Saat tragedi mengambil jiwanya, Syifa menemukan dirinya yang masuk ke dunia novel sebagai seorang antagonis yang secara obsesif mengejar protagonist pria bahkan berencana untuk menghancurkan hubungannya dengan sang kekasih.
Pada akhirnya dia akan mati terbunuh karna alur itu, oleh sebab itu untuk menghindarinya, dia selalu menghindari pria itu.
Namun bagaimana jika tiba-tiba alurnya berubah, pria itu malah memperhatikannya..
"Tidak! ini tidak ada dalam plot!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Taruhan Hari Ke-1
Langit pagi itu cerah berlebihan, seolah ikut mengejek ketegangan yang bersarang di dada Syifa. Ia berdiri di depan gedung kampus dengan langkah ragu, jemarinya mencengkeram tali tas terlalu erat. Dua minggu, pikirnya. Hanya dua minggu. Ia mengulang kalimat itu seperti mantra penenang.
Kayden sudah menunggu.
Bukan dengan gaya sok keren seperti biasanya. Tidak ada senyum santai, tidak ada tatapan penuh percaya diri yang dulu sering membuat Syifa ingin meninju atau menghindar. Ia berdiri agak ke samping, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam, punggungnya tegak, tangannya menggenggam ponsel seperti orang yang menahan diri untuk tidak mendekat.
“Pagi,” sapa Kayden, pelan.
Syifa berhenti satu langkah darinya. “Kita udah sepakat, kan? Dua minggu. Kamu mencoba, aku menolak. Jangan melewati batas.”
Kayden mengangguk cepat. “Aku ingat.”
“Dan nggak ada sentuhan,” tambah Syifa tajam. “Nggak ada kejadian aneh.”
“Aku setuju.” Nada Kayden tegas. “Hari ini… aku cuma mau nemenin kamu. Itu aja.”
Syifa mengangkat alis, curiga. “Nemenin ngapain?”
“Ke kelas. Ke kantin. Ke mana pun kamu mau.” Ia mengangkat bahu. “Kalau kamu bilang pergi, aku pergi.”
Ada sesuatu yang berbeda. Bukan perubahan besar, tapi cukup untuk membuat Syifa waspada. Aktor hebat, batinnya. Jangan tertipu.
Mereka berjalan berdampingan, dengan jarak aman yang nyaris kaku. Lorong kampus ramai, tapi Kayden sengaja mengambil sisi yang paling sepi, seolah menepati janjinya untuk tidak memancing perhatian. Beberapa pasang mata melirik—nama Kayden memang mudah dikenali—namun ia tak menggubris.
Di depan kelas, Syifa berhenti. “Kamu nggak sekelas sama aku.”
“Aku tahu.” Kayden tersenyum tipis. “Aku nunggu di luar.”
“Serius?”
“Serius.”
Syifa masuk tanpa menoleh lagi. Namun selama kuliah, ia merasa lebih gelisah dari biasanya. Bukan karena materi dosen, melainkan kesadaran bahwa di luar sana ada seseorang yang menunggu tanpa pamrih yang jelas. Ini trik, katanya pada diri sendiri.
Saat kelas usai, Kayden benar-benar masih di sana. Duduk di bangku lorong, membaca sesuatu di ponselnya. Ia berdiri begitu melihat Syifa.
“Kamu lapar?” tanyanya.
“Tidak.”
“Oke.”
Jawaban yang terlalu mudah. Syifa berjalan menuju perpustakaan. Kayden mengikuti, masih menjaga jarak. Di sana, ia memilih meja sudut. Kayden duduk di meja lain, membiarkannya tenggelam dalam buku. Tak ada obrolan, tak ada interupsi.
Satu jam berlalu.
Syifa bangkit, menghela napas. “Aku ke kantin.”
Kayden menutup ponselnya. “Aku ikut.”
Di kantin, Kayden berdiri di antrean terpisah. Ia membayar makanannya sendiri, lalu duduk berseberangan dengan jarak satu meja kosong di antara mereka. Syifa memerhatikan itu dengan sudut mata, perasaannya bergejolak tanpa alasan jelas.
“Kamu nggak harus begini,” ucap Syifa akhirnya.
“Aku mau.” Kayden menatapnya lurus.
Syifa tak menjawab. Ia menyuapkan makanan, rasa hambar mengisi lidahnya. Jangan luluh, katanya lagi.
Sore hari, hujan turun tiba-tiba. Syifa berdiri di bawah kanopi, menunggu reda. Kayden membuka payung hitamnya, tapi tidak langsung mendekat.
“Aku boleh?” tanyanya, mengangkat payung setinggi dada.
Syifa menimbang sebentar. “Satu payung, tapi jangan deket-deket!.”
Kayden mendekat setengah langkah. Mereka berjalan bersama, air hujan memercik di aspal. Tidak ada sentuhan, tidak ada kata berlebihan. Hanya bunyi hujan dan langkah yang seirama.
Di gerbang, Syifa berhenti. “Sampai sini.”
“Baik.” Kayden mengatupkan payung. “Terima kasih… sudah mengizinkan hari pertama.”
Syifa menatapnya lama, mencari celah kebohongan. Tidak ada. Yang ada hanya ketenangan yang membuatnya resah.
“Besok,” kata Syifa, “jangan berharap apa-apa.”
Kayden mengangguk. “Aku nggak berharap. Aku berusaha.”
Syifa berbalik, berjalan menjauh. Dadanya terasa aneh—bukan hangat, bukan dingin. Campuran yang membuatnya ingin mempercepat langkah.
Di balik punggungnya, Kayden berdiri diam, memandangi hujan yang mereda. Hari pertama bukan tentang merebut hati. Bagi Kayden, hari pertama adalah tentang menepati janji.
Tidak peduli jika awalnya agak lambat, yang penting 14 hari ini akan berjalan dengan penuh kejutan, dan Kayden yakin kalau Syifa akan jatuh hati padanya.