Terjebak Dalam Cinta Hitam
Terjebak Dalam Cinta Hitam
Panggung Terbuka - Mereka yang terjebak.
"Setiap cinta yang terlahir dari luka… selalu punya bayangan yang tidak bisa ditebak bentuknya."
🔥 TRISTAN MARESYA
"Wajah dingin, tatapan tajam. Ia berjalan dalam gelap dengan bekas cahaya ibunya yang telah padam".
.
Direktur muda yang mewarisi perusahaan… dan rahasia. Di balik jas abu-abunya, tersimpan luka kematian yang tak pernah dijelaskan. Ia bukan hanya mencari kebenaran—tapi juga seseorang yang bisa bertahan mencintainya, ketika ia sendiri tak tahu caranya bertahan hidup.
---
🌙 AURORA Elviera
"Matanya seperti langit mendung—selalu tampak tenang, tapi menyimpan badai yang tak kunjung reda."
Gadis keras kepala yang tumbuh dari puing masa lalu. Di antara malam-malam kelabu dan kesepian yang membeku, ia terjebak dalam permainan cinta dan jebakan kekuasaan. Tapi dari semua yang ia lawan, hatinya sendiri adalah musuh terbesar.
---
🌑 KALEA ARDISA
"Tertawa keras, tapi menangis diam. Ia tak pernah punya rumah… jadi ia menciptakan perannya sendiri."
Anak panti yang tumbuh jadi pemain licik di dunia pria kaya. Cerdas, cepat, dan berbahaya. Tapi ketika satu-satunya orang yang ia percaya hilang tanpa jejak, ia tahu... kebohongan tak bisa melindunginya selamanya.
---
🔎 ARYA SENA
"Ia tidak bicara banyak, tapi matanya menyimpan semua luka yang tak sempat diucapkan orang lain."
Jurnalis yang bermain di antara kebenaran dan risiko. Diam-diam melindungi Kalea, diam-diam mencintainya. Tapi cinta tak bisa terus disembunyikan, apalagi saat nyawa sudah ikut dalam permainan.
---
🌘 Empat jiwa.
Satu rahasia.
Dan cinta… yang lahir di tempat tergelap dunia.
Bab 1.Langit Malam yang Tak Pernah Terang
Lokasi: Klub Eksklusif "Violetta", Jakarta Selatan – Pukul 23.45 WIB
Lampu ungu menari di dinding kaca, memantul di gaun satin merah yang ku sewa sore tadi di butik langganan—gaun yang tampak terlahir demi tubuhku, tetapi harganya sanggup menenggelamkan tiga bulan uang kos. Bas elektronik EDM memukul-mukul rongga dada, menyamarkan degup jantung dan rasa lapar yang sudah ku rawat sejak siang: kombinasi nikmat-perih yang menegaskan batas antara ilusi gemerlap dan kenyataan dompet kempis. Di tempat seperti ini, kemiskinan bisa disamarkan oleh eyeliner pekat, seulas senyum tipis, dan segelas champagne yang bukan milikku.
Di pojok bar, Kalea—rambut lilac-nya diikat tinggi—menenggak air es yang tak pernah ia sentuh lebih dari dua teguk; aksi kamuflasenya. Mata kami beradu. Ia mengangguk pelan—kode kami sejak panti asuhan—berarti target terkunci. Tangannya yang terbalut sarung tangan renda semu bergerak ke arah pria berkemeja linen, perut sedikit buncit, tetapi jam di pergelangan tangannya jelas Rolex Yacht-Master edisi platinum.
Aku mengeja gerak bibirnya: "Rolx. Limit nggak?"
Kalea pura-pura mengecup sedotan—kode lanjutan bahwa limit kartu tak terbaca, alias kartu berkelas berat. Aku tersenyum. Mudah.
Kami bukan pendatang baru di dunia malam berlapis kaca patri ini. Tapi kami punya pagar tak terlihat—benteng yang kami bangun bertahun-tahun lalu, di kamar ranjang bertingkat panti asuhan, diiringi suara hujan berselimut atap bocor.
---
Flashback: Panti Asuhan Mawar Putih, Lima Tahun Lalu
Hujan mengguyur genteng seng yang berderit. Bau lembap bercampur bubur kacang hijau sisa makan malam. Ranjang susun kami bergoyang pelan terkena angin. Lampu belajar 5 watt memantulkan siluet dua gadis delapan belas tahun yang tidak seharusnya sudah hapal cara menipu kehidupan.
Aku meremas jari Kalea. Ketakutan, marah, sekaligus tekad membuat suara bergetar.
"Kalau dunia mau menjual kita, Lea, kita jawab dengan menjual ilusi. Tapi… kita harus punya sesuatu yang tetap milik kita."
Ia menelan ludah. "Kau tahu yang paling gampang dijual apa."
"Justru itu."
Aku menggigit bibir. "Kita boleh menjual senyum, sentuhan, bahkan fantasi terliar yang mereka mau. Tapi bukan…"
"…bukan keperawanan kita." Kalea menyambung, matanya basah namun mantap.
Kami saling menautkan jari kelingking.
"Janji?" tanyaku.
"Janji," jawabnya.
Petir menyambar di kejauhan, seolah mengesahkan kontrak dua yatim piatu keras kepala.
---
Aku tersentak kembali ke kenyataan. Violetta riuh—gelas bersulang, parfum mahal, dan tipu daya rasa percaya diri. Kalea menatapku lagi, cengiran tipis: targetnya sekarang berpindah ke arahku. Aku meluruskan punggung, menarik napas, dan melangkah pelan berirama ironi.
"Pak, meja ini kosong?" suaraku lembut, senada denting gelas.
Pria berperut buncit menoleh. Giginya terlalu putih—bleaching klinik, barangkali. “Kau sendirian, Sayang?”
Aku terkekeh, memiringkan kepala. “Menunggu seseorang yang mungkin lupa jam. Tapi saya tak suka meja sepi.”
Ia menepuk kursi di seberangnya. “Duduklah. Pesan apa saja, aku yang traktir.”
Aku sengaja menunduk, pura-pura malu, namun mataku sudah menangkap kartu kredit platinum bertuliskan namanya. Bagus.
"Champagne 2012, boleh?"
"Kamu kenal rasa," pujinya, menekan senyum bangga.
Aku menggesek kartunya pada tablet pemesanan. Sekali swipe—setengah biaya sewa apartemen kecilku di Tebet terselamatkan. Di kejauhan, Kalea mengacungkan jempol. Aku menahan tawa sambil memintal ujung rambut.
Pria itu mulai bercerita tentang import minyak sawit, kurs rupiah, dan—tentu—kesepian. Aku menanggapi dengan anggukan terancang, tangan menyembunyikan kalkulasi lain: berapa lama lagi sebelum ia lupa PIN besok pagi.
Di tengah tawa palsuku, corridor lampu strobo berkedip—pertanda pergantian DJ. Aku berdiri, berpura-pura hendak ke toilet untuk memeriksa makeup—sebenarnya menghitung saldo. Lalu, dalam lima detik, segalanya berubah.
Aku menabrak sesuatu. Sesuatu keras. Dingin. Tinggi.
Champagne tumpah menodai belahan gaun, menetes sepanjang kulit. Aku mendongak. Dua pasang mata kami bertemu.
Dia
Bukan sugar daddy biasa. Tubuhnya tegap dalam setelan jas hitam penjahit Italia, dasi gelap nyaris menyatu dengan kemeja. Tapi aura yang paling menghantam: tatapan—sehitam obsidian yang tidak memantulkan lampu klub sedikit pun, seakan menelan cahaya.
“Maaf,” lirihku, buru-buru meraih tisu, meraba noda dingin di dada yang kini basah oleh champagne mahal. Jemariku bergetar halus—entah karena hawa AC atau karena tatapan lelaki itu yang menusuk seperti belati halus, tepat ke dalam kerongkongan jiwa.
Dia tidak langsung menjawab.
Hanya berdiri, tinggi dan nyaris diam, seolah waktu di sekitarnya melambat dengan sendirinya. Klub tetap berdetak kencang dengan musik yang menghentak, tapi di antara kami, hanya ada diam.
“Gaunmu,” katanya pelan, suaranya berat, datar, dan tanpa emosi. “Sayang sekali.”
Aku tersenyum gugup, mencoba melucuti ketegangan yang tiba-tiba mencekik. “Champagne-nya yang salah sasaran.”
“Bukan,” katanya, kini memutar tubuh ke arahku. “Kau.”
Aku nyaris kehilangan pijakan. Kata-katanya seperti pisau yang dibungkus beludru—tajam namun nyaris terdengar lembut. Matanya tidak lepas dari wajahku. Tidak dari tubuhku. Tapi bukan seperti sugar daddy lapar yang biasa kami hadapi. Tatapan pria ini... menilai. Membedah. Membaca. Seperti ia tahu sesuatu yang bahkan aku belum sadari tentang diriku sendiri.
“Ada yang bisa saya bantu?” Aku menegakkan bahu, mencoba menjaga kendali, meski rasa gugup merambat sampai ke belakang lututku.
Ia tidak menjawab. Hanya mendekat—satu langkah kecil, tapi cukup untuk menghapus semua ruang pribadi yang biasa aku pertahankan seperti pagar besi. Aroma tubuhnya menghantam: maskulin, mahal, dan asing. Seperti kabut hutan hujan yang belum pernah dijejaki manusia.
Tangannya terulur—mendekati wajahku, lalu berhenti. Ia tidak menyentuh. Hanya mengangkat sehelai rambut basah yang menempel di pipiku.
“Kau bukan seperti mereka,” katanya pelan.
Aku menahan napas.
“Siapa?” tanyaku.
“Mereka yang menjual mimpi dengan harga murah,” jawabnya.
Seketika, semua taktik, semua skenario yang biasanya kugunakan—lenyap. Pria ini tidak bermain di panggung yang sama dengan kami. Ia bukan penonton. Ia sutradara. Dan sayangnya, aku tidak memegang naskah.
“Nama?” tanyanya.
Aku berbohong, seperti biasa. “Nadine.”
Dia menaikkan alis tipisnya. “Aurora.”
Darahku membeku.
“Ma—maksudnya?” suaraku nyaris tak terdengar.
Sudut bibirnya terangkat sedikit, bukan senyum, lebih seperti pengakuan bahwa dia baru saja menamparku secara halus. Ia tahu namaku. Dan itu berarti—entah bagaimana, dia tahu lebih dari yang seharusnya.
Aku mundur selangkah.
“Siapa kamu?”
Kalea—di seberang bar—tiba-tiba bangkit, gerakannya kaku. Matanya melebar. Ia mencoba mendekat, tapi dijegal pelayan yang mengangkat nampan besar. Aku sendiri ingin berlari, tapi langkah pria itu lebih cepat. Ia menyodorkan kartu nama berwarna hitam legam, hanya bertuliskan satu huruf timbul perak: "T."
Di balik kertas itu, seolah ada sesuatu yang bergerak. Sesuatu yang tidak terlihat, tapi membuat udara terasa menebal.
“Aku bisa membantumu keluar dari permainan ini,” katanya pelan, tapi jelas.
Aku tertawa getir, mencoba menutup ketakutan dengan sinisme. “Dan ganti dengan permainanmu?”
Dia menatapku, dan kali ini, sorot itu bukan lagi hanya misteri. Tapi ancaman.
“Permainanku tak memberi ruang untuk tipu daya. Tapi setidaknya... tak akan menghancurkan dirimu perlahan seperti yang sedang kau lakukan sekarang.”
Sebelum aku bisa menjawab, dia melangkah pergi. Tak menoleh. Tak meminta nomor. Tak mengundang kopi atau kamar hotel. Hanya meninggalkan udara yang kini terasa terlalu berat untuk dihirup.
Kalea akhirnya berhasil tiba di sisiku.
“Apa yang terjadi?” bisiknya. “Kau pucat. Siapa dia?”
Aku menggenggam kartu hitam itu erat-erat, seperti benda terkutuk yang akan meledak kapan saja.
“Masalah,” jawabku.
Atau mungkin, sesuatu yang lebih rumit dari itu.
.
.
.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
2025-07-03
0
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
2025-07-03
0
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
2025-07-03
0