Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 24
Ternyata pesan singkat itu dari Damar, mengabarkan kalau sedang terjadi kekacauan di pabrik cabang yang berada di Padang, Sumatera Barat.
“Saya ada urusan penting, bila sudah selesai, mari kita bicarakan lagi tentang hubungan tak sehat ini!” Thariq memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku.
Arimbi memicingkan mata, menatap tidak percaya kala suaminya melangkah hendak pergi disaat mereka masih dalam keadaan bertengkar. “Thariq, mau kemana kau?!”
"Pabrik kita sedang ada masalah, Arimbi. Saya harus segera menyelesaikannya.” Ia melepaskan tangan sang istri yang mencekal lengannya.
“Bohong! Pasti dirimu mau menemui dan menemani dia ‘kan? Jawab jujur!” Arimbi mengguncang lengan Thariq.
“Berhentilah bertingkah layaknya kanak-kanak, Arimbi!” Ia jengah, mengibaskan tangan.
Namun, Arimbi enggan melepaskan, kembali ia mencoba menahan. Melingkarkan tangannya pada perut Thariq, memeluk dari belakang. “Aku mohon! Tetap disini, malam ini. Aku lebih berhak atas dirimu daripada dia! Aku istri pertama mu, Thariq!”
Pria yang pikirannya tengah berkecamuk itu mencoba lebih bersabar lagi, seharusnya dia bergerak gesit, demi menyelesaikan permasalahan pabrik, tapi sang istri pertama terus saja bersikap egois.
Thariq menarik napas panjang, perlahan melepaskan lingkaran tangan yang membelit perutnya. Dia berbalik badan dan menyentuh pundak Arimbi. “Mengertilah, kalaupun dipaksakan berbicara disaat kau masih dikuasai emosi, tak bisa berpikir menggunakan logika, percuma Arimbi. Percuma!”
Arimbi menggelengkan kepala, membenamkan kepalanya pada dada bidang suaminya. Memeluk erat. “Aku tak peduli, yang ku mau kau berada disampingku!”
“Thariq, coba katakan kepadaku! Apa yang dia pinta, sehingga kau terpaksa bertanggung jawab. Dia itu tak tulus, hanya menginginkan hartamu, sedari dulu dirinya gila uang, menggilai pria kaya agar bisa hidup bergelimang harta. Tolong sadarlah, Thariq!”
Bak wanita penggoda, Arimbi berinisiatif merangkum wajah suaminya, hendak mencium bibir, tapi dikarenakan Thariq menghindar, kecupan itu menempel di pipi.
"Saya mengetahui bila kau memanglah egois, tapi tak menyangka separah ini.” Kali ini hilang sudah kelembutannya, sedikit kasar menghempaskan tangan Arimbi, dan mendorong bahunya hingga putri Sigit Wiguna, mundur dua langkah.
Thariq membuka kasar daun pintu apartment, melangkah lebar meninggalkan istri pertamanya. Sedikitpun tak menoleh sekadar untuk memastikan Arimbi tidak melakukan hal yang membahayakan diri sendiri.
"Thariq! Kau jahat! Akh!” Ia begitu emosi, melempar piring hias antik yang diletakkan di atas lemari rak sepatu.
Pyar!
Bukan cuma satu, Arimbi juga membanting beberapa pajangan lainnya.
Pecahan kaca berhamburan di atas lantai. Wanita bergaun seksi itu meraung, memaki Sahira.
“Ini semua karena mu, Jalang! Kau memang pembawa sial! Kehadiranmu cuma parasit, dasar Benalu!” Tubuhnya luruh, kedua tangannya menjambak rambut.
“Iya, benar. Kau tak layak hidup di dunia ini, terlebih bila ingin merebut suamiku. Kau harus mati Sahira!” Arimbi mengangguk, menyetujui bisikan batinnya sendiri. Ia bangkit lalu mencari keberadaan ponselnya, setelahnya menelepon seseorang. “Datanglah kesini! Segera!”
“Menyesal dulu aku menyia-nyiakan kesempatan melenyapkan mu wahai anak pungut. Andai tak bisa membuatmu kehilangan nyawa, setidaknya kau harus menderita cacat permanen!” Ia mendesis, netranya dipenuhi amarah berkobar.
***
Thariq Alamsyah menyetir mobil dengan kecepatan lumayan tinggi, kedua telinganya menggunakan earphone bluetooth. Dia sedang melakukan panggilan. “Pesankan tiga tiket kelas bisnis, pilih penerbangan paling pagi.”
“Baik, Tuan.” Damar mengangguk menyanggupi. Dia sedang berkemas sambil terus melakukan panggilan penting ke staf kantor di Padang.
Kemudian Thariq beralih menelepon seseorang yang sedari tadi namanya terus berputar-putar di benak dan pikirannya. Saat mendengar nada lemah, serak, hatinya langsung dilanda khawatir.
“Sahira, kau kenapa?” tanyanya cemas, lebih kuat mencengkram kemudi.
Sahira ~ “Kepalaku pusing, Thariq. Sepertinya mau demam," bisiknya lirih, yang berhasil menambah rasa khawatir suaminya.
“Tunggu sebentar ya, tak lama lagi saya sampai.”
Sahira ~ “Hem.”
Jawaban singkat itu, ditanggapi oleh Thariq dengan menambah kecepatan laju mobilnya. Beruntung jalanan lumayan lenggang, sehingga tidak perlu menyalip demi cepat sampai ditujuan.
***
“Dasar bodoh! Begitu pintar melobi investor, lihai mencari celah peluang bisnis menjanjikan, cerdas bernegosiasi, licik dalam menumbangkan lawan bisnis, tapi perihal hati … kau sangat payah Thariq Alamsyah.” Sahira mengatai suaminya, mulutnya mengunyah kacang almond.
Dia tidak jadi mengirim pesan yang sudah diketik, menghapusnya kembali. Memilih memainkan triknya lagi.
Tadi, Sahira sengaja tidak menghidupkan kipas kamar mandi, agar suhu ruang menjadi panas serta lembab, lalu mandi dengan air lebih panas dari biasanya, supaya kulitnya memerah. Kemudian makan kacang almond, padahal dia memiliki alergi terhadap camilan itu, meskipun tak parah. Semua demi membuat suhu tubuhnya mengalami demam ringan.
Saat mendengar pintu dibuka, Sahira bergegas membaringkan tubuh, menarik selimut hingga batas leher.
Suara derap langkah terdengar tergesa-gesa, Thariq Alamsyah melangkah lebar, menghampiri sosok yang mirip kepompong. Meletakkan tangannya pada kening Sahira, si empunya memejamkan mata.
“Hira, kau demam. Mengapa tidak mengeringkan rambut? Apa ini masih sakit?” Thariq meraba seringan bulu leher Sahira yang tadi dicekik oleh Arimbi.
“Kita ke dokter, ya?” saat tidak mendapatkan respon, pria yang sedang kalut itu bertambah cemas. “Tolong jangan buat saya khawatir.”
Sahira membuka mata, tatapannya memelas, buliran bening menetes dari sudut matanya. “Tenggorokanku sakit, lidahku pun pahit, terus kepalaku sangat pusing, Thariq. Bila menunduk rasanya bumi berputar.”
Thariq membuka selimut, ikut berbaring. Memeluk erat tubuh berbalut gaun tidur berbahan satin yang panjangnya hanya sampai pertengahan paha.
“Sayang, kita pergi ke klinik kesehatan ya, atau saya teleponkan dokter yang dulu memeriksa mu, mau?” sangat lembut ia bertutur seraya mengusap-usap sayang punggung istrinya.
‘Akhirnya, kata keramat itu keluar juga dari bibirmu. Arimbi ... lihatlah pria pujaan hatimu ini, barusan dia memanggilku sayang. Bagaimana bila kau mendengarnya, kurasa jantungmu langsung meledak … ha ha ha.’ Sahira tertawa puas dalam hati, tetapi buliran air matanya kian deras menetes.
“Apa tak sebaiknya aku saja yang mundur? Aku merasa sangat berdosa, begitu tega menyakiti hati Kak Arimbi. Rasanya sangat sulit bernapas saat memikirkan betapa kejamnya diriku. Thariq ... mari kita akhiri saja hubungan ini!”
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔