Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karna Saling Mencintai
Setelah sekian lama berbincang, akhirnya Jingnan dan Yaoqin keluar dari kamar Jingnan.
Begitu pintu terbuka, Lu Jianhong—yang sedari tadi membantu para prajurit berlatih—langsung menoleh. Matanya menangkap sosok Yaoqin yang melangkah keluar bersama Jingnan. Seketika senyum lebar merekah di wajahnya.
Tanpa ragu, Jianhong meninggalkan prajurit yang tengah ia bantu dan berlari menghampiri istrinya.
“Yao’er!” serunya.
“Ada apa?” Yaoqin menoleh, senyumnya lembut.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Jianhong sambil memegang kedua pundak istrinya, sorot matanya penuh kekhawatiran.
“Jangan berpikir aneh,” Yaoqin terkekeh kecil. “Aku dan Nannan—”
Ia terdiam sejenak, lalu cepat membetulkan ucapannya.
“Eh, maksudku… Jenderal Jingnan. Kami hanya mengobrol biasa.”
“Aku hanya menanyakan bagaimana kalian bisa menikah,” ujar Jingnan datar, namun bibirnya melengkung tipis.
“Ohh… begitu.” Jianhong mengangguk, lalu tersenyum makin lebar.
“Jenderal mau tahu tidak, kenapa kami menikah?” tanya Jianhong, sengaja melirik Jingnan dengan ekspresi usil.
“Tidak perlu,” jawab Jingnan singkat sambil melangkah pergi.
“Yaoqin sudah menjawab semuanya.”
“Tapi ada satu hal yang pasti terlewat,” ucap Jianhong santai.
Langkah Jingnan terhenti.
“Apa?”
Ia menoleh perlahan, kedua tangannya terlipat di dada. Tatapannya beralih pada Yaoqin, namun Yaoqin hanya mengangkat bahu, jelas sama bingungnya. Akhirnya Jingnan kembali menatap Jianhong.
Jianhong tersenyum lebar, lalu menoleh ke arah istrinya.
Yaoqin mengerutkan kening, menatap suaminya dengan curiga—ia sudah hafal, jika Jianhong tersenyum seperti itu, pasti ada ulah yang akan menyusul.
Sementara itu, rasa penasaran Jingnan semakin besar.
“Kami menikah,” ucap Jianhong akhirnya, suaranya ringan,
“karena kami saling mencintai.”
Belum sempat Jingnan bereaksi, Jianhong langsung mengecup pipi Yaoqin.
“—!!”
Yaoqin terkejut. Meski sudah menikah, kelakuan Jianhong yang selalu tiba-tiba tetap membuatnya kaget.
Sementara itu—
“LU JIANHONG!! KAU!!”
Teriakan Jingnan menggema.
Dengan refleks cepat, Jianhong langsung bersembunyi di belakang Yaoqin, tersenyum lebar ke arah Jingnan. Tangannya dengan lembut mengelus perut istrinya.
“Hei, Nak,” katanya ceria, “lihatlah bibimu yang pemarah ini.”
“Jangan membawa-bawa anakku dalam masalahmu,” bentak Yaoqin.
“Anak kita,” koreksi Jianhong santai.
“Jenderal,” Yaoqin menoleh pada Jingnan dengan senyum tipis yang berbahaya,
“silakan saja habisi dia. Aku masih cantik dan masih bisa mencari ayah baru yang lebih baik untuk anakku ini.”
Sambil berkata demikian, Yaoqin bergeser ke samping, sengaja meninggalkan Jianhong berhadapan langsung dengan Jingnan.
“Yao’er, jangan begitu!” Jianhong panik. “Aku akan jadi ayah yang sangat baik!”
Pemandangan itu membuat Jingnan akhirnya tersenyum. Hangat. Sangat hangat.
Melihat dua sahabatnya—yang dulu berjuang bersama—kini membangun keluarga kecil, membuat dadanya terasa penuh.
“Tidak,” Yaoqin mendengus. “Kau saja menyeret anakku ke dalam masalahmu.”
“Kali ini tidak lagi!” seru Jianhong. Ia berlutut di depan Yaoqin.
“Aku berjanji!”
“Bagaimana menurutmu?” Yaoqin tersenyum, lalu menoleh ke Jingnan.
“Jenderal Jingnan, apakah pria ini layak dimaafkan atau tidak?”
“Sekarang aku yang kalian seret ke dalam masalah kalian?” Jingnan menghela napas.
Namun kemudian ia melirik perut Yaoqin dan tersenyum tipis.
“Malang sekali nasib kita, keponakan kecil.”
Jianhong dan Yaoqin justru tertawa.
“Sepertinya bibimu akan sangat menyayangimu, Nak,” ujar Jianhong penuh arti.
Tak jauh dari sana, Ling An dan Weifeng memperhatikan pemandangan itu. Tanpa mereka sadari, keduanya ikut tersenyum saat melihat Jingnan—senyum yang jarang muncul dari wajah sang jenderal.
“Baiklah,” ujar Jingnan akhirnya, suaranya tegas namun hangat.
“Karena kalian sudah datang jauh-jauh ke sini, malam ini kita akan mengadakan pesta penyambutan. Sekalian untuk bayi kecil.”
Yaoqin dan Jianhong saling pandang. Senyum bahagia jelas terpancar di wajah mereka.
“Nak,” ujar Jianhong sambil mengelus perut Yaoqin,
“cepatlah lahir. Kalau begini, kau akan mudah menjadi jenderal.”
“Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan,” Jingnan melirik tajam—namun senyumnya membocorkan bahwa itu hanya candaan.
“Enak saja,” Yaoqin terkekeh. “Kalau anakku perempuan, ia akan menjadi wanita anggun sepertiku.”
Ia mengibaskan rambutnya ke belakang, namun tanpa sengaja sebagian rambut itu malah masuk ke mulut Jianhong.
“Eh—hehehehe,” Yaoqin tersenyum tanpa rasa bersalah sambil menarik rambutnya kembali.
“Sudah, sudah,” ujar Jingnan.
“Jianhong, cepat beri tahu yang lain. Malam ini kita berpesta.”
“Baik, Jenderal!!” jawab Jianhong lantang.
Namun sebelum berlari pergi, ia kembali mencium pipi Yaoqin.
“LU JIANHONG!!”
Kali ini, teriakan itu datang dari Yaoqin.
Langit Pegunungan Longfeng terasa lebih cerah hari itu—dipenuhi tawa, kehangatan, dan ikatan yang perlahan menyingkirkan bayang-bayang dendam yang selama ini bersembunyi di balik senyum mereka.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️