NovelToon NovelToon
Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / CEO / Cinta Seiring Waktu / Pengasuh
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ra za

Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.

Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.

Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 Maaf yang Terucap

Pagi menyapa kediaman keluarga Mahesa dengan langit yang cerah dan angin sejuk yang menyusup lembut ke celah jendela. Setelah kejadian semalam, ledakan amarah Leon yang membuat semua orang cemas, suasana rumah tampak lebih tenang, seperti sedang mencoba bernapas lega.

Langkah ringan Nayla terdengar menyusuri koridor lantai atas. Ia membawa nampan kecil berisi segelas air dan beberapa obat yang memang rutin dikonsumsi Leon. Sesampainya di depan kamar Leon, Nayla mengetuk pelan sebelum masuk.

Pintu kamar terbuka sedikit, dan Nayla mengintip dengan hati-hati. Leon masih terbaring di ranjang, namun matanya terbuka, menatap langit-langit tanpa ekspresi. Ia seperti tengah hanyut dalam pikirannya sendiri.

"Tuan sudah bangun," sapa Nayla lembut, sambil melangkah pelan ke dalam ruangan. Senyumnya hangat, penuh ketulusan, meski sorot matanya tetap memancarkan kehati-hatian.

Leon menoleh perlahan, menatap Nayla. Ia tak menjawab, hanya mengangguk kecil. Matanya mengamati wajah gadis itu sekilas… lalu turun ke bagian leher Nayla.

Bekas merah samar masih terlihat di sana. Luka yang ditinggalkan oleh tangannya sendiri. Cekikan yang terjadi semalam dalam ledakan emosinya. Luka yang jauh lebih menyakitkan dari apapun yang mungkin ia alami secara fisik.

Nayla mengikuti arah pandang Leon, lalu buru-buru merapikan kerah bajunya sambil tersenyum tipis, mencoba mengalihkan suasana.

"Apa Tuan ingin langsung mandi pagi ini?" tanyanya dengan suara ringan, seolah tak terjadi apapun sebelumnya.

Leon mengangguk sekali lagi, masih tanpa sepatah kata. Nayla paham, mungkin Leon belum siap bicara banyak. Ia mendekat, membantu Leon perlahan duduk, lalu memindahkannya ke kursi roda dengan hati-hati. Gerakan Nayla lembut namun terlatih, seperti biasa.

Setelah membantu Leon ke kamar mandi, Nayla menunggunya di dekat pintu. Beberapa menit kemudian, setelah Leon selesai dan mengenakan pakaian bersih, Nayla masuk kembali untuk merapikan rambut Leon yang masih basah.

Dengan sisir di tangan, ia menyisir perlahan rambut Leon yang mulai tumbuh rapi. Tangannya terampil, lembut. Di sela kesunyian itu, tiba-tiba suara berat Leon memecah keheningan.

"Maaf."

Nayla terhenti. Matanya membulat pelan, namun ia tak langsung menoleh. Ia hanya berhenti menyisir, lalu diam beberapa detik.

"Aku minta maaf, Nayla."

Kali ini suara Leon terdengar lebih jelas. Tidak bergetar, tapi juga tidak sekeras biasanya. Kalimat itu keluar dengan jujur, nyaris seperti pengakuan dosa yang berat.

Nayla tersenyum pelan, lalu menatap Leon dengan penuh kelembutan.

"Tuan tidak perlu meminta maaf. Nayla tahu… kejadian semalam bukan karena Tuan menginginkannya. Nayla mengerti, semua ini pasti berat untuk Tuan. Nayla hanya ingin tetap di sini… untuk membantu Tuan melewati semuanya."

Tatapan mereka bertemu sejenak. Tak ada kata yang keluar, tapi dalam diam itu ada pengakuan, ada pengertian, dan ada rasa yang tidak bisa dijelaskan. Leon akhirnya menunduk sedikit, seolah merelakan egonya runtuh untuk sesaat.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita turun sarapan, Tuan?" Nayla bertanya dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.

Leon mengangguk, kali ini dengan ekspresi sedikit lebih tenang. Nayla segera mendorong kursi rodanya menuju lift di koridor samping. Mereka turun bersama ke lantai bawah.

Begitu pintu lift terbuka, suara langkah tergesa terdengar mendekat. Gaby—ibu Leon—langsung berdiri dari sofa dan menghampiri mereka.

"Sayang, bagaimana keadaanmu? Mama kira kamu akan sarapan di atas saja," ucapnya dengan nada khawatir, namun diselipkan kehangatan seorang ibu yang tak pernah lelah mencemaskan anaknya.

Leon menatap mamanya dan memberi senyuman kecil.

"Aku baik-baik saja, Ma. Sudah jauh lebih baik."

Gaby menghela napas lega dan meraih tangan Leon, menggenggamnya erat. "Syukurlah… Mama benar-benar khawatir setelah semalam."

"Ma, aku akan lebih kuat. Aku janji." Leon menjawab tenang, dan kali ini ucapannya terdengar lebih penuh tekad daripada sebelumnya.

Mereka pun menuju ruang makan bersama. Nayla bergerak cekatan, menyiapkan sarapan Leon, memastikan semuanya sesuai kebutuhan nutrisinya.

Leon hanya memperhatikan Nayla dari jauh. Ada ketenangan dalam gerakan gadis itu, seperti seorang penyembuh luka tak kasat mata. Ia bukan hanya suster, tapi seseorang yang mulai berarti… entah sejak kapan.

Gaby ikut duduk dan mengajak mereka berbincang ringan. Suasana meja makan kali ini terasa berbeda—lebih hangat, lebih hidup, seolah secercah harapan benar-benar mulai menyusup ke dalam hari-hari Leon yang kelam.

 

Setelah menyelesaikan sarapan bersama, suasana terasa sedikit lebih tenang. Leon terlihat lebih damai, meski masih belum banyak bicara. Sesekali tatapannya jatuh ke arah Nayla, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang belum sempat terucap.

Saat mereka masih duduk di ruang makan, Leon perlahan menoleh pada Nayla.

"Nayla... ayo bawa aku ke taman belakang. Aku ingin menghirup udara segar," ucapnya pelan namun jelas.

Nayla mengangguk cepat. "Baik, Tuan."

Dengan sigap, Nayla mendorong kursi roda Leon menuju taman belakang. Cuaca di luar sangat bersahabat. Sinar matahari menyentuh lembut kulit mereka, angin sepoi-sepoi menyapu dedaunan yang mulai gugur, dan aroma bunga yang bermekaran menenangkan hati siapa pun yang menikmatinya.

Sesampainya di taman, Nayla bertanya dengan lembut, "Tuan mau berjalan-jalan mengelilingi taman atau duduk saja di sini?"

Leon menatap sekeliling sebentar, lalu menunjuk kursi panjang yang berada di sudut taman. "Ke sana saja," katanya singkat.

Nayla mengangguk dan mendorong kursi roda Leon ke arah yang ditunjuk. Setelah sampai, seperti biasa, Nayla berdiri di samping Leon dengan penuh hormat. Namun kali ini, Leon menoleh padanya dan berkata, "Duduklah di sini."

Leon menunjuk kursi panjang di sampingnya. Nayla tampak ragu. "Tidak apa-apa, Tuan. Saya berdiri saja."

Namun Leon menggeleng pelan. "Aku memintanya. Duduklah, Nayla."

Dengan sedikit sungkan, Nayla pun duduk perlahan di samping Leon. Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana taman. Lalu, Leon berbicara dengan nada serius yang jarang Nayla dengar darinya.

"Nayla… aku ingin minta maaf," katanya sambil menatap lurus ke depan. "Aku tahu... kata maaf tidak akan cukup untuk menebus apa yang kulakukan semalam. Aku menyakitimu... dan sejujurnya, aku sendiri tak bisa memaafkan diriku atas itu. Tapi... aku berterima kasih karena kamu masih di sini, masih menemaniku. Mulai sekarang, aku akan berusaha untuk bangkit. Aku ingin melupakan masa lalu dan menjalani hari dengan lebih baik."

Nayla menoleh, menatap wajah Leon yang serius dan tulus. Ada semburat emosi di matanya, tapi ia tetap tersenyum lembut.

"Saya percaya, Tuan," ucap Nayla dengan nada yakin. "Saya tahu luka di masa lalu tidak mudah dilupakan, tapi saya percaya... dengan hati yang kuat dan niat yang tulus, Tuan pasti bisa melewatinya. Hidup Tuan belum berakhir. Masih banyak hal yang bisa Tuan perjuangkan, dan Tuan tidak sendiri. Ada orang-orang yang peduli pada Tuan... termasuk saya."

Leon menoleh perlahan. Matanya menatap Nayla lama, dalam diamnya ia merasa kalimat itu seperti pelukan hangat bagi hatinya yang beku selama ini.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Namun ketenangan itu terusik oleh raut gelisah di wajah Nayla. Leon menyadarinya.

"Kau kenapa?" tanya Leon lembut.

Nayla ragu sejenak, lalu menjawab pelan, "Maaf, Tuan. Saya hanya... ingin meminta izin."

Leon mengangkat alis. "Izin untuk apa?"

"Saya ingin menelepon Ayah saya," jawab Nayla pelan. "Biasanya saya hanya menitip pesan lewat Bibi sebelum tidur, tapi... saya merasa ingin mendengar suara Ayah langsung."

Leon tersenyum kecil. "Kupikir tadi masalah besar. Tentu saja kamu boleh menelepon Ayahmu. Silakan."

Mendengar itu, Nayla segera bangkit dan kembali ke dalam rumah untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar. Leon hanya memperhatikannya dari kejauhan, dan entah kenapa, hatinya terasa hangat.

Tak lama kemudian, Nayla kembali dengan ponsel di tangan. Ia duduk kembali di kursi taman sambil mencari kontak Bibi di daftar panggilan.

Leon melirik dan bertanya, "Kenapa melakukan panggilan biasa? Sebaiknya video call langsung, supaya kamu bisa lihat wajah mereka."

Nayla tersenyum. "Baik, Tuan."

Ia pun melakukan panggilan video. Tak lama, layar menampilkan wajah Bibi Nayla yang tersenyum hangat.

"Selamat pagi, Bibi," sapa Nayla ceria.

"Pagi, Nak. Bagaimana kabarmu?"

" Nayla baik, Bi. Ini... Nayla cuma ingin menyapa Ayah. Beliau ada?"

Wajah Bibi berpindah dan menampakkan Ayah Nayla yang langsung tersenyum begitu melihat putrinya. Percakapan berlangsung hangat, penuh tanya kabar dan candaan kecil. Leon yang duduk di samping Nayla, memperhatikan semuanya dalam diam. Namun di balik sorot matanya, ada kehangatan yang tak bisa disembunyikan. Sesuatu dalam dirinya mulai berubah.

Setelah panggilan selesai, Nayla menoleh pada Leon.

"Terima kasih, Tuan, sudah mengizinkan saya," katanya tulus.

Leon tersenyum. "Mulai sekarang, kamu harus membawa ponselmu ke mana pun kamu pergi. Jika sewaktu-waktu Ayahmu menelepon, kamu bisa langsung mengangkatnya."

Nayla mengangguk, haru menyelimuti hatinya. Ia mulai melihat sisi lain dari sosok yang selama ini dianggap keras dan dingin. Ternyata, di balik itu semua, Leon memiliki hati yang sangat lembut.

Mereka pun kembali mengobrol ringan, sesekali tertawa kecil saat Nayla menceritakan kenakalan masa kecilnya bersama sang Ayah. Namun tanpa mereka sadari, dari sudut rumah, seseorang sedang memperhatikan mereka dengan tatapan tajam dan penuh kebencian.

"Kenapa wanita itu masih saja bertahan disini, seharusnya dengan kejadian semalam dia sudah pergi," gumamnya pelan dengan mata menyipit.

Saat ia masih berdiri memperhatikan dari balik pilar taman, tiba-tiba suara keras mengejutkannya.

"Apa yang kamu lakukan di situ?"

Ia menoleh. Ternyata Bibi Eli berdiri tak jauh darinya, menatap dengan tajam.

"A-aku... aku hanya membersihkan sekitar sini, Bi," jawabnya terbata.

"Kalau begitu cepat selesaikan pekerjaanmu. Jangan banyak melamun!"

Bibi Eli lalu pergi, meski ia tahu pasti bahwa perempuan itu bukan sedang bekerja, tapi sedang mengawasi tuannya dengan tatapan mencurigakan.

Setelah Bibi Eli menjauh, perempuan itu menggertakkan giginya. "Dasar wanita tua, mengganggu saja!" gerutunya pelan sambil kembali melirik ke arah Leon dan Nayla yang masih berbicara akrab.

1
murniyati Spd
sangat bagus dan menarik untuk di baca /Good/
Guchuko
Sukses membuatku merasa seperti ikut dalam cerita!
Ververr
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
Zani: Terimakasih sudah mampir kak🥰, ditunggu update selanjutnya 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!