Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Rahasia Dalam Obat
Malam itu, setelah Ali pergi ke ruang kerjanya, aku diam-diam berdiri di kursi untuk mengambil kotak obat itu. Jantungku berdegup keras saat membuka satu per satu bungkus kecil.
Beberapa pil berwarna putih, kapsul biru, dan cairan dalam botol kecil. Aku membaca label yang tertera: nama-nama medis yang asing. Aku mengernyit.
“Ini… obat penenang?” bisikku terkejut.
Tanganku gemetar. Kenapa dokter memberi obat penenang sebanyak ini pada Nando yang hanya mengalami sakit kepala akibat trauma?
---
Belum sempat aku mengembalikan semuanya, terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku buru-buru menutup kotak itu, menaruhnya kembali, lalu duduk di samping Nando, pura-pura merapikan selimut.
Pintu terbuka. Ali berdiri di sana, menatapku lama.
“Kamu belum tidur juga, Aura?” suaranya datar.
Aku berusaha tenang.
“Aku cuma… khawatir sama Nando. Dia tidur terus sejak minum obat. Aku takut efeknya terlalu kuat.”
Ali masuk, menepuk bahuku pelan.
“Kamu terlalu panik. Dokter tahu apa yang dia lakukan. Kalau kamu nggak ngerti, jangan sembarangan menduga-duga.”
Namun tatapannya menusuk, seakan membaca isi hatiku. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan gejolak dalam dirinya.
---
Keesokan paginya, Nando bangun dengan tubuh lemah. Matanya sayu, bibirnya kering.
“Kak… kenapa aku ngantuk terus? Kayaknya kepalaku nggak sakit, tapi aku… berat banget rasanya.”
Aku menahan tangis, memegang tangannya.
“Nando… kamu jangan minum obat itu lagi tanpa aku lihat, ya.”
Nando menatapku heran.
“Kenapa? Itu kan dari dokter…”
Aku hanya tersenyum getir, menepuk pipinya pelan.
“Pokoknya janji sama aku.”
Dalam hati aku bersumpah. Aku harus cari tahu. Ali menyembunyikan sesuatu. Dan aku nggak akan biarin Nando jadi korban.
---
Hari itu juga, ketika Ali berangkat kerja, Aku diam-diam keluar rumah. Aku membawa satu bungkus obat kecil dari kamar Nando, disembunyikan di dalam tasnya. Nando aku titipkan sementara pada Bi Ina.
Setidaknya, Ali tidak di rumah jadi Nando lebih aman untuk ditinggal.
Langkahku mantap menuju apotek besar di pusat kota. Aku berniat menanyakan langsung ke apoteker, obat apa sebenarnya yang diberikan pada Nando.
Jika benar obat itu bukan untuk menyembuhkan, tapi hanya menekan ingatannya… aku akan buka semua rahasia ini. Termasuk rahasia kelammu, Ali.
---
Siang itu, saat Ali berangkat kerja, aku menyelipkan satu bungkus kecil obat ke dalam tasku. Dengan langkah mantap aku pergi ke apotek besar di pusat kota.
“Permisi,” kataku pada apoteker. “Boleh tolong jelaskan… obat ini sebenarnya untuk apa?”
Aku menunggu, dengan dada berdegup keras. Apa pun jawaban mereka… aku siap. Karena aku tahu, di balik obat ini, tersembunyi rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
---
Aku menunggu dengan tangan yang dingin, meremas resleting tasku kuat-kuat. Apoteker—seorang pria paruh baya dengan kacamata—mengambil bungkus obat dari tanganku, membaca label kecilnya dengan teliti.
Keningnya berkerut.
“Ini…” ia bergumam, lalu menoleh padaku.
“Ibu dapat obat ini dari mana?”
Aku tercekat.
“Dari dokter… untuk adik ipar saya. Katanya untuk sakit kepala dan supaya tidurnya lebih nyenyak.”
Apoteker itu menatapku lama, seperti ragu apakah harus jujur atau tidak.
“Ibu… obat ini bukan obat sakit kepala biasa. Ini kombinasi sedatif kuat dan obat penekan sistem saraf tertentu. Kalau dikonsumsi dalam jangka panjang, efeknya bisa serius.”
Jantungku berdetak lebih kencang.
“Efek… serius bagaimana maksudnya?”
“Pasien bisa mengalami gangguan kognitif—daya ingatnya terganggu, konsentrasinya melemah, tubuh lemas. Kalau dosis terlalu tinggi atau terlalu sering, otak bisa… ya, semakin sulit memproses memori baru maupun lama. Bahkan, bisa memperparah pelupa.”
Aku terhenyak. Tubuhku seakan runtuh saat mendengarnya. Jadi, benar… selama ini bukan penyakit Nando yang membuatnya drop—tapi obat ini!
Aku memejamkan mata, air mata jatuh tanpa bisa kutahan.
“Tapi… dokter bilang ini obat terapi untuk menyembuhkan sakit kepalanya…”
Apoteker itu menggeleng.
“Sakit kepala bisa saja dikurangi dengan obat pereda nyeri ringan. Obat ini terlalu… ekstrem. Biasanya hanya dipakai untuk pasien dengan trauma psikologis berat atau pasien yang perlu ditenangkan, bukan untuk sakit kepala biasa.”
Aku terpaku. Kata-kata apoteker itu menghantamku keras.
Trauma… Nando memang trauma. Kecelakaan, koma, kehilangan ingatan… tapi kenapa harus dipaksa begini? Siapa yang menginginkan ia terus lupa?
Tanganku bergetar saat meraih kembali bungkus obat itu.
“Kalau boleh saya tahu…” tanyaku lirih, “obat ini… kalau dihentikan, apakah daya ingatnya bisa pulih?”
Apoteker menarik napas panjang.
“Itu tergantung sejauh mana kerusakan yang sudah ditimbulkan. Tapi, kalau masih tahap awal… ada kemungkinan besar memorinya akan kembali, meski pelan-pelan. Yang jelas… jangan biarkan pasien ini terus meminumnya.”
Hatiku seakan dirobek. Aku menunduk, menyembunyikan air mataku.
“Terima kasih… terima kasih banyak.”
Aku berbalik pergi dengan langkah gontai, sambil menahan tangis di tenggorokan. Di luar apotek, aku bersandar pada tiang lampu jalan, mencoba bernapas.
Jadi ini alasan Nando semakin lemah. Jadi ini alasan dia sulit mengingat. Bukan karena kecelakaan saja, tapi karena… Ali.
Tanganku mengepal.
Ali, apa yang kau lakukan pada adikmu sendiri? Pada kami?
Aku sadar, aku harus berhati-hati. Ali cerdas, penuh rencana. Kalau aku lengah, dia bisa mengetahui kecurigaanku. Dan aku tak boleh gegabah.
Tapi satu hal pasti—mulai sekarang, aku takkan biarkan Nando menelan obat itu lagi. Aku akan melindunginya… meski harus melawan suamiku sendiri.