"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 4
…
Sinta memelototi sosok yang kini berdiri gagah di pelataran pernikahan. Hujan belum juga reda, tapi tak satu pun mata berani berkedip.
“Sialan… tampan juga,” gumamnya pelan, penuh kesal.
Tapi kemudian ia menyipitkan mata dan mendesis, “Percuma juga tampan kalau nggak waras dan nggak punya duit.”
Sinta menenangkan diri. Dia tahu, meskipun Rojali datang, posisinya masih aman. Dia punya rencana cadangan, dan di benaknya, Ratih tetap akan kalah.
Rojali melangkah mantap ke depan. Suaranya menggema.
“Tunggu apa lagi, Pak Lebe? Udah malam ini. Kasihan bapak-bapak dan ibu-ibu, semua pasti mau masuk kamar.” Ucapannya lugas, suaranya tegas. Seperti jenderal yang sudah kenyang perang.
Pak Lebe terdiam sejenak, lalu mengangguk.
“Baik… mari kita langsungkan akad nikah malam ini.”
Namun sebelum mulai, ia bertanya, “Rojali, mahar apa yang kau siapkan untuk Ratih?”
Wajah Rojali langsung berubah tegang.
“Waduh… sialan, aku nggak bawa uang,” gumamnya dalam hati. “Yang kubawa malah senjata pusaka. Kalau aku keluarkan satu saja, bisa pingsan orang-orang di sini karena auranya.”
Dia menggaruk kepala. Panik.
Selama ini, kalau butuh uang, dia cukup datang ke perguruan mana pun, tantang jagoan paling sakti, menang, dan langsung dapat upah. Tapi ini… pernikahan.
Rojali menunduk mendekati Pak Lebe, berbisik, “Pak… pinjam dulu seratus. Besok saya ganti.”
Tiba-tiba terdengar suara nyinyir.
“Hei, Rojali, kenapa bisik-bisik?” ejek Hamdun sambil menyeringai.
Rojali menatapnya dingin. Tatapannya biasa saja—tanpa emosi. Tapi entah kenapa, Hamdun langsung menggigil. Seketika, pikirannya membayangkan sedang berdiri di tengah kuburan gelap. Ia bergidik ngeri, menelan ludah, lalu diam membisu.
“Rojali nggak punya mahar ya?” timpal Rosid dari belakang.
“Waduh, kasihan banget si Ratih. Cantik-cantik, nikah sama orang gila yang nggak punya duit.”
“Ini nikah beneran atau dagelan sih?”
Bisik-bisik penuh ejekan mulai bergema dari segala arah.
Pak Lebe menoleh ke kanan dan kiri, lalu diam-diam mengeluarkan uang seratus ribu dari saku baju koko-nya. Ia menyodorkannya ke Rojali sambil berbisik, “Ini aku ada seratus. Tapi besok ganti ya, buat beli pupuk saya.”
Rojali tersenyum lega. “Siap, Pak Lebe. Terima kasih.”
Pak Lebe kembali ke posisi. Rojali pun berdiri tegak, menggenggam lembaran uang itu erat-erat.
Hujan masih turun perlahan, tapi suasana semakin panas. Di tengah bisik-bisik hinaan dan tatapan sinis, Rojali berdiri dengan keyakinan penuh.
Dan di balik tirai kamarnya, Ratih menunduk—menangis. Sebentar lagi dia akan mengakhiri masa lajang dan sekarang ratih pasrah pada jalannya kehidupan bertahun-tahun dia berusaha keluar dari keluarga toksic tapi akhirnya dia harus kalah dan menikah dengan orang yang sama sekali dia tidak kenal.
Pak Lebe menatap Rojali serius. “Rojali bin siapa?”
Rojali diam sejenak. Matanya menatap lantai, lalu berkata lirih, “Saya tidak tahu… saya dibuang sejak bayi. Tapi saya bersumpah akan menjaga Ratih seumur hidup saya.”
Hening. Semua mata tertuju pada Rojali.
Dengan suara tegas, Pak Lebe melanjutkan, “Kalau begitu, dengan wali dan saksi yang ada, akad nikah kita lanjutkan.”
Rojali menatap Ratih penuh haru. “Saya terima nikahnya Ratih binti Karman… dengan mas kawin seratus ribu tunai.”
..
Akad nikah selesai.
Rojali tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca menatap langit yang masih kelabu. “Ini lebih menyenangkan ketimbang aku tamat puasa seratus hari tanpa makan dan minum,” gumamnya dalam hati sambil menahan tawa kecil. “Dulu aku kalahkan lima guru sakti tujuh hari tujuh malam, tapi baru kali ini jantungku nyaris copot.”
Ratih menunduk khidmat, lalu mencium tangan suaminya. Dalam hatinya, ia berbisik lirih, “Tuhan… inikah suamiku? Baiklah. Aku tak akan melihat ke belakang lagi. Lupakan Bagas. Ini takdirku.”
Rojali merasa melayang. Bukan karena jurus terbang jurang terlarang, tapi karena tangan mungil Ratih yang kini resmi menjadi istrinya.
Namun, suasana hajatan jauh dari meriah. Setelah akad selesai, para tamu langsung bubar seperti habis tahlilan. Tidak ada suguhan, tidak ada makanan, bahkan gorengan pun nihil. Yang ada hanya bisik-bisik nyinyir.
"Seratus ribu? Mahar segitu, beli sabun mandi aja pas-pasan," bisik Bu Iyem sambil nyengir lebar, padahal tadi dia juga makan gratis kalau ada hidangan.
“Ya sudahlah, minimal tampang suaminya lebih segar dari semangka,” sahut Bu Romlah, yang dari tadi kesal karena tak dapat jatah amplop.
Karman, di kursi rodanya, menatap Rojali dalam-dalam. “Aku harap… kamu bisa jaga anakku baik-baik,” ucapnya lirih.
Rojali mengangguk mantap. “Saya akan jaga Ratih, ayah mertua. Dengan seluruh hidup saya.”
Karman mengerutkan dahi. “Eh, sejak kapan dia bisa ngomong selancar ini? Kok mirip jenderal? Bukan orang gila?” gumamnya curiga.
“Hey Rojali, jangan cuma melongo, cepat bantu bersihin tempat ini!” bentak Bu Narti sinis, sambil melempar sendok plastik ke arahnya.
Tanpa banyak cakap, Rojali langsung keluar rumah. Hujan masih turun gerimis. Dengan cekatan ia membereskan kursi dan memunguti sampah, gerakannya cepat seperti sedang latihan jurus kilat di puncak gunung.
Sementara itu, di dalam rumah, Narti mendekati Ratih. Wajahnya tegas seperti wasit tinju. “Dengar, malam ini kamu harus melepas keperawanan kamu. Ini perintah guru agung. Jangan banyak alasan!”
“A-aku belum siap, Bu…” Ratih tercekat.
“Kalau kamu nolak, berarti kamu durhaka. Ingat, semua ini demi mengangkat kutukan kampung!”
Ratih terdiam, bibirnya gemetar. Air mata nyaris tumpah, tapi ditahannya. “Ya Tuhan, kuatkan aku…”
Sinta yang diam di sudut ruangan, justru sedang dalam dilema batin. Wajah Rojali yang bersih, tubuh kekar, dan cara bicaranya yang gagah membuatnya berpikir ulang.
“Bagas memang lebih tampan, tapi… otot Rojali kayak pahatan dewa. Gawat ini…” gumamnya. Lalu ia menggeleng. “Setelah nikah sama Bagas… aku harus cari cara selingkuh sama Rojali. Harus!”
Sementara itu, di teras rumah, Rojali menyapu halaman terakhir. Setelah memastikan semuanya bersih, ia berdiri gagah, menatap rumah pengantinnya.
“Selesai sudah…” bisiknya.
Lalu ia menarik napas panjang, menepuk pipinya sendiri. “Sekarang… saatnya belah durian.”
Rojali melangkah masuk ke rumah dengan santai.
“Eh, malah masuk! Bukannya beresin tempat dulu!” semprot Narti sambil melotot.
“Aku udah beresin semuanya, Bu,” jawab Rojali kalem.
“Kamu bo—” ucapan Narti terpotong saat matanya melihat ke luar jendela. Halaman sudah bersih kinclong, kursi tertata, sampah tak bersisa. Rahangnya mengeras, kesal karena kehabisan alasan.
“Sekarang kamu cuci piring sana!” bentaknya lagi, masih belum puas.
Rojali hanya menatap datar. “Lama-lama aku karungin juga ini orang…” gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba Ratih muncul dari dapur, memakai daster sederhana berwarna biru muda. Wajahnya segar, rambut diikat rapi. “Sudah, Bu. Semua piring sudah aku cuci.”
Narti terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Ya sudah… kalian istirahat.”
Rojali langsung berseri-seri. “Ayo, istriku,” ajaknya, senyum penuh arti.
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu