Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Memojokkan
Raka tidak marah ataupun menunjukkan emosi di wajahnya, ia justru tertawa kecil— tawa yang membuat Arumi semakin sesak, bukan tawa hangat atau menenangkan.
“Kamu menyalahkanku?” tanyanya dengan nada rendah, sedangkan Arum masih dengan guratan amarah di wajahnya.
“Kamu pikir saja sendiri,” jawab Arum masih dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya.
“Kamu itu pernah mendengarkan diri sendiri atau tidak, Arum?” ucap Raka pelan, ia malah berbalik menanyai istrinya itu penuh tekanan. “Perkataan kamu barusan seolah-olah kamu menjadi korban besar dalam pernikahan ini dan aku adalah monster mengerikan yang tidak pernah membiarkan kamu bahagia.” Raka melanjutkan dengan mengubah posisi kalau Arumi justru memandang dengan sudut berbeda. Padahal maksud Arumi bukan seperti itu.
Arumi terdiam. Tangannya yang tadi terkepal perlahan mengendur karena merasa bahwa dia sedikit bersalah.
“Aku gak pernah bilang kamu monster,” jawabnya lirih.
“Tapi sikap kamu bilang begitu.” Raka melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Arumi. Jarak mereka begitu dekat hingga Arumi bisa mencium aroma parfum yang bukan biasa ia hirup. “Kamu berdiri di depanku, mengangkat suara, menyalahkanku, seolah aku ini suami yang gagal. Apa kamu lupa? Pernikahan ini hanya untuk sebuah status saja dan tidak lebih, aku pernah menyampaikan padamu agar tidak berharap lebih dalam pernikahan ini. Tapi nyatanya? Kau mengharapkan cinta dan kasih sayang dariku, lalu menyalahkan sikapku padamu. Apa itu adil?”
Arumi terdiam kikuk mendengar pernyataan dari Raka, memang dia tak pantas mengharapkan cinta tapi bagaimana dengan sikap Raka yang semena-mena padanya itu? Apa harus diwajarkan? Itu juga sangat tidak adil bukan?
“Aku tidak menyalahkanmu, Raka. Aku cuma menyampaikan apa yang—”
“Tidak.” Raka memotong tegas sebelum Arumi sempat memberikan alasan. “Kamu tidak menyampaikan, Arum. Kamu itu barusan menyerangku. Kamu membuat aku terlihat seperti suami yang tidak mengakui perhatian dari istrinya sendiri.” Kalimat itu menghantam tepat di dada Arumi.
“Coba kamu pikir,” lanjut Raka dengan nada lebih rendah, nada yang sangat terkendali— yang selalu membuat Arumi goyah. “Selama ini, siapa yang membiayai hidupmu? Siapa yang memberi kamu rumah, pakaian, makanan? Kamu hidup nyaman, Arum. Kamu tidak pernah kekurangan apa pun. Semua itu, aku yang berikan. Mana pernah kamu menikmati semua ini saat masih di panti asuhan.”
Arumi membuka mulutnya ingin menjawab, lalu menutupnya kembali karena apa yang Raka katakan benar adanya. Semua dicukupi oleh Raka dan dirinya tak pernah kekurangan materi sama sekali. Tapi apakah Raka lupa? Kalau semua yang Arumi dapatkan adalah haknya dan apa yang Raka berikan adalah kewajibannya? Tapi memang benar, pria seperti Raka takkan pernah mau menerima kenyataan itu. Baginya, dia selalu benar.
“Dan sebagai gantinya,” Raka melanjutkan ucapannya sembari mencondongkan tubuh sedikit pada Arumi, “aku hanya minta satu hal. Istri yang bisa diandalkan. Istri yang membuat aku pulang ke rumah dengan tenang. Tapi yang aku dapatkan apa?” Raka menggeleng pelan, seolah sangat kecewa. “Istri yang sakit terus. Istri yang capek terus. Istri yang selalu punya alasan jika suaminya ingin dilayani.”
Arumi menunduk, kini Raka berhasil membuat dirinya menang dan membuat Arumi diliputi rasa bersalah.
“Aku benar-benar sakit, Raka. Aku tidak berpura-pura sama sekali.”
“Setiap kali aku butuh kamu, kamu sakit,” balas Raka cepat. “Setiap kali aku pulang, kamu lelah. Setiap kali aku ingin diperhatikan, kamu sibuk dengan perasaanmu sendiri.”
“Itu tidak adil, aku tidak pernah begitu” bisik Arumi dengan air mata yang mulai berjatuhan. Raka tersenyum tipis, di mana senyum itu tak pernah sampai ke matanya.
“Yang tidak adil itu kamu membuat aku merasa bersalah hanya karena aku ingin dilayani oleh istriku sendiri. Kamu itu terlalu banyak alasan, Rum.”
Arumi menggigit bibirnya karena rasa bersalah kian menggerogoti hati dan pikirannya sendiri.
“Aku hanya ingin kamu mengerti keadaanku, Raka. Tidak lebih.”
“Aku sudah terlalu sering mengerti,” potong Raka cepat seakan tak memberi ruang bagi Arumi beralasan, dia terus memenuhi pikiran istrinya dengan rasa bersalah. “Sekarang coba giliran kamu mengerti aku.”
Raka memalingkan wajah, menarik napas panjang seolah menahan emosi besar.
“Aku capek, Arum. Capek pulang ke rumah yang dingin. Capek merasa sendirian padahal punya istri. Capek merasa aku ini suami yang harus selalu mengalah. Aku memenuhi semua kebutuhanmu tapi kamu tidak pernah memenuhi keinginanku.”
“Apa aku benar-benar seburuk itu di mata kamu?” suara Arumi bergetar ketika bertanya.
Raka tidak langsung menjawab. Ia sengaja diam karena itu lebih menyakitkan daripada sebuah bentakan.
“Kamu tidak buruk,” kata Raka akhirnya. “Kamu hanya tidak bisa mengerti suamimu sendiri.” Kalimat itu membuat Arumi merasa seperti runtuh.
“Aku tidak pernah mendapatkan perhatian darimu, tidak ada kehangatan, kedamaian, kenyamanan, dan juga kasih sayang darimu.”
Arumi menggeleng lemah. “Aku sudah berusaha tapi kamu yang tidak merespon.”
“Usaha kamu tidak terasa,” jawab Raka datar. “Kalau terasa, aku tidak akan mencari kenyamanan di luar rumah.” Kalimat itu membuat Arumi terperanjat.
“Maksud kamu apa?”
Raka menatapnya lurus, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Maksudku, kalau seorang suami merasa bahagia di rumah, dia tidak akan merasa kosong.”
Arumi terdiam. Otaknya berputar.
“Jadi … ini salahku?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.
Raka tidak mengatakan iya. Ia hanya berkata, “Aku tidak akan berada di posisi ini kalau kamu dari awal menjalankan peranmu dengan baik.” Air mata Arumi jatuh semakin deras.
“Aku minta maaf…” ucapnya akhirnya, suara itu pecah. “Aku minta maaf kalau aku kurang. Aku akan berusaha lebih baik lagi.”
Raka menatap Arumi cukup lama, lalu menghela napas, seolah kalah oleh keadaan.
“Sudahlah,” katanya dingin. “Aku lelah berdebat denganmu.”
Ia meraih ponselnya dan melangkah pergi menuju kamar mandi.
Tinggallah Arumi berdiri sendiri di tengah kamar dengan rasa bersalah yang kini menempel di dadanya, meski ia tidak tahu sejak kapan semua ini menjadi kesalahannya.
Benarkah aku istri yang gagal? Atau aku hanya terlalu lama percaya pada orang yang selalu ingin benar? Pertanyaan itu terus dia ucapkan di dalam hati, seolah dirinya yang salah kali ini.
...***...
Makan malam kali ini terasa semakin tidak menyenangkan, Raka sibuk bermain ponsel sambil tersenyum manis. Sedangkan Arumi yang duduk di dekatnya tidak digubris sama sekali, rasa lelah kembali menggerogoti hati Arumi dan ingin sekali dia protes.
Tapi sayangnya, dia tak ingin dicap sebagai istri yang gagal dan tidak patuh pada suami. Arumi berusaha mengabaikan Raka, dia tetap menyuapkan nasi ke dalam mulutnya sedangkan makanan di piring Raka hanya disentuh sedikit oleh pria itu.
“Aku tidak selera makan, aku mau cari makanan di luar. Tidak usah menunggu aku pulang,” ujar Raka saat mengangkat pantatnya dari kursi yang ia duduki saat ini.
“Apa yang kurang dari masakanku malam ini?” tanya Arumi dengan suaranya yang kian lemah.
“Masakanmu sangat hambar, aku tidak suka.” Raka pergi begitu saja tanpa peduli perasaan Arumi saat ini.
“Tidak ada yang hambar, hanya saja kau tidak menyukai setiap apa yang aku suguhkan,” rintih Arumi sambil mengusap air matanya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir