Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7—PPMITMC
HAPPY READING
_______________________________
Mobil Ferrari merah baru saja membentur pohon besar di tepian jalan—seorang lelaki berpenampilan melantur menyeret seorang wanita secara kasar dari dalam mobil.
Sempoyongan lelaki itu melempar wanitanya berguling ke tengah jalan. "Aarght ...!"
Bugh!
Wanita itu membentur trotoar, kepalanya menghantam tepian trotoar hingga denyut perih merajalela. Dia menggeliat dan merangkak dari sana.
Tangisannya meraung-raung meminta pertolongan. "Kumohon ..., hentikan! Jangan menggangguku lagi! Kita sudah berakhir!"
Lelaki yang tengah m*buk itu tertawa, gila, seraya menarik lepas dasi dari leher, lelaki itu berjalan terhuyung-huyung mendekati wanita yang berlumur luka lebam di sekujur tubuhnya.
Tak segan dia menendang pinggang wanita itu hingga tersungkur menghantam aspan jalanan. "Aarght ...!"
Dari kejauhan, Caroline membuntang menyaksikan kejadian tersebut. Ia bergemuruh melihat hal tersebut, napasnya tersengal tak rela hanya melihat di sana.
Gadis itu mengepalkan tangan dengan hidung mengkerut. "Bed* bah dari mana itu, bisa-bisanya dia menyiksa wanita di tengah malam kayak gini," geramnya.
Caroline bukanlah wanita yang pandai beladiri, namun dia cukup cerdik untuk mengelak dari bahaya. Bergegas dia membawa cairan cabai dalam sebuah botol spray.
Menerjang malam, memburu angin mencekam yang menyebarkan dingin menusuk ke tiap celah partikel kulitnya. Dengan langkah kecilnya, Caroline berlari ke ruas jalan sebelah kiri dari coffee shop.
"Heh ...! Hentikan ...! Aku panggilkan polisi, ya!" teriak Caroline seraya mengangkat sebelah sandalnya.
Sandal yang dia gunakan terbuat dari bahan karet—masanya cukup berat, apabila ia melayang dam menghantam wajah pria di depan sana, akan sangat efektif mengecoh perhatian lelaki itu.
Dan itulah yang dilakukan gadis cantik berambut hitam itu, sandal karet itu menjulang—ia melayang ke udara, berputar-putar beberapa saat dan berakhir menghantam dahi lelaki di sana.
"Aarght ...!" Pria itu mengaduh kesakitan.
Kedatangan sandal Caroline berhasil mengecoh perhatiannya, tubuhnya terhempas ke belakang, dan terguling karena kendali tubuhnya sedang tidak stabil.
Lelaki itu menggeliat sambil mengaduh memegangi dahi. "B*ngsat! Siapa yang berani ganggu urusan saya, hah?!" pekik lelaki itu bersuara bariton yang membulat.
Caroline bergegas menarik wanita di sana ke belakang tubuhnya, dia mengambil ancang-ancang sambil menyodorkan semprotan cabe ke hadapan pria itu.
Saat pria itu bangkit dan membuka mata, dia menggeram. "Wanita-wanita si alan!" gertak lelaki itu.
Pria m*buk itu masih dalam kondisi segar bugar. Dia melangkah sambil terkekeh penuh hasrat. "Oke. Saya bisa bermain dengan dua wanita sekaligus."
Lelaki bertubuh tegap itu berjalan terhuyung ke depan sambil melepas manik-manik kemeja, membentangkan dada hingga setengah telanjang.
Caroline mengernyit, geli, sampai gadis itu mencebik. "Heh! Si kampr*t, enyah dari sini, sana! Pergi!"
Dalam hitungan detik Caroline menyemprotkan cairan cabai dalam botol spray itu tepat ke wajah lelaki di hadapannya.
Cairan setengah merah dengan buliran cabai menyebar ke wajahnya, sebagiannya masuk ke mata, seketika pria itu terbakar oleh cairan tersebut, pedih di mata pun terasa panas.
"Aarght ..., si alan! Cairan cabai, aarght ..., perih, aarght ..., mataku perih, panas, pedih, aarght ...!" Kalang kabut lelaki itu berputar-putar sambil menutupi wajah.
Sempat mengucek mata dan berputar-putar di posisinya. Di saat seperti ini Caroline mengambil kesempatan untuk membawa wanita itu melarikan diri dari lelaki itu.
Dengan perasaan panik dan rasa takut yang berkecamuk, Caroline menggenggam tangan wanita itu dan menariknya pergi. "Ayo lari ...!" ajaknya bersuara lantang.
Dengan tubuh menggigil karena kesakitan, wanita itu meringis dan berusaha mengimbangi kecepatan berlari dari Caroline.
Meski cairan cabai itu membuatnya kesulitan melihat, tetapi tidak membunuh ambisi lelaki itu, dia semakin membrutal—lelaki itu beranjak dari sana, mengejar dua wanita yang berhasil melarikan diri darinya.
"Tunggu ...! Para wanita bed*bah!" tandas lelaki itu, berjalan terhuyung-huyung sambil berusaha membuka matanya yang perih lagi panas.
Dua wanita terburu-buru meninggalkan lokasi sunyi nan mencekam karena malam semakin menggelap, tidak ada siapapun di sana selain dua wanita itu dan wanita yang mengejarnya.
Tanpa mereka sadari, jika ada seorang pria gagah yang bersembunyi di balik mobil hitam mewahnya sejak Caroline keluar dari coffee shop.
Brumm. Brumm. Brumm ....
Deru mobil terdengar marah, ia mengguruh sampai suara mobil itu menghentikan Caroline dan wanita tersebut, mereka menahan diri tepat di depan coffee shop.
Lantas ....
Brakk!
Tak segan-segan mobil mewah itu menyenggol pria m*buk itu, sampai lelaki itu terguling menjauh dari dua wanita tadi.
"Arght ...!" Berguling lebih jauh, lelaki itu mengaduh kesakitan, terasa tubuhnya remuk, ditambah cairan cabai itu masih membuat wajahnya kepanasan, seolah terbakar.
Pria di balik Lamborghini Aventador SVJ menurunkan jendela mobil dan menunjukkan sisi dirinya yang tersembunyi sejak tadi. "Enyah, atau saya akan buat hidupmu hancur tak bersisa," ancamnya.
Degh!
Suara itu ....
Lelaki pemilik Ferrari klasik biasa itu terdongak gelagapan, pandangannya yang kabur mulai menjamah dan menyadari jika pria di mobil Lamborghini bukanlah lawan sepadan.
Terkesiap dia sampai melompat ke belakang, meski dengan mata memerah, pedih, dia merangkak ke belakang untuk menghindari lelaki tersebut.
"Ma-maaf ..., Tuan Calvino." Tergesa-gesa dia melarikan diri.
Agak pincang, pria itu menyeret langkahnya kembali ke mobil, mesin mobil menderu, kemudian ia menghening. Lokasi tersebut kembali tenang pasca ditinggalkan lelaki bi*dab yang entah datang dari mana.
Di sisi lain Caroline dan wanita yang ditolong mulai bernapas lega, mereka menghembuskan napas hingga rongga dada yang terasa penuh perlahan agak longgar. "Syukurlah ada orang lain yang datang menolong."
"Nona ..., terima kasih atas bantuannya, saya sangat berterima kasih, Nona ..., bagaimana saya membalas budi Anda," rengek wanita itu membuat Caroline tak fokus mencari tahu siapa pria yang datang menolong mereka.
Caroline berbalik badan dengan kaku. "Gak usah, lebih baik kamu cepat pulang dan obati lukamu," kata Caroline tak fokus.
Arah matanya masih menuju ke keberadaan Lamborghini mewah di jarak tiga sampai empat meter darinya. "Siapa dia ...?" gumam kecilnya.
Wanita itu masih menangis dan mencium tangan Caroline, karena hal itu, gadis cantik bermata dessert itu teralihkan, dan memunggungi keberadaan mobil Calvino saat ini. "Iya, iya, gak masalah. Saya baik-baik aja."
Sesuai arahan gadis berkulit bening itu, wanita yang tak beruntung itu segera berlari meninggalkan area coffee shop, sedangkan Caroline tetap di sana—memandangi punggung wanita tersebut.
Menatapnya dengan penuh rasa iba, sesekali menyeka tangan dengan tangannya yang lain. "Semoga gak ada lagi wanita yang mendapat kekerasan dari laki-laki gila kayak tadi." Caroline bergumam.
Terlalu fokus dengan wanita yang membangunkan jiwa simpati dan empatinya, Caroline menjadi lupa, bahwa di sana dia tidaklah sendiri, hingga kedatangan Calvino tak terdengar olehnya.
Derap langkah Calvino bagai angin, ia bergerak namun tak terdengar, hanya dapat dirasakan tatkala bayangan siluet tubuh lelaki itu menyembul ke sisi gadis itu. Calvino menepuk bahu Caroline dengan paras mengeras.
"Satu minggu menghilang, dan kamu bersembunyi menjadi pelayan Coffee shop?" tegurnya dengan suara bariton agak berat.
Degh!
Bahu Caroline melompat kala Calvino menegurnya dengan sentuhan di area bahu. Bergegas dia mengelak untuk menjauh dari keberadaan lelaki itu. "Siapa yang menghilang, sih, orang a—"
Caroline berbalik badan. Seketika gadis itu tercekik oleh kehadiran Calvino di sana, terkesiap bukan main sampai wajahnya terbelangah sampai aliran napas seolah ditahan oleh sesuatu.
Mampus!
To be continued ....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt