Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Cadar Pertama untuk Zahra
Bunyi gebrakan meja kayu jati yang tebal menggema di ruang kerja mewah milik Pratama Al Fahri. Napas pria tua itu memburu, matanya memerah menatap layar komputer yang menampilkan rekaman jalanan yang buram. Kehilangan jejak putri tunggalnya di tengah hujan lebat bukan hanya penghinaan bagi kekuasaannya, melainkan ancaman bagi rahasia gelap perusahaan mereka.
"Bagaimana bisa seorang wanita dan pengacara cacat itu hilang begitu saja?" suara Pratama menggelegar, merobek kesunyian ruangan.
"Maafkan kami, Tuan besar. Baskara sangat mengenal medan tikus di pinggiran kota ini," jawab seorang pria bertubuh tegap dengan kepala tertunduk.
"Aku tidak butuh alasan! Jika Zahra tidak ditemukan sebelum fajar, kepalamu yang akan menjadi taruhannya," ancam Pratama dengan nada dingin yang menusuk tulang.
Sementara itu, jauh dari kemewahan istana Al Fahri, suasana di dalam kamar kecil panti asuhan terasa sangat mencekam namun hangat. Ibu Maryam baru saja menutup rapat tirai jendela yang sudah lapuk, memastikan tidak ada cahaya lampu minyak yang merembes keluar. Zahra duduk di tepi tempat tidur, tangannya masih gemetar saat memandangi selembar kain hitam yang diletakkan Ibu Maryam di pangkuannya.
"Ini bukan sekadar kain untuk bersembunyi, Nak. Ini adalah perlindungan yang diberikan Tuhan untuk hambaNya," bisik Ibu Maryam dengan suara lembut.
"Apakah ini akan benar benar menjagaku, Ibu? Ayahku memiliki mata di mana mana," tanya Zahra dengan keraguan yang nyata di matanya.
"Di balik kain ini, identitas lamamu mati. Zahra Al Fahri telah tiada, yang ada hanyalah Fatimah," tegas Ibu Maryam sambil mulai melilitkan kain itu ke wajah Zahra.
Zahra memejamkan mata saat kain halus itu menyentuh permukaan kulit pipinya yang masih kemerahan akibat tangisan. Ada sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya, sebuah perasaan antara sesak karena harus menyembunyikan diri dan lega karena tidak perlu lagi menjadi boneka ayahnya. Saat ia membuka mata, yang terlihat di cermin hanyalah sepasang mata yang penuh ketakutan namun memancarkan kilat tekad yang kuat.
"Lihatlah dirimu. Engkau terlihat sangat tenang, seperti air sumur yang dalam," puji Ibu Maryam sambil mengelus bahu Zahra.
"Aku merasa... asing. Seolah olah aku sedang memakai kulit orang lain," gumam Zahra sambil meraba permukaan cadarnya.
"Awalnya memang berat, namun kelak engkau akan merasa telanjang tanpa perlindungan ini," sahut Ibu Maryam penuh keyakinan.
Tiba tiba, pintu kamar diketuk dengan sangat keras dari arah luar, membuat kedua wanita itu berjengit kaget. Baskara masuk dengan napas yang memburu, keringat dingin membasahi keningnya meski udara malam itu sangat menusuk. Ia membawa kabar yang sangat tidak menyenangkan mengenai pergerakan para pengejar yang semakin dekat dengan lokasi panti asuhan.
"Mereka sudah mulai memeriksa rumah rumah warga di ujung gang. Kita tidak punya banyak waktu lagi," lapor Baskara dengan suara rendah yang mendesak.
"Bagaimana dengan Arfan? Dia belum bisa dipindahkan dalam kondisi seperti itu," tanya Ibu Maryam dengan raut wajah cemas.
"Arfan harus tetap di ruang bawah tanah. Fatimah, engkau harus ikut denganku ke teras sekarang juga," perintah Baskara pada Zahra.
Zahra, yang kini dipanggil Fatimah, mengangguk patuh meskipun jantungnya berdegup sangat kencang hingga terasa sakit di dadanya. Ia mengikuti langkah lebar Baskara menuju area depan panti yang hanya diterangi oleh satu lampu pijar yang redup. Beberapa anak panti yang masih terjaga menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, namun mereka terlalu takut untuk mendekat karena kehadiran Baskara yang terlihat sangat waspada.
"Dengarkan aku, Fatimah. Jika mereka datang, jangan pernah mengeluarkan suara sedikit pun," bisik Baskara sambil menyandarkan punggungnya di balik pilar.
"Bagaimana jika mereka mengenaliku hanya dari tatapan mata ini?" tanya Fatimah dengan suara yang nyaris hilang.
"Mata Zahra penuh dengan amarah dan kemanjaan. Mata Fatimah harus penuh dengan doa dan ketenangan," jawab Baskara singkat.
Goncangan hebat terasa saat sebuah mobil hitam besar berhenti tepat di depan gerbang kayu panti asuhan yang sudah miring. Dua orang pria dengan jaket kulit hitam turun, salah satunya memegang sebuah foto Zahra yang diambil saat pesta ulang tahun perusahaan setahun yang lalu. Fatimah mencengkeram erat ujung gamisnya, mencoba mengatur napas agar tidak terdengar oleh telinga tajam para pembunuh bayaran tersebut.
"Permisi, apakah ada orang di dalam?" teriak salah satu pengejar sambil mengguncang gerbang dengan kasar.
"Ada apa malam malam begini mengganggu ketenangan anak yatim?" Ibu Maryam keluar dengan langkah tenang, seolah olah tidak ada rahasia di dalam rumahnya.
"Kami mencari wanita ini. Namanya Zahra, putri dari orang paling berkuasa di kota ini," pria itu menyodorkan foto ke arah wajah Ibu Maryam.
Ibu Maryam menyipitkan mata, berpura pura mempelajari wajah di foto itu dengan sangat teliti di bawah cahaya lampu yang berkedip. Sementara itu, Fatimah berdiri hanya terpaut lima meter dari posisi para pengejar, tersembunyi di balik bayangan pohon mangga yang rimbun. Ia bisa melihat dengan jelas moncong senjata api yang menyembul dari balik jaket pria yang berdiri paling dekat dengan gerbang.
"Panti kami tidak menerima tamu wanita yang cantik seperti ini. Di sini hanya ada anak anak dan pengasuh," jawab Ibu Maryam dengan nada datar.
"Lalu siapa wanita yang berdiri di sana itu? Yang memakai kain hitam menutup wajah?" tanya pengejar itu sambil menunjuk ke arah Fatimah.
"Itu adalah Fatimah, keponakan saya yang baru datang dari desa untuk membantu mengajar mengaji," Ibu Maryam berbohong tanpa ada keraguan sedikit pun dalam suaranya.
"Buka kain penutup wajahnya! Kami harus memastikan dia bukan Zahra yang sedang menyamar," perintah pria itu dengan nada yang mulai mengancam.
Baskara yang bersembunyi di kegelapan sudah meletakkan tangannya pada gagang pisau lipat di pinggangnya, siap menerjang jika situasi memburuk. Fatimah merasa kakinya seolah meleleh ke tanah, ia tidak tahu apakah ia sanggup menahan tangan kasar pria itu jika mereka benar benar mendekat. Ketakutan akan kembali ke penjara emas milik ayahnya membuat perutnya terasa mual dan kepalanya berputar hebat.
"Kalian tidak berhak menyentuh wanita muslimah yang sudah menutup auratnya dengan sempurna!" bentak Ibu Maryam dengan keberanian yang luar biasa.
"Kami tidak peduli dengan aturan agamamu, Tua Bangka! Minggir atau aku akan meledakkan gerbang ini!" ancam pengejar itu sambil menarik pelatuk senjatanya.
"Silakan, namun kalian harus berhadapan dengan seluruh warga desa yang sangat mencintai panti ini," Ibu Maryam tidak bergeming sedikit pun.
Kegaduhan itu mulai memancing perhatian beberapa tetangga yang mulai membuka pintu rumah mereka dan membawa obor kayu. Baskara memanfaatkan momentum tersebut untuk memberikan isyarat pada Fatimah agar perlahan lahan mundur menuju pintu samping bangunan utama. Fatimah bergerak dengan sangat hati hati, berusaha agar kain gamisnya tidak tersangkut pada ranting pohon yang bisa menimbulkan bunyi.
"Sial! Banyak saksi mata. Kita harus pergi sekarang sebelum polisi patroli lewat," geram pemimpin pengejar itu sambil meludah ke tanah.
"Ingat wajah kami, Nenek! Jika kami menemukan bukti bahwa kalian menyembunyikan Zahra, tempat ini akan menjadi abu," ancamnya sebelum masuk kembali ke mobil.
Mobil hitam itu menderu pergi, meninggalkan kepulan asap dan aroma bensin yang menyesakkan di udara malam yang lembap. Fatimah ambruk di lantai teras begitu mobil itu hilang di belokan jalan, napasnya keluar dengan suara isak tangis yang tertahan di balik cadar. Ia baru saja melewati ujian pertamanya sebagai manusia baru, namun ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari permainan kucing dan tikus yang sangat panjang.
"Engkau melakukannya dengan sangat baik, Fatimah. Tuhan menyertai orang orang yang bersabar," ucap Ibu Maryam sambil memeluk tubuh Fatimah yang lemas.
"Aku sangat takut, Ibu... aku merasa seolah olah maut tadi sudah mencium keningku," isak Fatimah di dalam pelukan wanita tua itu.
"Kematian adalah takdir, namun kehormatan adalah pilihan. Engkau telah memilih untuk menjaga kehormatanmu," Baskara muncul dari kegelapan dengan raut wajah yang sedikit melunak.
Fatimah mengusap matanya yang sembap, ia mencoba berdiri kembali dengan bantuan pilar kayu yang terasa dingin di tangannya. Ia melihat ke arah ruang bawah tanah, teringat pada Arfan yang juga sedang berjuang melawan maut demi menyelamatkannya. Ada sebuah rasa tanggung jawab baru yang tumbuh di dalam hatinya, sebuah keinginan untuk tidak hanya sekadar selamat, melainkan juga untuk melawan balik.
"Baskara, ajari aku bagaimana cara menghilang dengan sempurna. Aku tidak ingin menjadi beban bagi kalian lagi," pinta Fatimah dengan nada suara yang kini lebih mantap.
"Menghilang bukan berarti engkau tidak ada. Menghilang berarti engkau ada namun tidak tersentuh oleh musuhmu," jawab Baskara sambil menatap lurus ke mata Fatimah.
"Besok kita harus mengurus surat identitas baru untukmu. Nama Zahra Al Fahri harus dihapus dari sejarah dunia ini," tambah Ibu Maryam dengan nada serius.
Malam itu, Fatimah tidak bisa memejamkan mata sedikit pun meskipun tubuhnya sudah sangat lelah karena pelarian panjang. Ia duduk di sajadah, memandangi bintang bintang dari celah atap panti yang bocor, sambil terus meraba kain hitam di wajahnya. Cadar itu kini bukan lagi sekadar alat penyamaran, melainkan bagian dari jiwanya yang sedang mencari jalan menuju cahaya surga yang selama ini hilang.
Nama baru di atas kertas seolah menjadi segel terakhir yang akan memisahkan masa lalu Zahra dengan masa depan Fatimah yang masih penuh misteri.