Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: KETIKA CEMBURU MEMAKAN HATI
Alara langsung naik ke kamarnya begitu sampai mansion—tidak menunggu Nathan, tidak menoleh ke belakang. Ia hanya ingin... sendiri.
Pintu kamar ditutup—tidak dibanting, tapi cukup keras untuk Nathan tahu bahwa Alara tidak mau diganggu.
Alara berdiri di tengah kamar dengan napas yang tersengal—mencoba menahan emosi yang sudah menggunung sejak tadi di restoran. Tangannya gemetar, dadanya sesak, matanya memanas.
Foto-foto itu. Senyum Nathan di foto-foto itu. Cara Kiara menatap Nathan. Cara Nathan... diam saja waktu Kiara bilang dia masih cinta Nathan.
Alara berjalan ke kamar mandi—menutup pintu, menyalakan shower dengan air dingin, dan duduk di lantai dengan pakaian yang masih lengkap.
Air shower mengguyur tubuhnya—dingin, tapi tidak sedingin perasaan di dadanya.
Dan akhirnya—akhirnya—ia menangis.
Menangis dengan isak yang dalam, yang penuh luka yang tidak bisa ia ungkapkan. Menangis karena cemburu—cemburu melihat Nathan punya masa lalu yang begitu bahagia dengan wanita lain. Cemburu melihat chemistry mereka yang terlihat jelas walau sudah lima tahun berlalu. Cemburu karena... karena takut Nathan tidak akan pernah sepenuhnya jadi miliknya.
"Kenapa... kenapa aku harus cemburu..." isaknya sambil memeluk lututnya. "Aku tahu dia punya masa lalu. Aku tahu dia pernah cinta orang lain. Tapi kenapa... kenapa tetap sakit..."
Ia menangis sampai air matanya bercampur dengan air shower, sampai tubuhnya menggigil karena dingin, sampai suaranya serak.
Di luar kamar mandi, Nathan berdiri di depan pintu kamar Alara—tangannya terangkat mau mengetuk, tapi terhenti di udara. Ia bisa mendengar suara shower yang mengalir. Dan kalau ia dengar lebih seksama... ia bisa dengar isak tangis yang redam.
Dadanya sesak. Ia ingin masuk, ingin peluk Alara, ingin bilang "maafin aku, aku cuma cinta kamu".
Tapi kakinya tidak bergerak.
Karena sebagian dari Nathan tahu—Alara benar. Ia masih takut. Masih ada trauma yang belum hilang. Masih ada bagian kecil dari hatinya yang... takut untuk sepenuhnya jatuh cinta lagi.
Nathan menurunkan tangannya—berbalik pergi ke kamarnya sendiri dengan perasaan bersalah yang menghancurkan.
DUA JAM KEMUDIAN
Alara keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang sudah mati rasa—terlalu lama di bawah air dingin. Ia ganti pakaian dengan piyama hangat, mengeringkan rambut seadanya, lalu merebahkan diri di tempat tidur.
Menatap langit-langit dengan mata kosong.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Nathan.
Nathan: Aku minta maaf. Untuk semuanya. Aku nggak mau kamu sakit karena aku. Boleh aku masuk? Kita bicara?
Alara menatap pesan itu lama. Jemarinya gemetar di atas keyboard—ingin bilang "masuk", tapi ada sesuatu yang menahannya.
Sesuatu yang bilang—kalau mereka bicara sekarang, dengan emosi yang masih tinggi, akan ada yang pecah. Akan ada yang rusak.
Alara: Besok. Aku butuh waktu sendiri dulu.
Kirim.
Balasan datang cepat.
Nathan: Aku mengerti. Tapi tolong percaya—aku cinta kamu. Hanya kamu.
Alara menatap pesan itu dengan air mata yang jatuh lagi. Ia ingin percaya. Sangat ingin percaya.
Tapi kenapa hatinya masih sakit?
Kenapa ragu masih ada?
Ia tidak membalas lagi. Hanya mematikan lampu kamar dan meringkuk di bawah selimut—sendirian, dingin, dengan hati yang terasa retak.
DI KAMAR NATHAN
Nathan duduk di tepi tempat tidurnya—ponsel di tangan, menatap pesan terakhir dari Alara yang tidak ada balasannya.
Ia menjatuhkan ponsel ke kasur—tangan menutupi wajahnya, napas berat.
Aku mengacaukan semuanya. Lagi.
Pikirannya melayang ke malam di restoran—ke foto-foto yang Kiara tunjukkan. Foto-foto yang... mengingatkannya pada masa lalu. Masa di mana ia bahagia, masa di mana ia masih percaya cinta itu nyata.
Sebelum Kiara pergi tanpa penjelasan.
Sebelum ia membangun tembok.
Sebelum Alara datang dan perlahan merobohkan tembok itu.
Tapi apakah aku sudah benar-benar lepas dari Kiara? Atau sebagian dari aku masih... terjebak di masa lalu?
Nathan tidak punya jawaban.
Dan ketidakpastian itu—ketidakpastian yang ia benci—membuat dadanya sesak.