Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 NYONYA SAM.
Suara pena yang menari di atas kertas terdengar begitu jelas di ruangan yang tenang itu.
Gedung catatan sipil pagi ini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pasangan yang menunggu giliran dengan senyum bahagia di wajah mereka. Namun di salah satu meja, duduk sepasang pria dan wanita yang suasananya terasa sedikit berbeda.
Alya menatap berkas di depannya, matanya sedikit kabur. Di bagian atas tertulis “Formulir Pendaftaran Pernikahan.”
Tangannya gemetar pelan ketika hendak menandatangani. Ia mengangkat wajahnya menatap pria yang duduk di sebelahnya Tuan Sam, dengan kemeja putih dan jas abu muda yang rapi, menatapnya dengan senyum tenang dan tatapan penuh keyakinan.
“Aku masih tidak percaya,” ucap Alya lirih. “Semalam aku hanya minum… lalu—”
Sam menatapnya dengan lembut, suaranya tenang namun pasti. “Kau bilang ‘baiklah’, Alya. Kau menerima lamaranku. Dan aku tidak akan pernah menganggap kata itu hanya angin lewat.”
Alya diam.
Ia ingin menyangkal, tapi Tuan Sam mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman suara.
> “Baiklah, Tuan Sam…”
Suara itu — suara Alya sendiri. Serak, lelah, tapi jelas.
Alya terpaku. Ia merasa campuran antara malu, bingung, dan… anehnya, lega. “Jadi… kamu benar-benar merekamnya?”
Sam mengangguk pelan, sedikit tersenyum. “Aku hanya ingin memastikan aku tidak bermimpi. Aku takut kalau keputusanku untuk mencintaimu hanya khayalan akibat mabuk malam itu.”
Alya tidak tahu harus tertawa atau kesal. Ia menatap pria itu lama, mencoba membaca niat sebenarnya. Namun semakin lama ia menatap, semakin ia merasa… tenang. Ada sesuatu pada Sam yang tidak bisa ia jelaskan kedewasaan, ketulusan, dan juga keberanian untuk memegang tanggung jawab yang besar.
Petugas catatan sipil memecah keheningan dengan suara ramahnya. “Baik, silakan tanda tangan di sini, Nona Alya.”
Alya menarik napas panjang. Pena di tangannya terasa berat, seolah setiap goresan akan menulis babak baru dalam hidupnya. “Apakah ini keputusan yang benar?” pikirnya dalam hati. Namun ketika ia melirik ke arah Sam yang menatapnya tanpa tekanan, hanya dengan senyum lembut dan kesabaran hatinya luluh.
Alya akhirnya menandatangani berkas itu.
Lalu petugas menatap mereka berdua, tersenyum hangat. “Dengan ini, kalian resmi terdaftar sebagai suami istri sah secara negara. Selamat, Tuan dan Nyonya Sam.”
Kata itu membuat dada Alya bergetar. Nyonya Sam.
Sebuah nama baru. Identitas baru. Kehidupan baru yang sama sekali tidak ia rencanakan.
Setelah keluar dari kantor catatan sipil, Sam berjalan di samping Alya. Angin pagi menyapa lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Sam menghentikan langkahnya, lalu menatap Alya dalam-dalam.
“Mulai hari ini, kamu tidak perlu lagi berdiri sendirian,” katanya lembut. “Aku akan jadi tempat kamu bersandar. Aku tahu kamu kuat, tapi bahkan orang kuat pun berhak untuk beristirahat.”
Alya menunduk, matanya sedikit berkaca. “Aku tidak tahu harus bilang apa, Sam. Semua ini terlalu cepat. Aku bahkan belum tahu siapa kamu sepenuhnya.”
Sam mengangguk pelan. “Kita punya waktu seumur hidup untuk saling mengenal. Aku tidak terburu-buru.”
Ia tersenyum kecil. “Kamu bisa tetap Alya yang kamu mau, aku tidak akan memaksamu berubah.”
Kata-kata itu begitu sederhana, tapi menembus langsung ke hati Alya. Selama ini, semua orang ingin mengubahnya — Papah Darma yang ingin ia tunduk, Arga yang ingin ia jinak, Aluna yang ingin ia hancur.
Namun Sam… Sam hanya ingin menerimanya.
Mereka berjalan menuju mobil. Sam membuka pintu dan membiarkan Alya masuk lebih dulu. Saat mobil mulai melaju, Alya memandangi cincin sederhana yang kini melingkar di jarinya. Cincin itu tidak berkilau seperti permata, tapi justru karena kesederhanaannya, ia merasa… hangat.
“Kenapa cincin ini polos sekali?” tanyanya pelan.
Sam tersenyum tanpa menoleh. “Karena aku tidak ingin menghiasnya dengan apa pun yang bisa pudar. Aku ingin semua yang aku berikan padamu datang dari niat, bukan dari harga.”
Alya hanya bisa diam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa kosong.
Mereka berhenti di sebuah taman kecil di pinggiran kota. Sam membawa Alya turun dari mobil. Di sana, pepohonan rindang dan suara burung menenangkan suasana.
“Kita tidak punya pesta mewah,” kata Sam sambil mengulurkan tangan, “tapi setidaknya biarkan aku merayakan hari ini dengan sederhana.”
Ia mengeluarkan sebotol sampanye kecil dan dua gelas plastik. Alya tertawa kecil. “Kau serius? Gelas plastik?”
Sam ikut tertawa. “Ya. Aku ingin pernikahan ini dimulai tanpa kepura-puraan. Tidak ada topeng. Hanya kita berdua.”
Mereka bersulang di bawah langit biru. Alya memejamkan mata sejenak, membiarkan udara pagi menyentuh kulitnya. Rasanya seperti memulai hidup baru, tanpa beban yang selama ini menjeratnya.
Namun di dalam hatinya, masih ada sisa tanya.
Apakah ini benar cinta, atau sekadar pelarian?
Apakah ia benar-benar siap untuk membuka hati lagi setelah luka yang dalam?
Sam seolah tahu apa yang sedang ia pikirkan. Ia memegang tangan Alya dengan lembut dan berkata,
“Kau tidak perlu mencintaiku sekarang. Aku tidak meminta itu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian. Aku akan ada, bahkan ketika kamu tidak menginginkanku sekalipun.”
Alya menatapnya, dan kali ini senyumnya tulus bukan senyum sarkas seperti biasanya, tapi senyum hangat yang perlahan memecahkan dinding keras di dalam dirinya.
“Terima kasih, Sam…” katanya lirih. “Mungkin… Tuhan memang menaruh kamu di jalanku saat aku sudah hampir menyerah.”
Sam mengangguk pelan. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Alya.”
Mereka terdiam lama, hanya menikmati momen. Angin bertiup lembut, mengibaskan rambut Alya yang berkilau terkena cahaya matahari. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alya merasa aman.
Sore itu, saat mereka meninggalkan taman, Alya menatap Sam sekali lagi. “Mulai hari ini,” katanya perlahan, “aku akan belajar mempercayai kamu. Tapi jangan salahkan aku kalau prosesnya lambat.”
Sam menatapnya sambil tersenyum hangat. “Aku tidak butuh waktu cepat. Aku hanya butuh kamu tetap di sisiku.”
Mobil mereka melaju perlahan menuju arah kota. Di spion, Alya melihat pantulan dirinya bukan lagi wanita yang hanya dikuasai dendam dan luka, tapi seseorang yang sedang mencoba sembuh.
Hari itu, di bawah langit yang cerah, Alya resmi menjadi Nyonya Sam. Tanpa pesta, tanpa saksi megah, tapi dengan sebuah janji diam-diam bahwa mungkin, cinta bisa tumbuh dari ketenangan, bukan dari kebetulan.