Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28.Percaya Yang Perlahan Tumbuh
Jakarta masih menahan napas dalam selimut kelabu. Hujan belum datang, tapi langit sudah menyimpan genangan. Di dalam kamar yang hangat oleh aroma kayu dan embun sisa malam, Tristan membuka mata pelan. Aurora masih tertidur di sampingnya, dengan wajah damai yang seolah datang dari dunia tanpa luka.
Ia menatapnya lama—seolah sedang membaca puisi hidup yang tak ingin lekas tamat. Rambut Aurora berjatuhan di bantal, napasnya ritmis seperti irama laut tenang.
Tristan mendekatkan wajah, membisikkan kata pertama hari ini tepat di antara helaian rambutnya.
"Terima kasih... karena masih di sini."
Aurora menggeliat kecil, matanya membuka setengah sadar. “Kau bicara dengan bayanganku?”
“Dengan dirimu yang bahkan saat tertidur, masih menyelamatkanku.”
Aurora tersenyum. “Kau memang butuh banyak penyelamatan.”
Tristan tertawa ringan. “Tapi aku akan jadi murid yang taat… kalau gurunya sepertimu.”
Ia mengecup keningnya, lalu menatap langit-langit. “Tahu tidak? Pagi yang dulu bagiku selalu terasa seperti peringatan. Tapi pagi bersamamu… seperti kesempatan kedua yang tidak kutahu bisa kumiliki.”
Aurora menggenggam jemarinya. “Mungkin karena dulu kau tidak punya tempat untuk merasa tenang. Tapi sekarang kau punya aku. Kita.”
“Ya…” bisik Tristan. “Kita.”
Mereka saling menatap—diam yang bicara lebih dalam dari kata. Pagi itu tidak menuntut kejelasan. Ia hanya meminta kedua hati itu percaya… meski perlahan.
$$$$
Di sudut kota yang berbeda, aroma kayu manis menyambut Arya di lorong apartemen Kalea. Ketika pintu dibuka, ia langsung disambut senyum yang tak pernah ia temui di medan misi—senyum yang lebih rapuh, tapi juga lebih jujur.
"Kau bawa apa?" tanya Kalea melihat bunga sederhana di tangan Arya.
"Kamboja jepang," jawab Arya. "Tumbuh di tempat yang keras, mekar tanpa diminta. Seperti kau."
Kalea tertawa kecil, menyingkirkan sedikit rambutnya yang menempel di pipi. “Kalau begitu, aku akan menaruhnya di dekat jendela. Supaya setiap kali aku menatapnya… aku ingat bahwa aku tidak harus keras sepanjang waktu.”
Arya masuk, meletakkan bunga di vas kecil. Musik jazz klasik mengalun pelan. Mereka duduk di lantai beralas karpet, masing-masing memegang mug cokelat panas.
“Dulu, aku pikir aku tidak akan pernah cukup layak untuk dicintai,” ujar Kalea, menatap isi cangkirnya. “Terlalu banyak sisi tajam, terlalu banyak sejarah.”
Arya menatapnya dalam. “Justru karena itu aku ingin di sini. Untuk melihat bukan hanya luka, tapi cara kau bertahan di antaranya.”
Kalea menoleh. Matanya tak menghindar. “Kau tidak takut?”
“Aku pernah takut. Tapi lebih takut kalau membiarkanmu merasa sendirian.”
Sunyi merayap di antara mereka. Tapi sunyi itu tidak dingin. Ia hangat, seperti jeda sebelum musik dimulai kembali.
Kalea menyentuh wajah Arya. “Kalau aku mulai merasa… lebih dari yang bisa kupahami, apa kau akan tetap di sini?”
Arya menggenggam tangannya, menciumnya perlahan. “Aku akan tetap. Sampai kau tahu, kau tidak harus paham cinta untuk menerimanya.”
Mereka saling mendekat. Ciuman pertama jatuh seperti hujan yang lama ditahan langit. Tidak meledak. Tidak tergesa. Hanya sepasang bibir yang tahu rasanya menjadi tenang setelah badai.
Saat tubuh mereka saling mencari, tidak ada yang diburu. Mereka tidak mencoba menyembuhkan. Mereka hanya membiarkan diri mereka menjadi rumah sementara bagi satu sama lain. Dan di tengah pelukan yang meluruhkan pertahanan, Kalea berbisik nyaris tanpa suara, “Aku takut mencintaimu…”
Arya menyentuh keningnya, menjawab dengan napas yang gemetar, “Kalau begitu… biar aku yang mencintai cukup untuk kita berdua, sampai kau siap.”
Dan malam pun menutup mereka dalam selimut keheningan yang paling lembut.
$$$$$
Di rumah Menteng, langit sore mulai memudar. Aurora dan Tristan duduk di taman belakang, selimut tebal membungkus kaki mereka. Teh melati mengepul di cangkir porselen tua.
“Aku baru sadar,” ucap Aurora sambil memandang pohon palem kecil di ujung taman, “bahwa hidup yang sunyi tak selalu buruk. Asal kita punya seseorang untuk duduk diam bersama.”
Tristan menyandarkan kepalanya ke bahunya. “Aku tidak tahu bagaimana hidup tanpa kegelapan. Tapi sejak kau datang… aku jadi belajar melihat bayangan sebagai bukti adanya cahaya.”
Aurora menoleh. “Kau sudah berjalan terlalu jauh sendirian. Sekarang biar aku yang pegang senter.”
Tristan tersenyum, lalu menarik Aurora ke dalam pelukan. “Kalau begitu, jangan padamkan, bahkan saat aku ragu.”
Aurora mengecup bahunya. “Aku akan tetap menyalakan… bahkan jika kau menutup mata.”
Angin sore berbisik, membawa wangi tanah yang baru disiram hujan. Hari itu tidak sempurna, tapi cukup. Dan kepercayaan yang pelan-pelan tumbuh, kini mulai berakar di antara dua hati yang sama-sama pernah patah.
.
.
.
Bersambung.