itu sedang menilai calon istrinya di ruang operasi.
“Apa kamu siap?” tanya Dokter Arslan sambil memakai sarung tangan steril.
“Siap banget,” jawab Nayaka cepat.
Dia hanya mengangguk tipis. Tak ada pujian, apalagi senyum.
Dalam hati, Nayaka bersumpah tidak akan mundur. Mau dites seperti apa pun, dia sudah siap.
Dan di balik masker bedahnya, Dokter Arslan menyipitkan mata, seolah menantang.
Ruangan operasi mendadak sunyi. Suara monitor jantung berdetak stabil, alat-alat bedah mengilap, dan aroma antiseptik menguar menyengat. Di sisi meja operasi, Dr. Arslan berdiri tegap. Matanya tajam menyapu tiap pergerakan, fokusnya nyaris membunuh udara.
“Tanganmu gemetaran,” ucapnya pelan namun menusuk.
Nayaka mengangkat wajah sejenak, lalu menjawab tenang, “Bukan gemetar, cuma pemanasan,” ujarnya sambil meraih klem dengan sigap.
Perawat di sisi kanan nyaris tertawa tapi langsung menunduk. Salah satu dokter muda membisik pelan, “Anak baru itu berani juga,” gumamnya kagum.
Prosedur berlangsung cepat. Gerakan Arslan presisi, cekatan, dan nyaris tanpa cela. Nayaka menyusul ritmenya, tak segan menerima aba-aba pendek, kadang tanpa kata.
“Retraktor,” perintah Arslan singkat.
“Sudah,” jawab Nayaka sambil menyodorkannya tepat sebelum ia minta.
Arslan sempat menoleh sepersekian detik. Tak bicara apa-apa. Tapi caranya mengangguk kecil sudah cukup membuat dua asisten saling melirik heran.
“Dia beda,” bisik salah satu perawat senior ke rekannya, “Baru kerja hari ini, tapi bisa ikutin tempo Dokter Arslan. Itu langka banget.”
Operasi berjalan hampir dua jam. Pasien pertama berhasil ditangani, lalu langsung lanjut ke pasien kedua tanpa jeda.
Keringat membasahi pelipis Nayaka, tapi dia tetap cekatan, teliti, dan sigap. Satu kali ia sempat salah ambil alat, namun langsung mengganti tanpa disuruh.
“Jangan sembrono,” tegur Arslan, matanya tajam.
“Maaf, Dok. Nggak akan keulang,” ucapnya cepat, napasnya sedikit terengah tapi tak goyah.
Setelah operasi kedua selesai, semua alat dibersihkan, dan pasien dipindahkan. Suasana mulai cair. Beberapa staf mulai bicara pelan, memuji kinerja hari ini.
“Perawat baru itu hebat juga,” komentar salah satu residen.
“Kalau nggak tahu, pasti ngira dia udah lama di sini,” tambah yang lain sambil mengamati Nayaka melepas sarung tangannya.
Di sisi ruangan, Arslan membuka masker dan menyeka keringat di pelipisnya. Ia memandang Nayaka, kali ini agak lama.
“Kamu cepat tangkap instruksi,” katanya pelan.
Nayaka hanya tersenyum, “Kamu juga cepat ngetes mental orang,” ujarnya setengah bercanda tapi tetap sopan.
Arslan memutar tubuh, merapikan jas dokternya, lalu menoleh sebentar. “Besok datang lebih pagi. Saya nggak suka orang terlambat.”
“Siap, Dok,” katanya mantap.
Langkah Arslan meninggalkan ruangan, tenang dan berwibawa. Tapi satu hal yang membuat para staf terdiam bukan karena operasi berjalan lancar melainkan karena ekspresi Dr. Arslan yang sedikit melunak.
“Duh, itu beneran ekspresi lega?” celetuk salah satu dokter muda.
“Kayaknya Dokter Arslan naksir,” bisik seorang perawat sambil menahan tawa.
Tapi Nayaka tak menggubris komentar-komentar itu. Ia hanya menatap pintu yang baru saja tertutup dan bergumam pelan, “Lolos babak pertama, Tari Nayaka. Tapi belum tentu besok seenteng ini.”
Lalu ia tersenyum, menepuk-nepuk pipinya sendiri, dan berjalan keluar ruang operasi. Gaya jalan tomboy-nya mencuri perhatian banyak pasang mata. Tapi hanya satu yang berhasil membuat jantungnya berdetak tidak stabil seorang pria tinggi bermata tajam yang kini memantau dari balik jendela kaca koridor, diam-diam.
Dr. Arslan menatap punggung Nayaka yang menjauh.
“Bar-bar, tapi presisi,” gumamnya sendiri.
Dan di balik wajahnya yang selalu dingin, ada rasa penasaran yang belum pernah ia alami sebelumnya.