Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Tanah yang Retak dan Wangi Dupa
Sudah tiga minggu sejak trio unik ini meninggalkan Kota Jianshen. Di sepanjang jalan, bendera putih yang berkibar di punggung Zilong menarik banyak perhatian. Beberapa pendekar memberi hormat karena mengenali simbol Sekte Pedang Langit, sementara yang lain hanya memandang penuh tanya pada pria yang membawa tombak dengan bangga di punggungnya.
Perjalanan mereka kali ini membawa mereka ke wilayah selatan, menuju sebuah pemukiman bernama Desa Tanah Kering. Nama itu dulunya hanya kiasan, namun kini menjadi kenyataan yang pahit.
"Ugh, panas sekali..." keluh Jian Chen sambil mengipasi wajahnya dengan telapak tangan. "Zilong, kau yakin peta yang diberikan kakekku benar? Tempat ini terasa seperti panggangan raksasa."
Zilong berhenti melangkah. Di depannya, hamparan sawah yang seharusnya hijau kini berubah menjadi tanah retak yang gersang. Pohon-pohon meranggas, dan sungai yang melintasi desa itu hanya menyisakan parit berdebu.
"Lihat itu," tunjuk Xiao Bai. Mata silumannya yang tajam menangkap sesuatu yang tidak biasa. "Tanahnya kering, tapi udara di sini tidak terasa seperti kekeringan alami. Ada sisa-sisa energi yang tertinggal di atmosfer."
Mereka memasuki desa dan mendapati para penduduk berkumpul di depan sebuah kuil kecil yang baru dibangun di tengah desa. Bukannya menggali sumur lebih dalam, penduduk desa justru sibuk membakar dupa dan mempersembahkan sisa makanan mereka yang sedikit di depan sebuah patung dewa tak dikenal.
Zilong mendekati seorang kakek yang tampak lemas bersandar di pohon mati. "Permisi, Pak Tua. Kenapa desa ini menjadi seperti ini? Bukankah daerah ini terkenal dengan sumber airnya yang melimpah?"
Kakek itu menatap Zilong dengan mata cekung. "Ini kutukan, Pendekar Muda... Dewa Air sedang murka. Mata air kami mendadak berhenti mengalir sebulan yang lalu. Sekarang kami hanya bisa berharap pada 'Sang Penyelamat' yang baru saja membangun kuil itu."
"Sang Penyelamat?" tanya Jian Chen penasaran.
"Seorang pendeta suci. Beliau mengatakan bahwa hanya dengan doa dan persembahan perak harian, air akan kembali. Lihatlah, setiap sore beliau membagikan satu botol air kecil untuk setiap keluarga yang memberi persembahan." jelas sang kakek sambil menunjuk ke arah seorang pria berjubah kuning di depan kuil.
Zilong berjalan menuju tepi sungai yang kering, diikuti oleh Xiao Bai dan Jian Chen. Ia berlutut dan menempelkan telapak tangannya ke tanah. Ia memejamkan mata, mengalirkan sedikit Qi ke dalam bumi untuk merasakan getaran di bawah sana.
"Bagaimana?" tanya Xiao Bai.
Zilong membuka mata, kilatan amarah tipis muncul di sana. "Airnya tidak hilang. Airnya masih ada di bawah sana, tapi alirannya dipaksa berbelok. Ada sebuah formasi pembatas yang ditanam jauh di dalam tanah untuk membendung sumber air desa ini."
Jian Chen mendesis, tangannya reflek memegang gagang pedangnya. "Jadi, kekeringan ini disengaja? Pendeta gadungan itu sengaja membendung air agar penduduk desa memujanya dan memberinya uang?"
"Bukan hanya uang," bisik Xiao Bai sambil menghirup udara dalam-dalam. "Wangi dupa di kuil itu... itu bukan dupa biasa. Itu adalah Dupa Pengikat Jiwa. Pendeta itu perlahan-lahan menghisap energi vital penduduk desa yang sudah lemas karena haus."
Zilong berdiri tegak, bendera di punggungnya berkibar pelan. "Mereka memanfaatkan nyawa manusia demi kultivasi sesat. Ini bukan lagi soal air, ini soal keadilan."
"Apa rencanamu? Langsung tebas kepalanya?" tanya Jian Chen penuh semangat.
Zilong menggeleng pelan. "Jika kita menyerangnya sekarang, penduduk desa yang sudah dicuci otaknya akan membela dia. Kita harus menghancurkan sumber kekuatannya dan menunjukkan kebohongannya di depan mata mereka semua."
Zilong menatap ke arah gunung di atas desa, tempat di mana aliran sungai seharusnya berasal. "Jian Chen, kau dan Xiao Bai selidiki kuil itu. Cari tahu di mana dia menyimpan air yang dicuri. Aku akan pergi ke hulu sungai untuk menghancurkan formasi pembendungnya."
"Tunggu, Zilong!" panggil Xiao Bai. Ia berjalan mendekat dan merapikan kain di bahu Zilong "Hati-hati. Jika dia bisa membendung air bawah tanah, berarti dia bukan pendeta sembarangan. Dia mungkin seorang praktisi ranah Bumi tingkat rendah."
Zilong tersenyum tipis, menatap Xiao Bai dengan lembut yang membuat gadis itu membuang muka karena malu "Aku adalah naga. Dan naga selalu tahu cara menemukan air."
Zilong pun melesat menuju puncak gunung, meninggalkan debu yang berterbangan, sementara Jian Chen dan Xiao Bai mulai menyelinap ke arah desa dengan rencana yang sudah disusun.