Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Althaf
Tatapan Althaf tiba-tiba tertuju pada kaki Zahra. Alisnya langsung berkerut ketika melihat kulit kaki itu lecet dan memerah.
Althaf segera bangkit, lalu menunduk di hadapan Zahra sambil memegang kaki sang istri. “Ini kaki kamu kenapa?” tanyanya seperti biasa dengan suara dingin.
Zahra meringis kecil saat tangan Althaf menyentuh kakinya. “Ini tadi aku jatuh di dekat belikan sana. Keinjek batu.”
Tanpa banyak bicara, Althaf langsung menyuruhnya duduk. “Duduk di kursi plastik.”
Zahra menuruti. Althaf menatapnya sebentar, lalu berkata tegas, “Tunggu sebentar. Jangan bergerak.”
Ia pun masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu. Sementara itu, Lisa dan Karel mendekat.
“Hati-hati Ki kak kalau jalan,” ujar Lisa. “Memang banyak mi yang sering jatuh gara-gara jelek jalanannya.”
Zahra mendengus pelan. “Memangnya kadesnya gak memperhatikan ya?”
Karel ikut berdecak kesal. “Sudah banyak kali mi kak. Banyak mi warga sudah melapor, tapi pak kades selalu ji bilang iya-iya tunggu dana dari pemerintah. Tapi sampai sekarang ndag ada Pi muncul. Banyak mi orang sudah jatuh gara-gara jalan rusak. Saya juga pernah jatuh pas naik motor lewat di situ.”
Zahra mengangguk pelan, rasa kesalnya bertambah.
Tak lama kemudian, Althaf kembali. Di tangannya ada kotak P3K. Ia langsung jongkok di depan Zahra. Dengan telaten, ia membersihkan luka itu, lalu memijit perlahan dan mengoleskan salep.
Zahra meringis kecil.
Althaf berkata pelan, “Maaf. Aku akan lebih pelan-pelan lagi.”
Entah kenapa, dada Zahra terasa menghangat. Pipinya langsung memerah. Ia buru-buru memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan reaksinya. Bahkan jantungnya berdebar kencang.
Jantung berhenti bunyi keras tahu. Entar Althaf denger lagi! Batinnya berteriak.
Beberapa saat kemudian, Althaf merapikan kembali kotak P3K. “Udah selesai. Lain kali hati-hati kalau jalan. Jangan ceroboh lagi.”
Zahra langsung cemberut. “Itu juga hati-hati kok. Cuman itu tadi, si bapak yang berkumis tebal itu. Ganjen banget. Aku risih lihat tatapannya. Kesel banget aku. Pengen ku tonjok mukanya itu.”
Lisa terkekeh kecil. “Begitu memang kak. Lain kali ndag usah ladenin itu pak Samsul.” Ia lalu menggeser piring ke arah Zahra. “Ayo sini makan sanggara' (gorengan).”
Zahra duduk lesehan. Begitu melihat makanan di depannya, ia langsung mengerutkan kening. “Sejak kapan pisang goreng dicampur sama sambel terasi?”
Lisa tertawa kecil, ia selalu maklum dengan orang luar dari sulawesi. “Ini enak sekali kak. Coba meki saja.”
Karena penasaran, Zahra akhirnya mencobanya. Suapan pertama membuatnya terdiam. Awalnya terasa aneh, tapi perlahan lidahnya justru menerima rasa itu.
Zahra mengangguk kecil. “Lumayan enak.”
Lisa tersenyum lebar. “Enak kak toh? Lebih enak lagi kalau sanggara peppe. Nanti ku buatkan Ki itu.”
Zahra mengangguk lagi, lalu mengambil sukun goreng.
Sambil makan, Zahra tiba-tiba berkata, “Eh iya nanti siang kita ke salon yuk, Lisa.”
Lisa langsung menoleh kaget. “Untuk apa kak?”
“Ya kita salon buat perawatan. Sebentar lagi kan ada panen raya. Nah, aku mau kamu dan mamak cantik, setelah panen padi,” jelas Zahra bersemangat.
Sudah sangat lama ia tak melakukan perawatan.
Lisa tersenyum malu-malu. “Ndak pernah peka ke salon untuk perawatan kak, paling cuman potong rambut ji saja. Mahal pasti biayanya.”
Zahra melambaikan tangannya santai. “Gak usah khawatir soal biayanya nanti aku yang bayar.”
Lisa mengangguk senang, namun senyumnya perlahan memudar saat pandangannya beralih ke Althaf. Ia tampak ragu.
Zahra yang paham langsung menoleh ke arah suaminya. “Al, gak apa-apa kan aku bawa mamak sama Lisa ke salon?”
Althaf mengangguk. “Bawa aja. Pakai uangku saja.”
Zahra langsung menolak. “Gak usah pakai duitku aja. Duit kamu ya itu untuk aku,” pungkasnya.
Althaf terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan.
*
*
Siang harinya, Zahra benar-benar menepati janjinya. Ia mengajak Mak Mia dan adik iparnya, Lisa, pergi ke salon. Di depan rumah, sebuah taksi online yang dipesan Zahra sudah terparkir rapi.
Ketiganya baru saja hendak naik ketika tiba-tiba pintu rumah sebelah terbuka. Bu Mirna keluar dengan wajah penuh rasa ingin tahu, setelah mendengar suara klakson mobil.
“Eh mau ko ke mana semua?” tanyanya nyaring. “Siang-siang begini, pakai pesan grab juga. Kayak orang kaya saja. Kenapa ndag pakai pete-pete saja.”
Zahra memutar bola matanya malas.
Orang ini lagi, pikirnya merasa kesal.
Baru saja Zahra hendak menjawab, Mak Mia buru-buru menarik tangannya, seolah tak ingin masalah melebar.
“Ini Zahra mau ka na ajak ke salon katanya,” ujar Mak Mia cepat.
Bu Mirna langsung menyahut, “Mau potong rambut?”
Lisa menjawab santai, “Mau perawatan.”
Mendengar itu, wajah Bu Mirna langsung berubah masam. Rasa iri kembali menjalar di dadanya. Mulutnya pun mulai nyerocos tanpa henti.
“Untuk apa perawatan? Sekali jelek pasti juga tetap jeko jelek semua. Bikin habis-habis saja uangnya Althaf. Mending ditabung saja itu uang. Kasihan sekali itu Althaf. Istrinya sudah boros sekali. Sekarang mamak sama adeknya ikut-ikutan mi juga boros. Astaga.”
Kesabaran Zahra akhirnya habis. Ia menatap Bu Mirna tajam lalu langsung menyambar ucapan itu tanpa ragu.
“Eh Bu Mirna, memangnya kenapa kalau aku menghabiskan uang suamiku, hah?! Emang situ yang rugi? Suka-suka aku dong. Mau perawatan kek, mau hambur-hamburin duit kek. Mau bakar sekalian. Emang kenapa? Kok situ yang gak terima? Lagian juga, emang situ udah cantik? Pasti merasa kalah saing kan, kalau mertuaku ini lebih cantik dari Bu Mirna. Bahkan Tiara aja kalah cantik dari adik iparku ini. Apalagi aku yang udah cantik dari lahir ini. Uh, gak sebanding.”
Zahra mengibaskan rambutnya dengan angkuh.
Wajah Bu Mirna memerah padam. “Eh kau perempuan kurang ajar! Ndag ada yang didik ko ga? Mulutnya kurang ajar sekali.”
Baru saja Zahra hendak membalas, Lisa dan Mak Mia serempak menarik tangannya dan mendorongnya masuk ke dalam mobil. Pintu taksi pun segera ditutup, meninggalkan Bu Mirna yang masih berdiri dengan wajah kesal di depan rumah.
Di dalam mobil, Zahra menyilangkan tangan di dada. Wajahnya jelas menunjukkan kekesalan.
“Heran banget ya aku,” gerutunya. “Kok Mamak sama Lisa bisa hidup bertetangga sama orang julid begitu sih? Satu kampung kayaknya tukang julid semua. Belum juga kepo banget lagi.”
Lisa terkekeh kecil. “Kalau kita di sini kak, sudah kebal meki semua. Bahkan ada yang lebih parah dulu dari ini.”
Zahra menggeleng pelan. “Mana orang seperti itu, panjang banget lagi umurnya. Kenapa gak diambil cepat sekalian?”
Lisa dan Mak Mia terkekeh kecil mendengar itu, sementara mobil terus melaju membawa mereka menjauh dari kampung.
jadi garda terdepan untuk keluarga nya...
Zahra gitu lho no kaleng kaleng....
istri solehot mo di lawan.....😁💪🔥🔥🔥🔥🔥