- 𝗨𝗽𝗱𝗮𝘁𝗲 𝗦𝗲𝘁𝗶𝗮𝗽 𝗛𝗮𝗿𝗶 -
Ria merupakan seorang mahasiswi yang dulunya pernah memiliki kedekatan dengan seorang pria bernama Ryan di dunia maya. Hubungan mereka awalnya mulus dan baik-baik saja, tapi tanpa ada tanda-tanda keretakan berakhir dengan menghilang satu sama lain. Sampai Ryan menghubungi kembali dan ingin memulai hubungan yang nyata.
Akankah Ria menerima atau menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpesona
Aku dan Ryan memasuki butik itu. Aku benar-benar terpana melihat interior butik ini. “Sungguh yang luar biasa,” batinku. Seorang pelayan butik ini menyapa kami dengan ramah.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
“Oh, begini mbak. Jadi saya dan teman saya mau laundry di sini bisa?” tanya Ryan.
“Bisa mas.”
“Sekalian carikan baju buat cewek ini ya mbak!” pinta Ryan pada pelayan itu.
Aku membelalakkan mata. Ku tatap Ryan dengan mata melotot dan berkacak pinggang. “Maksud kamu apa?” kataku gemas ingin sekali meninju wajahnya. “Ga ada apa-apa kok. Lagian ini butik bagus. Jadi ga masalah kalo beli baju sekalian. Aku juga mau beli ah...” jelas Ryan sambil berlalu meninggalkanku. Dia sempat menoleh ke belakang dan memintaku merogoh kantung jaketnya.
“Ria tolong ambilkan dompetku di saku kanan jaket!”
Aku melakukan apa yang dimintanya. Lalu, menyerahkan benda itu padanya. Ia hanya berterima kasih sambil berlalu. Sebelum aku dan pelayan wanita itu menjauh, Ryan berteriak, “Pokoknya aku mau dia kelihatan cantik. Kalo perlu dipakekin make up. Bisakan?”
“Iya mas, siap. Mbaknya nanti bakal cantik,” sahut pelayan wanita itu sembari mengacungkan jempol.
Ryan hanya mengangguk dan berlalu ke sisi lain butik ini. Sementara diriku dibimbing oleh pelayan wanita tadi. Sebelum pakaianku dilaundry, aku memilih pakaian. Aku jatuh hati pada gamis berwarna moka, tapi saat aku melihat harganya rasanya aku benar-benar tak mampu. “Ini mah kalo di pasar dapat empat gamis,” pikirku.
“Gimana mbak?” tanya pelayan mengejutkanku.
“Eh… bagus sih mbak, tapi kok mahal ya?” kataku polos.
“Iyalah mbak mahal. Bahannya aja kualitas bagus.”
“Iya, ya.”
“Mbak ga usah bingung. Pilih aja yang mbak suka. Tadi masnya pesen gitu ke saya,” jelas pelayan itu seolah tahu hal yang sedang kupikirkan.
“Serius mbak?” tanyaku masih tak percaya.
Pelayan itu hanya mengangguk. Aku tersenyum. “Kalo dibayarin mah gapapa kali ya ku ambil, tapi kasian juga dia nanti,” batinku. Aku pun akhirnya memilih gamis itu sebagai pilihan. Selanjutnya, pelayan ini menunjukkan ruangan ganti yang bisa dibilang waw sekali. Di dalamnya ada kamar mandi, di sampingnya ada ruang ganti, dan di deretan selanjutnya ada mesin cuci. Lengkap sekali deh pokoknya.
“Mbak mandi saja dulu. Biar pakaiannya saya yang cuci.”
“Makasih mbak.”
Usai membersihkan diri aku mengenakan gamis itu lalu keluar. Pelayan wanita tadi ternyata masih setia menungguku. “Mbak kok masih di sini?”
“Tugas saya belum selesai,” jawabnya.
“Masih ada?” tanyaku.
“Iya. Make upnya belum.”
“Enggak usah mbak, terima kasih,” tolakku halus.
“Nanti saya kena marah mas tadi mbak,” katanya memelas.
“Biar jadi urusan saya. Mbak tenang aja!”
“Ya, sudah kalau gitu. Mari ke depan! Udah ditunggu di san,” ajaknya.
Aku menurut. Kuikuti langkah pelayan wanita tadi. Dari sofa, tampak Ryan sudah menunggu. Dia agak terkejut saat aku datang. “Cantik juga, sayang ga mau di make up,” puji Ryan dalam hatinya. Ryan terus menatapku, membuat aku sedikit tak nyaman.
“Udah ga usah diliatin terus! Aku bukan tontonan,” kataku.
“Hmm… ya maaf,” ujarnya sambil melempar pandangan ke lain
Pelayan wanita itu menyodorkan struk biaya saat ditanyakan oleh Ryan, tak lama setelah pandangannya lepas dariku. Dia membuka dompetnya, mengeluarkan sebuah kartu, dan langsung memberikan kepada pelayan tadi. Pelayan itu menerimanya dan pergi. Aku masih berdiri melihatnya. “Kok dia keliatan beda ya?” pikirku.
“Ngapain di situ? Duduk sini!” teriak Ryan padaku.
Aku sedikit terkejut namun, segera menguasai diri. Aku duduk di tepi sofa yang berseberangan dengannya. Kami saling melihat satu sama lain. “Kenapa liatin aku terus sih?” kataku. “Kamu juga gitu,” sahutnya santai sambil memamerkan senyum manisnya. Dia mengelus dagunya sendiri sambil menatap sekeliling seperti layaknya orang berpikir. Tiba-tiba saja dikebisuan yang melanda kami dia memulai percakapan.
“Kalo aku nikah sama seseorang, terus aku ajak ke sini, pasti dia seneng banget. Ya ga Ria?”
“Ya jelaslah, tapi keknya nanti calonmu senengnya sama butik ini bukan sama kamu. Hahaha…”
“Wah parah kamu. Ya kali, dia mau nikah sama butik,” balas Ryan.
“Yee… malah ngatain aku, kamu kan yang minta pendapat. Jadi terserah aku dong mau komentar apa,” balasku tak ingin kalah.
“Tapi kan aku tanya baik-baik. Harusnya komen yang positif gitu lho.”
“Tadi udah.”
“Itu namanya penghinaan.”
“Pujian…”
“Hinaan tau Ria…”
“Pujian buat butiknya. Hahaha…”
“Apa? Kamu ini…”
Ryan menjeda ucapannya karena pelayan itu datang mengembalikan kartunya. Tak lupa Ryan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, dia mengajakku segera pergi meninggalkan butik ini. Tak lupa aku mengambil barang-barangku yang sempat di laundry dan tasku. Hal yang sama juga dilakukan Ryan. Kami pun segera melangkah keluar.
Tempat parkir ini luas, sampai-sampai mobil Ryan terlihat jelas. Ryan pun segera menghampiri kendaraannya. Aku segera melangkah membuntutinya ke arah mobil. Aku melihat sekitar sambil melanjutkan langkahku. Tiba-tiba saja Ryan menghentikan langkahnya, hingga akhirnya aku menabraknya. Malangnya nasibku saat tabrakan itu terjadi keseimbangan tubuhku hilang. Aku tak sempat menguasai diri. Untunglah Ryan dengan sigap menangkap tubuhku yang hampir menyentuh tanah.
Jantungku berdebar kencang saat lengan yang sama meraih tubuhku. “Astaga mimpi apa aku semalem? Rasanya kaya putri ketemu pangeran. Eh hus… huss…mikir apa aku ini,” kataku pada diri sendiri. Meski aku hanya membatinnya, Ryan sepertinya tahu aku benar-benar gugup menghadapinya langsung. Mata tajamnya langsung mengunci pandanganku. Aku menelan ludah. Degupan jantung ini kian menjadi.
Kemudian Ryan membantuku berdiri. Mata itu tak mau melepasku. Dia terus saja menatapku. Sampai akhirnya, dia menaikkan sebelah alisnya dengan tampang bingung. “Kenapa?” tanyanya.
“Ga kok, ga kenapa-napa,” jawabku cepat sambil menyembunyikan wajahku yang mulai memerah.
“Oh…” katanya cuek.
Aku mendongakkan kepala menatap punggungnya yang kini tengah membuka pintu mobil. “Ih, cuek banget sih tuh orang. Dasar cowok nyebelin udah bikin aku mati kutu dan ga ngerasa bersalah,” batinku jengkel. “Ngapain masih di situ? Buruan masuk!” teriaknya.
“Iya, iya.”
“Iya aja terus aku tinggal di sini baru tau rasa kamu,” ancamnya.
Aku yang sudah ada di sampignya langsung melotot. “Awas ya. Nanti kalo kamu udah punya calon aku bakal bilang kalo kamu suka ninggalin cewek,” anacamku.
“Berani kamu ngancem aku?”
“Berani lah emang kamu doang.”
“Sayangnya aku ga keberatan sama sekali karena sekarang ada Google Map. Jadi kalo nyasar gampang carinya,” jelas Ryan.
“Nyebelin…” kataku dan langsung masuk ke mobil dan menutup pintunya.
Ryan yang masih berada di luar menertawakanku. “Apa keliatan bodoh ya aku tadi tuh?” tanyaku. Dia tak segera masuk ke mobil untuk mengemudi. Aku membuka jendela lalu meneriakinya, “Buruan masuk!” Dia memiringkan kepala dan tersenyum. Lalu mengatakan, “Oke sayang!”
“Jangan panggil aku sayang…!” teriakku ke arahnya.
Ryan terus saja berjalan tanpa memedulikan teriakan dariku. Dia masuk ke mobil, duduk di kursi kemudi. Lalu, memasukkan kunci ke dalam lubang kuncinya. Dia mulai menyalakan mesin mobil. Mesin pun mulai menderu, mengeluarkan suaranya yang begitu halus. Aku menoleh ke arahnya yang sudah mulai fokus mengemudi.
“Kak maaf ya,” kataku tanpa sadar.
“Maaf untuk apa?” tanyanya sambil tetap fokus mengemudi.
“Aku tadi dah ngrepotin kamu,” kataku sambil menggigit bibir bawah.
“Oh, gapapa kok.”
“Terus jangan panggil aku sayang dong kak,” kataku memelas.
“Lho bukannya kamu yang barusan panggil aku sayang?”
“Iih… nyebelin…” kataku dan langsung merajuk.
Kak Ryan hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang kekanak-kanakan. Tangan kirinya merogoh sesuatu dalam dasbor mobilnya. Lalu, keluarlah sebatang coklat silver queen yang masih utuh. Dia meletakkan itu di pangkuanku. Aku segera menoleh menatapnya yang sudah kembali fokus. Aku mengambil coklat itu lalu bertanya, “Buat aku?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Makasih…” kataku sambil tersenyum manis.
Dia menoleh saat senyum yang begitu manis itu terukir di wajahku. “Apa ini? Aku terpesona dengan dia yang begitu polos, tapi dia cantik juga,” pikirnya dan bersamaan dengan itu senyumnya terukir di wajahnya tanpa sempat aku sadari. Kemudian, Ryan mengatakan sama-sama dan mengalihkan pandangan ke jalanan lagi.
Lagi-lagi aku mengganggunya, mengajaknya bicara. “Kak tau dari mana kalo cewek ngambek obatnya yang manis-manis?” tanyaku penasaran.
“Aku kan pernah pacaran jadi tau lah mood cewek itu kaya apa. Terus kakak sama adek aku juga cewek. Jadi plus-plus deh, paham mood cewek.”
“Terus kenapa sekarang kakak malah jadi jomblo?” godaku dan langsung tertawa kecil.
“Soalnya cewek yang aku suka ga mau diajak pacaran deh. Kayaknya dia mau langsung kuajak nikah aja kali ya.”
“Seriusan kak?”
“Serius…” katanya penuh penegasan.
Aku tertawa lagi. Ryan menatapku yang tertawa dengan memiringkan kepala dan tetap fokus mengemudi. “Dan kalo kamu mau tahu cewek itu siapa? Dia ada di samping aku sekarang. Dia lagi ngetawain cewek yang ga mau aku ajak pacaran. Padahal yang aku maksud itu kamu Ria,” batin Ryan. Dia merasa geli juga dengan kejadian ini dan akhirnya ikut tertawa.
Di tengah perjalanan mengantarku pulang, tiba-tiba saja mobil ini berbelok ke arah lain. “Mau ke mana kak, kostku kan di sana?” tanyaku. Dia hanya diam saja. Aku semakin sebal jika dia mulai bertingkah. Aku berteriak di telinganya. “Kakak….!” Ryan segera mengisyaratkan untuk diam. Aku diam sambil melipat kedua tanganku, kembali merajuk. Saat mobil ini sudah berhenti, barulah Ryan mengajakku turun. Tapi aku tetap di tempat. Akhirnya dia turun duluan.
Aku sempat mengira dia akan masuk ke sana sendirian. Ternyata aku salah, dia membuka pintuku. “Mau turun sendiri apa aku gendong?” tawarnya. “Sendiri,” jawabku cepat. Lalu, aku segera turun dari mobil. Ryan menutup pintu mobilnya lalu menghampiriku. “Kenapa ga minta gendong aja sih?” godanya. Tanpa pikir panjang lagi segera kupukul lengannya dengan sekuat tenaga. Dia hanya tertawa geli saat aku melakukannya, tapi aku tidak menyerah begitu saja. Aku terus memukulinya bertubi-tubi. Sampai akhirnya, dia mencekal pergelangan tanganku.
Tangannya jauh lebih kuat dariku. Aku bersusah payah melepaskannya, tapi tetap saja gagal. Ia semakin menguatkan cekalannya. “Lepasin!” kataku sambil berteriak. Dia berlagak tak bersalah dengan mengangkat satu alisnya sambil berucap, “Apa? Lepas?”
Tanganku yang satu masih bebas segera kugunakan untuk menyerangnya. Namun, nasibku lebih buruk dari sebelumnya. Kedua tanganku kini terperangkap. “Minta maaf dulu baru aku mau lepasin!” katanya memerintahku.
“Nggak mau. Salah kamu sendiri yang mulai.”
“Oke. Kalo itu maumu, kita gini aja terus.”
“Hah? Apa?”
“Hayo gimana? Mau minta maaf ga?”
“Iya. Iya aku minta maaf.” Lalu, kedua tanganku dilepaskan.
“Ayo kita makan dulu!” ajaknya dengan nada yang bersahabat.
“Aneh, tadi aja ngomel-ngomel terus jadi baik lagi. Huh nyebelin,” batinku.
Kami memasuki sebuah warung makan yang cukup terkenal di daerah Jogja. Siapa sangka, orang kelas atas seperti dia mengajakku ke sini. Menu-menu di sini sederhana, enak, dan murah tentunya. Daya tariknya membuat pelanggan setia untuk kembali mencicipi hidangan di sini. “Ramai sekali,” pikirku. Ryan mulai mengamati meja-meja yang tersedia dengan teliti. Biarpun ramai, tapi dia berhasil menemukan meja kosong di salah satu sudut warung makan. Lalu, dia mengajakku ke sana.
Suasana warung ini begitu asri. Di sekeliling kami nampak pepohonan hijau dan bunga-bunga dengan warna yang cantik. Aku terus saja memperhatikan sekitar tanpa memedulikan orang yang duduk berseberangan denganku. Sampai aku tak sadar hidangan sudah tersaji di mejaku.
“Loh tadi aku belum pesen deh?”
“Udah aku pesenin. Lama nunggu kamu. Nglamunin apa tadi?”
“Eh… sorry kak.”
“Nggak papa udah mulai biasa aku digituin.”
Ryan mulai memasukkan makanan ke mulutnya. Aku terus saja memperhatikannya. “Seperti ada yang aneh?” pikirku. Tak butuh waktu lama dia menatapku penuh tanya. Aku gelagapan ingin berkata apa. Jadi aku mengalihkan pandangan.
“Buruan dimakan!”
“Iya…”
Aku menatap menu yang sengaja disamakan. “Ikan, dia juga suka ikan?” batinku. Karena dia menatapku lagi, aku memilih untuk menyantap menu ini. Di sela-sela kami menikmati ikan bakar yang begitu enak rasanya, dia mengajakku bicara.
“Ria, kamu suka makan apa? Maaf nih tadi aku langsung samain menunya,” katanya dengan rasa sedikit bersalah.
“Aku juga suka ini kok. Santai aja kak,” sahutku.
“Bagus deh, ku kira tadi marah.”
Akhirnya tak butuh waktu lama lagi, makanan kami sudah habis. Dia mengajakku untuk pulang. “Lagi, lagi, dan lagi. Bukannya dari awal dia mau anterin aku pulang, tapi malah ngajak mampir sana sini,” pikirku.
“Kak!”
“Hmm…”
“Katanya mau anterin aku pulang. Kok malah ngajak muter-muter?”
“Sekali-kali gapapa kan? Lagian ini baru pertama kalinya kita ketemu langsung.”
“Terus ini mau ke mana?”
“Rahasia…”
“Hih nyebelin,” kataku kesal.
“Tapi aku yakin nanti kamu bakal suka deh.”
“Dih PD amat jadi orang.”
“Iya dong. Kalo PD itu justru peluang menangnya gede.”
“Ga ada lomba. Ga usah ngarep.”
“Kata siapa?” tanyanya seolah memojokkanku.
“Apaan sih? Aneh.”
Aku membuang muka ke jendela samping. Namun, dia justru mengatakan hal yang asing di telingaku. “Kamu cantik kok,” katanya. Lalu, kembali ke posisinya. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Pipiku mulai bersemu merah. Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.
Dia masih memperhatikanku sambil tersenyum. “Emm… aku keknya salah ngomong deh tadi. Maaf ya,” katanya tiba-tiba. Kesabaranku seolah dikuras. Aku menarik kedua tanganku yang menutupi wajah. Lalu, bersiap memukulnya dengan tenaga ekstra. Dia lebih cekatan dari yang ku kira. “Mau ngapain?” tanyanya sambil memiringkan kepala dan fokus mengemudi.
Tanganku sudah terperangkap. Aku merasa selalu kalah jika berurusan dengan dia. “Nyebelin banget nih orang,” batinku sedikit kesal. Aku mencoba untuk melepaskan diri, tapi sia-sia belaka.
“Nyetirnya pake dua tangan dong! Kalo satu bahaya tau!” kataku memperingatkannya.
“Aku udah biasa gini,” jawabnya santai.
“Lepasin ga?”
“Ga akan.”
Aku menyerah, tenagaku terkuras. Aku memilih diam sambil menyandarkan tubuhku. Tangannya masih setia mencekal pergelangan tanaganku. Rasa itu seolah menelusup sampai ke hatiku. Entah mengapa ini rasanya begitu nyaman. Sampai akhirnya mataku terkatup.
Tangan yang digenggam oleh Ryan seperti tak punya tenaga lagi bahkan perlahan mulai melemah. Dia belum menyadari bahwa Ria tertidur pulas. Dia masih menggenggamnya dengan berbagai macam harapan yang terselip di hatinya. “Aku ingin memenangkan hatimu, tapi …” batinya seolah berhenti berkata. Dia menengok Ria yang ada di sebelahnya.
Wajah polosnya begitu terlihat. Pesona cantiknya bertambah puluhan kali lipat. Ryan melepaskan cekalannya lalu segera menepi, menghentikan mobilnya. Entah mengapa dia ingin menyentuh Ria, tapi dia urungkan niatan itu. Dia bimbang ingin melanjutkan perjalanan atau menunggu Ria sampai bangun. Dia pun memutuskan melanjutkan perjalanan karena jaraknya tak begitu jauh dari tempatnya sekarang.