CINTAKU SEPERTI JEMBATAN GARAM

CINTAKU SEPERTI JEMBATAN GARAM

Rasa Rindu

Mentari pagi memancarkan sinarnya. Kicau burung meramaikan pagi. Aku masih terpaku menatap dinding kamarku. Pikirku melayang menembus batasan waktu kini. Apa ini? Apa aku merindukannya? Tapi siapa aku? Beraninya merindukan sosok itu lagi.

Sosok yang telah lama ku lupakan dari memori otakku, tapi terus saja muncul tanpa pernah ku duga. Sebenarnya ini apa? Perasaan yang tiba-tiba hadir tanpa permisi. Di saat seperti ini aku tak lagi tahu urusan hati terutama kaum lelaki. Sadarlah Ria kamu masih kuliah.

Ku dengar suara nyaring di depan kostku, “Ria bangun woy udah jam segini lu masih molor aja!”

“Iya Fin, aku juga dah bangun kok,” jawabku saat menemuinya di ambang pintu.

Dia Fina teman kost juga di sini. Aku berteman baik dengannya. Melihat tampangku yang murung itu Fina mulai curiga.

“Lu kenapa kok ditekuk gitu mukanya?”

“Enggak kok nggak kenapa-napa.”

“Alah boong lu ya?”

“Hmm… apasih kamu itu pagi-pagi dah ganggu aja?”

“Tuh kan bener lagi ada apa-apa nih. Udah pasti kalo sikap lu jadi jutek gini ada something. Ya kan ngaku aja lu!”

“Iya ada sedikit masalah, tapi ntar lagi selesai kok.”

“Btw masalah apa nih kira-kira? Keknya serius deh,’ tanyanya sambil terus menatapku seperti menyelidiki.

“Pribadi,” jawabku. Lalu, aku segera menutup pintu. Fina terus saja menggedor-gedor pintu itu. Menyeru padaku untuk membukanya, “Ria buka! Woy yang bener aja lu galau sampe segitunya?”

“Udah Fin sana aja! Aku lagi mau sendiri.”

Fina menyerah juga. Dia meninggalkanku sendiri. Sedang aku meneruskan pertanyaan hatiku yang mengganjal ini.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku saat ini? Kok rasanya aneh banget ga kaya biasanya.

“Ting” notif pesan di ponselku. Aku segera meraihnya. 

✉️ Hai apa kabarmu?

Aku mengernyitkan dahiku. Ini siapa? Kok tahu nomorku. Karena masih suntuk dan malas aku tak membalasnya. Aku pun memilih untuk mandi.

Orang yang mengirimiku pesan tadi masih menunggu balasan dariku. Lama banget sih? Kok ga dibales-bales kan udah dibaca? Orang itu Ryan. Dia menghubungiku untuk memberitahuku sesuatu hal. Dia sengaja melakukannya dengan cara yang sama tentunya lewat dunia maya. Diam-diam dia meminta nomorku kepada salah satu admin grup yang dulu pernah ku ikuti dan di sanalah aku mengenalnya sebagai sosok yang begitu tak ku percaya.

Merasa tak direspon dia pun menghubungi admin, “Hei min, ini bener nomornya Ria kan?”

“Iyalah bang masa aku boong sih.”

“Lah masa chatku cuma dibaca ga dibales?”

“Lah kan ga kenal nomor abang jadi ga direspon lah.”

“Perkenalan dulu aja bang nanti pasti dibales kok!”

“Oke gue coba.”

✉️ Ini aku Ryan, temen kamu yang waktu itu di grup matematika.

Lama tak mendapatkan balasan dari Ria, Ryan pun memutuskan untuk melakukan hal lain. Yah mungkin aja dia lagi sibuk. Kan masih kuliah pikir Ryan.

Tak lama kemudian, aku sudah rapi dengan pakaian dan jas almamaterku. Entah mengapa aku ingin memakainya. Mungkin karena cuaca sedikit dingin. Huh aku paling sebal kalau cuaca dingin begini. Bisa-bisa masuk angin kalo sampe kedinginan beneran. Belum lagi pernah gegara kedinginan eh aku malah pingsan. Oke waktunya berangkat.

Ku langkahkan kaki ini menuju salah satu kampus di Jogja tepatnya di UGM. Yup dua tahun lalu aku menjadi maba dan ga terasa kini udah di penghujung semester. Lelah rasanya kuliah itu, tapi aku ingin meningkatkan kualitas diriku juga pengalamanku. Sehingga, ku putuskan untuk kuliah di sini. Meskipun aku berasal dari sekolah pelosok buatku tak masalah. Hingga kini semuanya berjalan aman- aman saja.

Jarak kostku ke kampus tak begitu jauh. Yah kurang lebih sepuluh menitan kalo jalan kaki. Tiba di depan gerbang aku mendengar suara teriakan seseorang, “Ria tunggu!”

Aku pun menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Ternyata dia Fina temanku yang tadi pagi mengingatkanku masuk kuliah pagi. Dasar aneh yang gedor-gedor tadi dia. Eh taunya malah telat. Ia berlari menghampiriku. Napasnya terengah-engah.

“Fin! Fin! Lu tuh ya kenapa malah di belakang gue?”

“Ih Ria sabar napa? Ga tau orang masih ngos-ngosan gini malah diajak ngobrol.”

Aku menunggunya beberapa saat kemudian dengan entengnya dia menjawab, “Gue tadi nyariin HP ga ketemu.”

“Alasan HP lagi,” gerutuku.

Fina malah nyengir.

“Udah yuk masuk!” ajakku.

Kami pun memasuki area kampus dan menuju ke tempatku. Oh iya aku di sini mengambil jurusan Kimia. Tentunya harus ke Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sesampainya di ruang kelas kami sudah banyak mahasiswa lainnya yang berjubel di sana.

“Ini ada apa ya Fin? Tumben jam segini dah pada datang,’ tanyaku.

“Entahlah Ri, gue juga ga tau. Duduk aja yuk!”

Aku hanya menurut padanya meski masih penasaran dengan suasana pagi ini yang terlihat berbeda.

“Ah itu dia orangnya!” teriak salah satu dari mereka. Aku menatapnya heran. Ada apa? Kenapa aku yang kena?

“Ria……. Kami mau diajarin ini dong! Plisss….!”

“Eh,” jawabku sedikit kaget.

“Kenapa lu ga mau ya?”

“Enggak bukan gitu. Emang ini bakal ada apaan sih kok pada belajar?” tanyaku.

“Apa lu lupa ya hari ini kan tesnya,” jawab Iza.

“Eh apa? Tesnya hari ini?”

Mereka semua mengangguk kompak. Sementara Fina sudah sibuk mengubek-ubek tasnya mencari sesuatu. Saat ditemukannya buku itu dia terbelalak saat membukanya.

“Aaaaa……… bener Ri hari ini tesnya kok kita bisa lupa sih. Mana belum belajar pula,” gerutu Fina.

“Ayolah Ri ajari kami!” pinta mereka.

“Oke tapi nanti kalo ga tuntas gimana?”

“Penting ada yang kita pahami Ri urusan nanti remed dapat tugas lain kami siap,” kata Dodi.

Akhirnya akupun memulai mengajari mereka yang bertanya. Untung juga waktu tesnya jam ke tiga. Jadi masih sempet buat kita belajar. Salah satu diantara kami ada yang ditugaskan untuk menjaga pintu. Takut kalau nanti dosen datang. Apalagi ini bukan dia pengajarnya. Bisa kacau.

Aku menuliskan deretan rumus-rumus kimia yang kelihatannya sangat rumit. Padahal aslinya mudah kok.  Mereka saja yang belum mengerti. Selesai menulis, aku berbalik menghadap mereka. Ku jelasan apa yang ku tulis barusan dengan sangat detail. Semoga saja mereka paham.

Tak lama bel masuk berbunyi. Gery yang menjadi penjaga pintu segera menuju tempat duduknya. Sambil berteriak, “Dosen datang!” Aku sesegera mungkin menghapus papan tulisnya. Ku rapikan kembali barang-barang di meja. Lalu, aku kembali ke tempat dudukku. Fina yang melihatku terlihat panik malah tersenyum sendiri.

“Malah senyum-senyum. Seneng ya Fin liat gue kek gini?”

“Hehehe… ya iyalah,” jawabnya jujur.

“Dasar temen ga punya hati.”

“Kalo gue ga punya hati mana bisa gue hidup Ri. Soalnya kan hati merombak sel darah merah kita,” jelasnya seolah menyindirku.

“Terserah lu dah.”

Fina tak lagi melanjutkan percakapan karena dosennya sudah masuk. Matkul kali ini cukup menantang gabungan antara biologi dan kimia atau istilah kerennya biokimia. Kebayang ga tuh sama matkulnya. Kali ini masih materi dasar belum masuk ranah forensic (ilmu Kimia yang mempelajari tentang DNA). Umum aja ini matkul udah njlimet kek gitu, tapi gue justru malah semakin dibuat penasaran dengan isinya. Jadi keinget dulu pas aku memilih jurusan. Niatnya ambil Teknik Kimia, tapi karena rasanya tuh belum siap aja jadi gue mundur dan milih Kimia Murni aja deh.

Meski pernah nyesel sih niatku ga kesampaian tapi gue tetep semangat karena ada keluarga di desa yang butuh banget gue jadi seseorang yang bermanfaat buat masyarakat sekitar. Jadilah gue berusaha buat terus maju. Apa pun halang rintangnya harus bisa dilewati. So menurut temen-temen gue sih paling susah ngendaliin rasa suka alias cinta. Kadang emang gitu sih kalo kita ga bisa mengendalikannya bisa bahaya. Baper parah dah.

Oke lanjut ke pembelajaran hari ini. Di mana banyak sekali istilah asing yang gue temui. Belum lagi nanti praktiknya. Huh gue udah gatel nih ga sabar pengen coba. Dosen itu selesai menjelaskan materinya. Beliau berbalik badan menghadapi mahasiswanya. Dengan tatapan yang begitu bersahabat. Ditanyanya mahasiswa di hadapannya itu, “Bagaimana apakah kalian semua paham dengan apa yang saya jelaskan?”

Semua bingung mau menjawab apa. Justru ada yang kelihatan berpikir keras sambil memukulkan ujung penanya ke pelipis. Mikir? Ya iyalah bro sis masa iya jawab ga mikir dulu. “Mungkin agak lumayanlah, waktu kami buat memahami pak,” sahut seorang mahasiswi cantik yang entah apa pun alasannya lebih memilih duduk di belakang sana.

“Kamu benar sekali Tania. Butuh waktu lebih untuk kalian memahami materi ini,” ujar pak Budi selaku guru biokimia.

“Pak kenapa ga suruh Ria aja buat njelasin!” usul Fina.

“Apa-apaan sih lu Fin ngaco aja kalo ngomong,” bisikku 

“Loh gapapa kali Ri kan bagus.”

Fyuh… aku menghela napas berat. Sedetik kemudian, dosen tersebut menatapku dan berseru, “Ayo Ria silahkan!”

“Eh…. kok saya…” kataku sedikit kikuk ditambah lagi dengan pandangan yang lain.

Harga diri gue dipertaruhkan di sini. Oke, gue harus bisa. Aku segera beranjak dari tempat dudukku menuju depan kelas. Ku tatap wajah-wajah penuh kemenangan mereka. Aku memulai penjelasan dari yang paling dasar hingga membuat mereka benar-benar paham akan apa yang gue sampaikan.

Selesai menjelaskan semua itu dosen tersebut menyuguhkan tepuk tangan yang membuat seisi kelas mengikutinya. Kenapa? Pikirku.

“Sangat bagus sekali Ria,” puji dosen tersebut sambil beranjak mendekatiku.

“Kalo begitu kamu jadi asisten saya aja gimana?” tawarnya.

Apa? Asisten? Asisten dosen? Astaga yang bener aja. Masa gue?

“Gimana Ria kamu mau kan?” tanya dosen tersebut.

“Eng…. gimana ya pak saya sendiri juga bingung,” jawabku sembari menggaruk kepala yang tak gatal.

“Oke silahkan kamu pikir dulu yah! Saya akan tunggu jawaban kamu.”

“Baik pak.”

“Waktu mengajar saya masih tersisa lima belas menit tapi materi sudah selesai. Jadi saya undur diri. Selamat belajar di jam berikutnya!”

“Baik pak,” jawab semua serempak. Lalu, beliau pergi meninggalkan ruangan. Tak lama setelah kepergiaannya temen gue yang lain bilang, “Lanjutin deh Ri, kita mau belajar buat tes nanti!”

Aku hanya menurut mereka saja. Dan entah apa yang membuat mereka begitu mudahnya memahami penjelasanku daripada saat dijelaskan oleh dosen. “Tingkah mereka ada-ada aja,” batinku.

Bel pergantian jam berdenting memekakkan telinga. Semua terlihat panik begitupun denganku. Segera ku hapus deretan tinta di papan tulis ini. Huh sebel beud deh masa iya ga ada yang bantuin gue menghapus. Gerutuku dalam hati. Usai kegiatan yang diliputi kepanikan itu mereda dengan sendirinya. Menyisakan mahasiswa duduk di bangku masing-masing dengan tampang tenang. Seolah mereka siap digampar dengan soal tes hari ini.

Ketukan sepatu itu mulai terdengar semakin dekat. Semua yang ada di dalam kelas menjadi was-was, tapi kami berusaha tetap tenang. Hingga dosen matkul termokimia itu masuk ke dalam. Dilihatnya seluruh penjuru kelas dengan matanya. Dia heran sejenak lalu menghentikan langkahnya.

“Kenapa kalian?”

“Tidak apa-apa Pak,” jawab salah seorang dari kami.

“Lalu apa-apaan ini? Kenapa kalian hanya tenang-tenang saja? Padahal hari ini tesnya,” tanyanya lagi.

“Kalo mau tes kan kitanya harus tenang Pak. Kalo panik mana bisa ngerjain kita. Ya nggak teman-teman?”

Pertanyaan itu di jawab oleh penghuni kelas dengan sebuah anggukan kecil. Dosen itu tersenyum kecut merasakan ada hal berbeda telah terjadi. Atmosfer menakutkan darinya seolah luntur seketika. Siapa pelakunya?

Tes itu pun dimulai. Kertas soal beserta lembar jawab mulai mengunjungi para penjawabnya. Dan dengan pemikiran yang hati-hati menjawabnya. Alur waktu yang seolah membeku seketika lalu, diluncurkan dengan tenaga ekstra. Baru beberapa soal yang habis dijawab. 

Dosen tersebut mengisyaratkan pada seluruh mahasiswanya bahwa waktu mengerjakan tinggal 30 menit. Kali ini tak ada satu pun gerakan yang terlihat ragu. Sesegera mungkin diriku menuliskan jawaban di kertas itu. Tepat bel istirahat berbunyi semua telah selesai. Aku tersenyum. Rasanya lega sekali. Tesnya sudah berlalu.

Aku menatap sekitarku mereka nampak lesu. “Apa mereka ga bisa nyelesein tes ini ya?” pikirku merasa bersalah hanya mengajari mereka sebatas itu aja. Semoga ga ada yang remidial deh ya Aamiin….

Satu persatu dari kami mulai maju ke depan untuk menyerahkan lembar jawab beserta soalnya ke dosen itu. Lalu, keluar kelas dengan loyo. Aduh gimana nih? Apa yang bakalan terjadi nanti? Pikiranku masih saja kacau memikirkan mereka. Namun sejurus kemudian mereka tersenyum ke arahku yang baru saja keluar.

“Kalian kenapa?”

“Ya elah pakek nanya lagi,” celetuk Iza.

“Kita tuh lagi seneng tau hampir separuh lebih yang lo jelasin secara dadakan itu masuk ke otak kita. Ya nggak man teman?” tanya ketua kelas kami.

...****...

Malam yang begitu menjemukan untuk Ryan yang masih setia menunggu balasan dari seseorang itu yang membuatnya penasaran. Seseorang yang tanpa sadar menarik hatinya dan membawanya ke sini. Di kota pelajar terbaik se-Indonesia yaitu Yogyakarta. Mungkin alasan ia menerima pekerjaan itu salah satunya karena dia. Seseorang yang diam-diam dirindukannya baik siang maupun malam. Akankah aku bisa bertemu dengan dia? Entahlah.

Pikirnya kembali melayang, menerawang jauh ke masa lalu. Sebuah perkenalan yang tak diduga membuatnya ingin sekali bertemu. Sayangnya mimpi itu terlalu tinggi sementara aku sudah tak lagi melakukan kontak lewat dunia maya dengannya. Lama sekali dan aku masih terus berusaha mencari keberadaannya. Apakah dia juga merindukanku?

Terdengar notifikasi pesan masuk. Ryan segera meraih ponselnya. Dia mengira itu balasan dari orang yang ditunggunya tapi ternyata bukan. Dia sedikit kecewa, tapi bukan Ryan namanya kalau menyerah begitu saja. Segera ia mengirimkan sebuah pesan beruntun kepada seseorang itu yang tak lain adalah Ria. Tanpa mempedulikan pesan yang tadi baru masuk.

✉️ Apa kabar Ria? Lama nih nggak saling kontak.

Satu menit, dua, tiga, empat, lima. Huh kenapa sih ga dibales terus? gerutunya. “Seandainya dia tahu seberapa aku merindukannya, tapi apa mungkin takdir memang tak berpihak padaku?” pikir Ryan. Dia pun mencoba menghubungi sang admin. 

✉️ Hey min kok dia ga bales chatku ya?

✉️ Masa sih Bang? Bentar ya gue coba yang kontak dia.

✉️ Oke thanks min. Gue tunggu.

Di redupnya cahaya malam ini membuatku semakin kesepian. Apa mungkin aku butuh seseorang? Ah tak perlulah untuk saat ini, tapi semua pikiran itu selalu saja berkecamuk di benakku. Hingga beberapa kali notifikasi pesan itu ku abaikan. Lama-lama aku jengah dengan ulah orang yang menchatku malam-malam begini. Mana aku lagi bad mood dari tadi. Segera ku raih ponsel yang sedari tadi tergeletak.

Aku kira orang jail ga taunya admin grup Matematikaku dulu. Segera kubuka chat itu lalu seketika aku membeku setelah membacanya.

✉️ Kak Ria, kak Ryan chat itu lho kok ga dibales sih?

Otakku menerawang jauh ke masa lalu. Saat dimana aku mengenal sosok yang sempat menarik hatiku bahkan aku sempat mengaguminya, tapi itu dulu. Dan kenapa sekarang dia muncul lagi? Admin itu sempat menunggu lama. Oh, iya dia bernama Ilham. Karena tahu aku sedang online dia mengirimiku pesan lagi.

✉️ Kak!

✉️ Bales donk Kak, kasian itu kak Ryannya!

Jemariku dengan cepat mengirim balasan padanya. Ya tentunya setelah aku sadar dari lamunan itu.

✉️ Iya Ham, nanti aku bakal bales kok.

✉️ Oke, sip lah kalo gitu.

Aku masih teringat nomor yang tak ku kenal tadi pagi. Di mana ia mengaku bernama Ryan. Setelah aku scroll chat yang ada aku menemukannya. Ternyata dia sempat mengirim pesan juga. Haduh jadi ga enak. Ku kira tadi orang jail. Segera ku balas chat itu dengan hati-hati. Entah mengapa aku begitu takut kejadian yang lalu terulang lagi.

✉️ Hai juga kak. Alhamdulillah aku baik-baik di sini. Kalo kakak sendiri gimana?

Terdengar notifikasi masuk di ponsel Ryan. Saat melihat siapa itu dia tersenyum. Akhirnya kamu bales chat aku juga.

✉️

Ryan : Alhamdulillah aku juga baik. Oh ya, denger-denger kamu kuliah di Jogja ya?

Ria : Iya kak. Emang kenapa?

Ryan : Em… kamu mau nggak aku ajak ketemuan?

Aku tercengang membaca chat itu. Lalu, membalasnya dengan sangat hati-hati.

Ria : Bukannya Kakak di Bandung ya? Kok ngajak ketemuan aku?

Ryan : Wkwkwk belum tahu ya, aku kan milih kerja di Jogja.

Aku lemas seketika mendapati kenyataan ini. Apa dia di Jogja? Beneran di Jogja. Astaga bisa-bisa aku ketemu beneran. Pikiranku kacau sampai ajakan Ryan tak ku hiraukan sama sekali tentang pertemuan itu.

Ria : Maaf Kak, aku kan masih kuliah.

Ryan : Ya udah gapapa nanti biar aku jemput kamu di depan kampus gimana?

Ria : Eh ga usah kak. Ga usah repot-repot.

Ryan : Enggak kok santai aja. Lagian aku dulu punya janji sama kamu kan?

Deg! Apa-apaan dia. Haduh bikin pusing aja.

✉️

Ria : Em… kapan-kapan aja Kak.

Ryan : Oh, oke, kalo kamu ada waktu kabari aku ya! Aku udah siap meluncur.

Ria : Iya Kak.

Setelah aku berhasil mengakhiri chat malam ini dengan Ryan. Aku memutuskan untuk segera tidur karena saat ku tengok jam yang menggantung di dinding tepat pukul sebelas malam. Segera aku menarik selimut lalu, merebahkan tubuhku di atas Kasur. Mataku yang masih ku buka terpaksa ku pejamkan. Hingga akhirnya aku berhasil tidur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!