NovelToon NovelToon
Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Caeli20

Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ep.23 : Pertemuan dengan Meneer Lorens

Raras memberi pelukan hangat pada Diyah sambil mengusap punggungnya,

"Masih ada kami di sini. Kita percaya saja, Cakra pasti kembali," ucap Raras

Dhiyas tersenyum mengangguk.

"Ayah sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Cakra. Ayah sangat berharap Cakra bisa meneruskan padepokan ini dan menguasai semua tingkatan ilmu," ucap Ayudiah yang juga ikutan mengusap punggung Dhiyas.

Dhiyas menoleh pada Ayudiah,

"Masih ada aku di sini. Masih ada kalian. Masih ada anggota lain," suara Dhiyas lirih.

"Mungkin guru bingung harus menurunkan ilmu tingkatan kelima pada siapa, Yas," tebak Raras.

"Aku mungkin akan menerima ilmu itu," Dhiyas memejamkan mata sekejap.

"Jangan begitu, Dhiyas. Aku tahu kamu sedang menggalau atas kepergian Cakra tapi bukan berarti kamu menyerah atas cinta kalian," tegur Raras.

"Benar, Yas. Bagaimana kalau Cakra kembali dan mendapati kamu sudah menguasai ilmu tingkatan kelima itu. Apa yang akan kamu lakukan. Mundur pun sudah tidak bisa," imbuh Ayudiah.

Dhiyas kembali memejamkan mata.

**

Seribu orang pun menghibur rasanya tidak akan pernah mempan di hati Dhiyas. Hatinya seperti ruangan yang sebelumnya sesak terisi dan seketika kosong. Isinya hilang. Ingin rasanya mengisi kekosongan itu kembali. Tapi bagaimana?

Jangankan itu, untuk makan saja Dhiyas seperti tak berselera. Tidur pun tidak bisa nyenyak. Memikirkan Cakra membuatnya sesak napas.

Apa dia baik-baik saja? Apa dia akan kembali? Itu saja pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya.

Malam itu, di tengah sumpek nya pikiran dan gelisah nya hati, Dhiyas memutuskan untuk berjalan ke luar rumah.

"Mau kemana, Yas?," tanya Nyai Rindi yang hendak melangkah masuk ke kamar.

"Cari angin sebentar, Bu," jawab Dhiyas seraya mengenakan selendangnya.

"Sudah larut, nduk. Jangan jauh-jauh. Ibu dengar, Jepang sudah mulai masuk ke sini. Takutnya mereka suka menculik gadis-gadis seperti yang ibu dengar,"

"Tenang saja, Bu. Aku bisa jaga diri," Dhiyas mengedipkan matanya.

Dhiyas memilih berputar keliling kampung. Jalanan sunyi. Sebagian besar rumah sudah tertutup pintunya. Mungkin orang-orang juga sudah bersiap tidur.

Dhiyas melekatkan selendangnya ke dada. Apa yang dia cari? Tidak ada. Itu bagian dari caranya mengurangi pikirannya tentang Cakra.

Dhiyas menyusuri jalanan besar itu. Ada mobil lalu lalang tapi hanya sedikit.

Sebuah mobil Ford T menepi di depan Dhiyas. Langkah Dhiyas terhenti. Sesosok pria tinggi besar turun dari mobil. Menutup pintu mobil dan berjalan ke arah Dhiyas,

"Selamat malam, nona?," logat Belanda nya kental.

"Malam," Dhiyas waspada.

"Kenapa jalan sendirian sudah larut,"

Dhiyas menatap tajam,

"Santai.. Jangan takut. Saya cuma mau menegur sapa dan berkenalan," lelaki Belanda itu mengulurkan tangan, "Lorens,"

Dhiyas ragu-ragu mengulurkan tangan dan menjabat tangan Meneer Lorens tanpa berkata-kata.

"Nama nona?,"

"Dhiyas,"

"Nama yang cantik. Saya berharap bisa bertemu lagi dengan nona. Saya pamit, selamat malam," Meneer Lorens menundukan kepala dan berbalik menuju mobilnya kembali.

Dhiyas menatap terus hingga mobilnya berlalu.

Dhiyas merasakan sesuatu yang aneh dan janggal di hatinya. Seperti sebuah firasat. Tapi bayangan Cakra masih memenuhi pikirannya sehingga tak ada waktu untuk memikirkan hal lain.

Dhiyas melangkahkan kakinya kembali. Menembus dinginnya malam. Setelah merasa kakinya harus beristirahat, dia memutuskan untuk pulang.

**

Sri Lestari tak menyentuh makan malamnya sedari tadi. Bi Mirna gelisah karena menunggu Sri Lestari tak kunjung beranjak dari meja makan.

"Bu... saya panaskan sup nya ya. Sudah dingin," Bi Mirna memberanikan diri berbicara.

Sri Lestari mengangkat wajahnya dan menatap Bi Mirna dengan tatapan sayu,

"Tidak usah. Dibuang saja. Aku tidak mau makan,"

"Loh, ibu kenapa? Sakit?," Bi Mirna memperhatikan wajah nyonya nya itu.

Sri Lestari menggeleng lemah,

"Aku belum ada semangat hidup sebelum tahu Cakra sudah tiba di Belanda dan berbicara langsung dengan Charles,"

"Setidaknya ibu makan. Kalau ibu tidak makan nanti sakit,"

"Tidak apa-apa sakit daripada jadi miskin. Aku tidak mau," Sri Lestari muram.

"Tuan Charles pasti masih memperhitungkan kehadiran aden. Aden pasti bisa membela ibu di hadapan Tuan,"

"Semoga... pokoknya aku tidak mau jadi miskin, bi. Aku tidak mau jualan jamu lagi," rengek Sri Lestari.

Bi Mirna menatap dengan wajah pias.

**

Mentari pagi muncul dengan cerahnya di atas langit padepokan. Ini bukan pagi-pagi benar. Baru sekitaran jam 10 pagi.

Dhiyas sedang melatih beberapa pemuda yang baru bergabung bersama padepokan Giri Wening. Suaranya lantang memberi aba-aba di setiap gerakan bela diri yang diajarkan.

"Setiap gerakan kalian harus tenang dan berisi. Pukulan yang kuat tapi kosong tidak bisa menembus organ dalam lawan. Jadilah seperti angin. Terlihat lemah bahkan tak bisa digenggam. Namun kekuatannya bisa merobohkan sebatang pohon," ucap Dhiyas dengan tegas.

Satu per satu pemuda mengayunkan tangan dan kaki dengan seirama. Dhiyas melangkah perlahan di tengah mereka. Sesekali dia membetulkan posisi bahu, kekurusan tangan, menekan pergelangan tangan, lalu mundur tanpa banyak kata.

Dhiyas kembali ke depan. Saatnya menutup latihan. Sebelum mengakhirinya dia berkata :

"Jangan memukul dengan benci," Dhiyas menatap mata para pemuda, "Lawan dengan kesadaran. Orang yang kehilangan kendali sesungguhnya adalah orang yang lebih dulu kalah,"

Latihan selesai. Semuanya menundukan kepala lalu bubar.

Dhiyas mengambil handuk kecilnya dan menyeka keringatnya sembari duduk di tangga pendopo depan.

"Minum dulu," Arya datang dari dalam padepokan, menyodorkan minuman untuk Dhyas. Dhyas menoleh.

"Terima kasih," Dhiyas mengambil minuman yang disodorkan.

Arya mengambil bagian duduk di tangga pendopo di samping Dhiyas,

"Luka bekas tembakan itu belum kering betul. Harusnya kamu banyak-banyak istirahat, jangan dulu banyak gerak" Arya memberi saran.

Dhiyas tersenyum,

"Aku bisa lebih sakit kalau tidak bergerak," Dhiyas meminum minuman pemberian Arya, "Oh ya, terima kasih untuk belatinya. Aku gunakan saat di de Rozenkamer,"

Arya melirik sedikit ke Dhiyas lalu menatap ke depan,

"Simpan saja. Suatu saat pasti akan berguna lagi untukmu," Arya membuang napas, "Apalagi sekarang tidak ada Cakra yang menemanimu," suaranya dipelankan.

"Akan ku simpan," ucap Dhiyas

Arya tersenyum kecil,

"Senang bisa selalu dengan mu walaupun hanya melalui belati itu,"

Dhiyas tertegun sejenak mencerna kata-kata Arya.

Arya beranjak berdiri,

"Kalau kamu butuh sesuatu, sampaikan saja padaku. Aku selalu siap membantu,"

Dhiyas mendongak mengangguk.

**

"Lukman, aku ingin berkunjung lagi ke bagian Utara. Semalam aku bertemu dengan seorang gadis cantik. Aku suka tatapan matanya," Meneer Lorens berbicara dengan menggebu-gebu.

"Ouuwwhh, Meneer sedang jatuh cinta rupanya," goda Lukman.

"Belum pernah aku melihat nona-nona muda seperti dia. Aku ingin kenal dia lebih dekat, Lukman,"

"Lukman siap membantu Meneer untuk mendapatkan gadis itu,"

1
Wiwi Mulkay
kpn di up lagi
Wiwi Mulkay
Caeli ini kapan di up lagi
Caeli: on my way dear kak wiwi😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!