"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Menikah Saja~
Marco segera menyusul Mora keluar. Ia menemukan wanita itu sedang duduk di bangku panjang di depan toko, menatap kosong ke arah eskalator. Marco duduk di sebelahnya, memberi jarak yang sopan namun cukup dekat untuk bicara.
Mora terkejut merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Ia menoleh sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan, menyembunyikan matanya yang sedikit memerah.
Marco berdehem, melonggarkan dasinya sedikit. "Kenapa kamu keluar?" tanyanya dengan suara berat namun tenang.
"Enggak apa-apa. Cuma cari udara segar. Di dalam pengap," balas Mora berbohong.
Marco menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, menatap langit.
"Aku enggak tahu bagaimana ceritanya kamu bisa hamil anakku, Mora. Aku belum tahu detailnya. Apakah itu kesalahan medis, kamu sengaja mencurinya, atau yang lainnya. Tapi satu hal yang pasti ...," Marco menoleh, menatap profil samping wajah Mora yang tegas.
"Beberapa hari lagi hasil tes DNA keluar. Aku yakin seribu persen mereka adalah anakku. D4rahku mengalir di tubuh mereka. Setelah itu, aku akan membawa mereka ke kediaman utama Ramirez di Spanyol. Tempat di mana seharusnya mereka berada. Tempat di mana penerus Ramirez dibesarkan dengan fasilitas terbaik, pendidikan terbaik, dan perlindungan maksimal."
Mora mer3mas tangannya di pangkuan. Mendengar kata 'Spanyol dan dibawa' membuat jantungnya sakit.
Marco melihat kecemasan itu. Suaranya melembut. "Namun ... aku tidak sekejam itu memisahkan anak dari ibunya."
Mora menoleh cepat, menatap Marco dengan harapan.
"Jika kamu ingin ikut, aku tak akan melarang. Aku tahu, mereka masih sangat membutuhkanmu. Kamu bisa ikut ke Spanyol dan merawat mereka di sana. Tinggal di mansion Ramirez," tawar Marco.
Mora menggeleng tegas. "Tidak, Mama Kirana ada di sini. Dia sudah tua, aku tidak bisa meninggalkannya sendirian di masa tuanya. Biarkan anak-anak di sini, bersamaku dan Mama. Mereka bahagia di sini."
"Aku akan sediakan pembantu, perawat, supir, apapun untuk menemani mama kamu di sini. Aku penuhi semua kebutuhannya. Atau bawa mamamu sekalian," balas Marco cepat. "Kita bisa buat kesepakatan. Sebulan di sana, sebulan di sini. Karena aku juga tak bisa meninggalkan negaraku dan bisnisku terlalu lama. Aku berencana membangun kantor cabang perusahaan di sini, biar ada alasa aku sering kembali ke Indonesia."
Mora menghela napas kasar. Tawaran itu terdengar masuk akal. Tapi itu keputusan yang rumit. Menyerahkan hidupnya di bawah kendali Marco? Itu menakutkan. Lagi, ia harus menghindarkan kedua anaknya dari keluarga Ramirez berdasarkan pesan Lucia. Ia rasa, ada sesuatu yang membuat wanita paruh baya itu mengatakannya.
Marco melihat Jack dan anak-anak sudah keluar dari toko mainan, membawa kantong-kantong belanjaan yang besar.
Marco berdiri, merapikan jasnya. "Aku hanya ingin menyampaikan opsi itu. Kamu masih punya waktu untuk berpikir sampai hasil tes keluar."
Tanpa menunggu jawaban, Marco melangkah menghampiri anak-anaknya, meninggalkan Mora yang mengusap wajahnya dengan kasar, merasa semakin terpojok oleh keputusan.
.
.
.
.
Malam harinya, suasana di rumah Mora terasa lebih tenang namun canggung. Makan malam bersama telah usai, dengan menu sate ayam yang dibeli Jack.
Marco bertekad bulat. Malam ini ia tidak mau lagi tidur di kursi ruang tamu. Ia tidak mau lagi bersahabat dengan nyamuk-nyamuk nakal yang menggigit kulit mahalnya, apalagi harus memakai lotion bau bunga kuburan itu lagi.
Pria itu berjalan menuju dapur, menghampiri Mora yang sedang membereskan meja makan dan mencuci piring.
"Mora," panggil Marco.
"Apa lagi?" jawab Mora tanpa menoleh, berniat mencuci piring.
"Apa di sini enggak ada kamar lain? Gudang yang bisa disulap jadi kamar, mungkin?" tanya Marco penuh harap.
Langkah tangan Mora terhenti. Wanita itu berbalik, menatap Marco dengan tatapan heran bercampur kesal. Ia mengibas-ngibaskan tangannya.
"Tentu saja enggak ada, Tuan Miliarder. Rumah ini rumah yang dipaksakan. Hanya ada tiga kamar tidur. Satu kamar Mama dan anak-anak, satu kamarku. Kamu mau tidur sama mamaku? Silakan kalau berani menghadapinya," desis Mora tajam.
Marco hampir tersedak lud4hnya sendiri membayangkan tidur sekamar dengan mertua, calon mertua eh ... maksudnya, nenek dari anak-anaknya. "Tentu tidak!"
"Lalu? Mau tidur di mana lagi? Genteng?"
"Tidur denganmu saja bagaimana?" usul Marco dengan wajah polos tanpa salah.
PRANG!
Sendok yang dipegang Mora jatuh ke lantai. Mata Mora membulat sempurna, ekspresinya antara syok dan tak percaya.
"Kamu siapaaa?!" pekik Mora, suaranya naik satu oktaf. "Pacar bukan, suami bukan, kenal baik juga belum, tiba-tiba pengen tidur bersama? Kamu cari kesempatan dalam kesempitan, ya?! Dasar buaya! Gak ada bedanya kamu sama teman buaya buntungmu si Xyro itu!"
Marco mengerjapkan matanya, bingung dengan reaksi meledak-ledak Mora. "Memangnya kenapa? Kan hanya tidur. Memejamkan mata di kasur yang sama. Aku tidak bilang akan menidurimu atau melakukan hal-hal dewasa. Aku cuma butuh kasur empuk, Mora. Punggungku sakit."
"Heh!" Mora maju selangkah, menunjuk wajah Marco dengan jari telunjuknya. Matanya menyalang penuh peringatan.
"Dengar ya, Tuan Bule. Kultur di sini itu menjunjung tinggi adab dan norma! Tidak etis pasangan yang belum menikah, tidak ada ikatan d4rah, tidur sekamar berduaan! Tetangga bisa grebek kita! Namanya kumpul kebo!"
"Kumpul ... kebo? Buffalo gathering?" tanya Marco bingung, keningnya berkerut. "Kenapa bawa-bawa kerbau?"
"Ya, itu istilahnya! Artinya hidup bersama tanpa ikatan pernikahan! Kamu mau diarak warga keliling kampung setengah tel4njang karena ketahuan kumpul kebo? Sudah sana! Kalau enggak mau tidur di kursi, balik ke hotel mewahmu itu! Gitu aja repot!" omel Mora panjang lebar.
Mora berbalik badan dengan kesal, kembali menghadapi cucian piringnya. Bunyi gelas dan piring yang beradu keras menandakan emosinya yang sedang tidak stabil.
Marco terdiam sejenak. Ia menatap punggung Mora. Rambut wanita itu dicepol asal, memperlihatkan leher jenjangnya. Sosok ibu dari anak-anaknya. Wanita yang keras kepala, galak, tapi sangat menyayangi keluarganya.
Tanpa sadar, kaki Marco melangkah mendekat. Ia berdiri tepat di belakang Mora, jaraknya begitu dekat hingga Mora bisa merasakan hawa tubuh pria itu.
"Kalau begitu ...," bisik Marco tepat di telinga Mora. "Kenapa kita tidak menikah saja?"
Deg!
Tangan Mora membeku di dalam air sabun. Jantungnya seolah berhenti berdetak sedetik, lalu berpacu gila-gilaan.
Mora menoleh perlahan, mendapati wajah Marco yang menunduk menatapnya. Jarak wajah mereka hanya tinggal beberapa senti. Mata tajam Marco menatapnya serius, tidak ada keraguan di sana.
"Me ... menikah?" gagap Mora.
Suasana hening dan tegang menyelimuti dapur sempit itu. Hanya suara tetesan air keran yang terdengar.
"MOMMYYY!! CUCU LAKA MANA?"
Teriakan cempreng Rakael menghancurkan momen dramatis itu berkeping-keping.
Refleks, Mora dan Marco melompat menjauh satu sama lain. Mora kembali pura-pura menggosok piring yang sudah bersih, sementara Marco pura-pura memeriksa kulkas yang tertutup. Wajah keduanya memerah padam.
Rakael muncul di ambang pintu dapur dengan memeluk boneka robot barunya, menatap kedua orang dewasa itu dengan tatapan polos penuh selidik.
"Om minta cucu Mommy juga ya?" tanya Rakael polos.
Marco dan Mora meng4nga.
"Raka ...," Mora memijat keningnya yang pening.
Rakael menatap Marco. "Om mau cucu Mommy juga?"
Pertanyaan ambigu dan polos Rakael membuat otak Marco korslet seketika. Imajinasi liar sempat melintas sebelum ia sadar itu hanya kesalahan pelafalan bocah cadel.
"Kamu ... punya susu?" tanya Marco pada Mora dengan tatapan kosong, otaknya masih loading.
Mora rasanya ingin pingsan saat itu juga. Wajahnya merah padam seperti kepiting rebus. "SUSU KOTAK! Maksud dia susu kotak di kulkas! Astaga, sembunyikan aku sekarang dari dua pria iniiii!" batin Mora menjerit histeris.
______________________
Walau terkesan santai, tp Raka jeli
Itu bagus
Tau & kelak bergerak dlm senyap
Bkn mengawal...tp mengawasi !
Pacti celuuu nyanyi baleenngg 😆😆
Suruhan siapa lagi ini