Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 5
Malam hari, Zia baru saja sampai di rumah. Langkahnya lelah, tubuhnya letih, tapi hatinya masih hangat mengingat kebaikan Oma Ririn tadi siang. Senyum kecil sempat menghiasi wajahnya… namun itu hanya bertahan sebentar.
Baru saja ia mendorong pintu rumah yang reyot itu—
BRAK!
“Mas! Kamu kenapa gak berhenti main yang gitu sih?!”
Teriakan Bi Lina menggema di ruangan sempit. Ia berdiri dengan tangan di pinggang, napas memburu penuh emosi.
“Sudahlah! Jangan marah-marah mulu, ini hobi saya!” sahut Paman Ardi santai, duduk di kursi bambu usang sambil menyalakan korek. Api kecil itu menyalakan sebatang rokok murahan di tangannya.
“Hobi? HOBI?!” suara Bi Lina meninggi. “Tapi hobi kamu itu gak ngasih kita makan! Gak bayarin hutang! Gak sekolahin Zia, malahan ngabisin duit”
Zia berdiri diam di ambang pintu. Pandangannya menyapu ruang tamu kecil itu, tempat dua orang dewasa sibuk saling teriak, seolah ia tak ada.
“…Kenapa kalian berantem?” tanyanya pelan, akhirnya.
Paman Ardi menoleh. Wajahnya ditekuk kesal.
“Nahhh, beban udah pulang. Gimana? Dapet kerjaan?”
Zia menggenggam ujung tasnya erat, menahan emosi. Ia menarik napas dalam, lalu menjawab dengan tenang, “Zia mulai besok kerja di mansion.”
Mata Bi Lina membelalak. “Serius? Jadi apa?”
“Ngurus cucunya Oma Ririn,” jawab Zia, menunduk pelan, menyembunyikan letih dan malu.
Paman Ardi mendengus, lalu tertawa kecil penuh ejekan. “Hah… pembantu?”
Zia menggigit bibir bawahnya. Perih. Tapi ia menegakkan kepala, matanya menatap lurus.
“Kalau itu bisa bantu bayar hutang Paman, Zia gak masalah.”
Bi Lina terdiam sejenak. Lalu dengan suara yang lebih lembut, ia berkata, “Sudahlah. Pekerjaan apa pun itu... asal kamu bisa lunasin semua hutang kita…”
Zia hanya mengangguk pelan.
Keesokan harinya.
Zia berdiri di depan cermin usang yang menggantung di dinding kamarnya. Pantulannya samar, terhalang bercak karat dan debu. Ia mengenakan dress sederhana warna biru pudar—bersih, tapi lusuh. Tak ada riasan. Rambutnya dikuncir rapi.
Tangannya sedikit gemetar saat merapikan kerahnya. Tapi matanya menatap pantulan itu dengan tekad.
“Semoga ini awal yang baik,” bisiknya pada diri sendiri.
Ia membuka pintu kamar.
Hening. Rumah itu kosong. Tak ada Bi Lina, tak ada Paman Ardi.
Zia hanya diam sebentar di ambang pintu, sebelum melangkah keluar dengan pelan.
Embun pagi masih menggantung di dedaunan. Jalanan sempit di gang rumahnya masih basah. Tapi langkah Zia ringan. Ada sesuatu yang tumbuh pelan di hatinya: harapan.
_____
Zia berdiri terpaku di depan sebuah mansion megah yang berdiri angkuh di balik pagar tinggi berwarna hitam emas. Bangunan besar itu begitu menawan—dinding putih bersih, atap lebar bergaya klasik Eropa, dan taman depan yang rapi seperti lukisan hidup. Rasanya seperti istana.
Ia menatap kagum. “Beneran ini mansionnya?” gumamnya pelan.
Tak lama, seorang penjaga berseragam keluar dari pos depan dan menghampiri.
“Neng nyari siapa?” tanyanya ramah, meski tetap waspada.
Zia menelan ludah, lalu menjawab, “Saya mau ketemu Oma Ririn.”
“Keperluannya apa, ya?”
Belum sempat Zia menjelaskan, sebuah suara lembut tapi tegas terdengar dari arah depan mansion.
“Zia!”
Zia menoleh. Seorang wanita paruh baya berdiri di bawah naungan pilar marmer. Wajahnya tampak bersinar penuh kebahagiaan, rambut disanggul rapi, dan pakaiannya tampak berkelas. Itu... Oma Ririn.
“Oma...” Zia tersenyum lega.
“Buka gerbangnya,” perintah Oma Ririn pada penjaga dengan nada tegas.
“Baik, Nyonya,” sahut penjaga itu sambil segera membuka pintu gerbang lebar-lebar.
Zia melangkah masuk, sedikit kikuk, membawa tas sedikit besar berisi semua miliknya. Tak disangka, hidupnya akan membawanya ke tempat sebesar dan semewah ini.
“Masuk, duduk dulu,” ucap Oma Ririn ramah begitu Zia sampai di ruang tamu.
Ruangan itu luas, penuh ornamen mewah, lantai marmer putih mengilap, dan sofa beludru empuk berwarna krem.
“Mulai sekarang kamu tinggal di sini dan bekerja membantu saya,” ujar Oma pelan namun mantap.
“Mengurus semua keperluan cucu-cucu saya,” lanjutnya.
Zia mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.”
Oma Ririn mengerutkan dahi, lalu tersenyum menyipitkan mata. “Kok ‘Nyonya’?”
Zia tersipu. “Kan sekarang Oma jadi bos saya...”
Oma tertawa kecil. “Enggak usah. Panggil Oma aja seperti biasa.”
“Tapi nggak sopan rasanya, Oma...” ucap Zia ragu.
“Nurut sama saya,” balas Oma dengan nada lembut tapi tak bisa dibantah.
Zia pun akhirnya tersenyum. “Baik, Oma.”
“Kamu mulai sekarang akan ngurusin semua keperluan cucu-cucu saya,” ucap Oma Ririn sambil duduk di sofa panjang yang empuk dan elegan.
“Iya, Oma!” jawab Zia penuh semangat. Dalam kepalanya, ia sudah membayangkan mengurus dua anak kecil yang lucu dan menggemaskan—mungkin seperti babysitter di drama-drama yang sering ia tonton.
“Gaji kamu saya bayarkan di akhir bulan. lima puluh juta,” lanjut Oma Ririn tenang.
Zia langsung terdiam. “lima... limapuluh juta?” gumamnya dengan mata membelalak, hampir tak percaya.
“Iya. Kurang ya?” tanya Oma Ririn sambil menyesap tehnya dengan anggun.
“Enggak, Oma! Malah kebanyakan. Padahal Zia cuma ngurus anak-anak,” balas Zia polos.
“Anak-anak?” ulang Oma Ririn, kali ini dengan alis sedikit terangkat. Ia sempat menoleh, seolah menyadari bahwa ada kesalahpahaman kecil.
Mungkin dia salah paham, batin Oma Ririn sambil tersenyum simpul.
“Bibi, tolong panggilkan Arka dan Azka,” pinta Oma kepada salah satu pembantu yang berdiri tak jauh dari sana.
“Baik, Nyonya,” jawab bibi itu, lalu bergegas masuk ke dalam.
Beberapa menit kemudian, dua pria muncul dari arah koridor dalam mansion. Yang satu mengenakan hoodie hitam, rambut acak-acakan, dan wajah lelah tapi tetap tampan. Yang satunya lagi memakai kemeja putih semi formal, auranya tenang namun sedikit tajam.
Zia membeku di tempatnya.
Itu... bukannya cowok yang pernah nolong aku? batinnya kaget saat mengenali Aksa.
Sementara itu, Aksa juga menatap Zia dengan alis mengernyit. Ngapain gadis miskin ini di sini? Jangan-jangan...
Azkara dean regandra hanya menatap datar ke arah Zia, dingin, tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Zia, kenalin ini cucu-cucu Oma. Aksa dan Azka,” ucap Oma Ririn sambil tersenyum bangga. “Dan kalian berdua, ini Zia. Mulai sekarang dia yang akan ngurusin kalian.”
“APA?!” ketiganya berteriak bersamaan.
.
.
.
...ini adalah novel baru aku semoga kalian suka sama novel yang ini dan aku harap banyak yang baca sampai berjuta juta...
...I love you so much Yoshi but I know that our worlds are very different, I love you so much Yoshi but I know that our worlds are very different, if I have the chance to meet you I want to express this love to Kanemoto Yoshinori once again I love you...
...I will love you unconditionally...
...Babay guyss~...
...aku cinta kalian...