Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28— Nafas Yang Tertahan
Hujan semakin rapat di luar ketika keluarga kecil itu pindah ke aula belakang panti. Lampu-lampu gantung tua memantulkan cahaya kekuningan, membuat ruangan terasa hangat meski udara dingin merayap dari sela jendela. Para pengurus sibuk menata map berkas donasi, sementara suara langkah kecil anak-anak terdengar seperti gemerisik samar di lantai kayu.
Nayara mencoba menata napas sambil menempelkan punggungnya ke dinding dapur. Tangannya masih bergetar halus, dan tatapan kosongnya menembus ruang di depannya.
Ia masih merasakan tatapan itu.
Tatapan Karina yang tajam meski dibungkus senyum. Tatapan Rendra yang nyaris membuat lututnya lemas.
Nadim memerhatikannya dari meja, kedua tangan siap menangkap jika kakaknya roboh.
“Kamu yakin masih sanggup kerja malam ini?” bisiknya.
Nayara tidak menjawab cepat. Ia menarik napas panjang dulu sebelum berkata, “Kalau aku menghilang sekarang… justru mencurigakan. Karina tipe yang suka menghubung-hubungkan hal.”
Nadim menunduk lelah. “Aku nggak suka lihat kamu begini.”
Nayara tersenyum kecil, getir. “Aku pun nggak suka, Dim.”
Bu Lilis muncul di pintu, menyeringai cerah seperti tidak ada badai yang sedang mengintai di balik dinding. “Nayara, nanti kamu ikut ke aula ya. Pak Rendra mau lihat rencana renovasi.”
Nayara hampir menjatuhkan sendok kecil yang sedang ia pegang.
“A-aula, Bu?” ulangnya.
“Ya! Kamu kan paling tahu data anak-anak. Nanti kamu jelaskan soal ruang kelas dan peralatan belajar.”
Nadim refleks berdiri. “Bu, saya aja yang—”
“Oh, Nadim, kamu bantu angkat raket rakitannya anak-anak ke gudang dulu ya. Berat itu.”
Bu Lilis menepuk bahunya sebelum kembali berlalu.
Nadim mendesis pelan. “Sial banget waktunya.”
Nayara meremas apron di dadanya, berusaha menahan pusing. “Dim… kalau aku masuk aula, aku bakal ketemu mereka lagi.”
“Kamu nggak harus dekat. Cuma jelasin dari jauh.”
Nayara memejamkan mata sebentar.
Ia tahu itu bohong.
Rendra bukan tipe laki-laki yang tidak memperhatikan detail. Setelah reaksi tadi, ia pasti memperhatikan lebih banyak. Dan Karina—entah kenapa—mengamati dirinya seperti seseorang yang sedang menebak sebuah pola.
“Kalau ketahuan, Dim…” suara Nayara tercekat.
Nadim menggenggam lengannya. “Dengar. Kita udah sejauh ini. Kita kuat sepuluh tahun, kita kuat malam ini.”
Nayara ingin percaya. Tapi rasa takut itu menusuk, menjejak lebih dalam daripada yang pernah ia rasakan.
Aula panti dipenuhi aroma kayu dan kertas. Di tengah ruangan, papan proyek renovasi telah disandarkan ke meja panjang. Lampu-lampu kuning membuat ruangan tampak lebih kecil daripada biasanya.
Rendra berdiri dengan kedua tangan di saku, mengamati ruangan. Karina duduk di kursi, berbicara dengan salah satu pengurus tentang rencana donasi mainan. Aruna di sisi lain ruangan, menggambar di kertas besar sambil sesekali melirik pintu—mungkin berharap Aru muncul lagi.
Ketika Nayara masuk, ruangan berubah tanpa suara.
Karina menoleh lebih dulu. Tatapannya cepat menyapu tubuh Nayara dari atas ke bawah, seperti sedang mencoba mengingat sesuatu. Rendra menyusul, menoleh perlahan. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan apa pun, tapi matanya… tidak bohong.
Ada keingintahuan yang lebih dalam. Ada sesuatu yang berusaha ia tarik dari lipatan memorinya.
Nayara merendahkan pandang. “Permisi, Bu. Ini data ruang belajar.”
Karina tersenyum tipis. “Terima kasih, Nayara.”
Senyum itu tampak ramah. Tapi ada ketegangan samar, seperti tali yang ditarik terlalu kencang.
Nayara hendak meletakkan map itu di meja, tapi Karina mengangkat tangan.
“Boleh kamu jelaskan langsung?”
Nayara membeku. Sekejap.
Namun Bu Lilis sudah berdiri di belakang Karina. “Iya, Nayara. Kamu paling hafal.”
Rendra menatapnya sekarang. Tidak berkedip. Tidak mengalihkan.
Nayara merasakan jantungnya menghantam rusuk.
Ia tidak bisa lari. Tidak sekarang.
Dengan hati-hati, Nayara membuka lembar pertama laporan renovasi.
“Untuk ruang les… bangkunya sudah mulai keropos. Kami—”
“Boleh aku tanya sesuatu, sebelum kita lanjut?” suara Karina memotong, tapi nadanya tidak tajam.
Nayara mengangkat wajah. “Tentu, Bu.”
Karina menyilangkan tangan, seolah sedang mempertimbangkan kata.
“Aru tadi terlihat… sangat dekat denganmu.”
Nayara tersenyum tipis. “Dia memang agak manja kalau sama saya.”
Karina mengangguk kecil. “Itu terlihat. Kamu seperti… tempat yang membuatnya aman.”
Nada itu bukan tuduhan. Tidak juga curiga. Hanya seseorang yang memperhatikan anak kecil dengan ketertarikan tulus—dan mungkin sedikit iri.
Rendra melirik istrinya. “Karina, jangan membuat Mbak Nayara tidak nyaman.”
“Aku cuma memuji,” sanggah Karina pelan. “Aru anak yang hangat. Dan kamu menangani dia dengan baik.”
Nayara mengangguk lagi, menahan napas yang terasa mengganjal di dada.
Ia takut jika Karina memperhatikan sedikit saja terlalu jauh—tapi sejauh ini, kata-kata perempuan itu masih aman.
Karina melanjutkan dengan nada lebih ringan, “Sekolah bilang prestasinya bagus, ya?”
“Lumayan,” Nayara merendah. “Dia cepat menangkap pelajaran.”
“Itu terlihat,” sahut Karina. “Ada… sorot yang familiar.”
Ia tersenyum, lalu kembali fokus pada dokumen.
Nayara menelan ludah. Kata “familiar” terasa menggores, tapi ia tidak boleh bereaksi.
Di saat yang sama, Nadim lewat di lorong. Ia sempat mengamati dari jauh, memastikan Nayara baik-baik saja. Ketika melihat suasana masih tenang, ia melanjutkan langkah.
Rendra mengambil dokumen lain. “Untuk area dapur—”
“Bu!” suara kecil tiba-tiba memecah konsentrasi.
Aruna berlari kecil masuk ke ruangan, memeluk kotak crayon di dadanya. “Maaf ya, aku cuma mau ambil ini!”
Karina menoleh. “Aruna, pelan-pelan.”
Tapi anak itu sudah berada di samping Nayara. Ia menatap wajah Nayara singkat—tatapan polos seorang bocah yang jujur tanpa filter.
“Kak… senyummu mirip Aru,” katanya begitu saja, sambil mengambil crayon.
Ucapan itu sederhana. Seperti komentar anak-anak lain: spontan, tulus, tidak memikirkan dampaknya.
Nayara membeku sepersekian detik. Namun ia cepat mengendalikan diri.
“Sungguh?” Nayara mencoba tertawa kecil. “Aru kan suka senyum.”
“Iya!” jawab Aruna sebelum kembali berlari keluar ruangan.
Karina hanya menggeleng sambil tersenyum. “Mulut anak-anak memang suka spontan.”
Rendra ikut tersenyum tipis, tidak memberi arti apa pun pada komentar itu. Setidaknya, tidak secara terang-terangan. Hanya satu detik tatapannya terhenti pada Nayara—cukup singkat untuk tidak dianggap apa-apa, cukup lama untuk membuat dada Nayara terasa kosong.
Saat Nayara kembali ingin menunjukkan laporan, langkah kecil mendekat lagi.
“Ibu!”
Aru.
Ia langsung memeluk pinggang Nayara, seperti biasa setiap kali melihat ibunya setelah beberapa jam berpisah.
Pelukan itu natural, tidak dibuat-buat.
Dan Rendra—yang tadinya tidak memperhatikan—secara refleks menoleh.
Hanya sepersekian detik.
Tapi itu cukup.
Ia melihat cara Aru memeluk Nayara dengan rasa memiliki yang hanya dimiliki anak terhadap ibu.
Ia melihat cara Nayara menunduk, membelai kepala Aru dengan kelembutan yang tidak bisa dipelajari dalam satu atau dua tahun.
Ia melihat kemiripan kecil yang sebelumnya tidak ia perhatikan—yang mungkin hanya terlihat ketika cahaya mengenai sudut wajah tertentu.
Tidak dramatis.
Tidak mencolok.
Justru karena sederhana… ia lebih menghantam.
Rendra tidak bereaksi berlebihan. Tidak menunjukkan syok.
Ia hanya terdiam sepersekian detik terlalu lama.
Diam yang membuat dada Nayara serasa runtuh.