Azam Rizki Van Houten---Tuan muda tengil, royal, arogan, tapi patuh dan taat pada orang tua. Kecelakaan hebat hari itu di karnakan kecerobohannya yang ugal-ugalan mengemudi membuatnya harus menerima di terbangkan ke Australia. 5 tahun kemudian ia kembali. Sang bunda merencanakan perjodohannya dengan Airin--gadis yang begitu di kenalnya. Namun, kali ini Azam menentang permintaan bundanya, di karnakan ia telah menikah diam-diam dengan gadis buta.
Arumi Afifa Hilya, kecelakaan hari itu tidak hanya membuatnya kehilangan penglihatan, tapi gadis malang itu juga kehilangan adik yang paling di sayangnya--Bunga. 5 tahun kemudian seorang pemuda hadir, membuat dunianya berubah.
***
"Satu hal yang perlu lu ketahui, Zam! Lu adalah orang yang telah membuat gadis tadi tidak bisa melihat. Lu juga orang yang membuat anak kecil tadi putus sekolah. Dan lu juga yang telah merenggut nyawa adik mereka! Dengar itu, bangsat!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinner
"Daarrrrr!"
"Eh, mampus. Eh, mampus! Lu mampus!" Bukan main kaget Azam yang baru keluar dari kamar. "Lu mau gue mati cepat, hah!" bentaknya. Dada di pegang menahan jantung yang berdegub cepat.
Zahra malah terkikik. Tidak menyangka ternyata abangnya orangnya kagetan juga.
Sedangkan Azizah malah menunduk, takut melihat wajah Azam yang merah.
"Eh, lu bisa diam gak!" Tunjuk Azam tepat berada di wajah Zahra yang masih tertawa.
Seketika Zahra menutup mulut. Bukan takut dengan gertakan Azam. Tapi ia hanya takut abangnya tidak jadi mengajaknya pergi.
Azam masih menatap tajam pada Azahra, sambil mengatur degup jantung yang bertalu-talu.
"Sudah, ayo turun," ajaknya. Pintu kamar di tutup terlebih dulu, sebelum berjalan menuruni anak tangga.
Zahra dan Azizah mengekor di belakangnya.
"Kenapa kamu nekat sekali sih, Ra? Nanti kalau bang Azam marah dan gak jadi ngajak kita gimana?" desis Azizah.
"Tenang saja, buktinya Bang Azam tetap ngajak kita turun, kan? Itu artinya kita tetap diajak. Kamu lihat gak, Zah? Ternyata Bang Azam orangnya latah. Hihihi," bisik Zahra dan kembali terkikik saat teringat bagaimana ber-gelinjak. Benar-benar menghiburnya.
"Ssattt! Udah lah, Ra. Nanti Bang Azam dengar. Yang ada dia semakin marah."
"Tapi lucu banget kan, Zah?"
.
.
Mereka kini telah berada di ruang keluarga, dimana Ayang dan Airin tengah menunggu mereka.
Di sana tidak hanya ada Ayang dan Airin saja, tapi ada juga Daniel, Azkia dan Azura. Kebiasaan keluarga mereka, jika malam memang sering bercengkrama di ruang keluarga,
"Nah, Airin. itu Azam sudah siap," ujar Ayang saat melihat Azam dan kedua putrinya telah berada di ruang keluarga.
Airin tersenyum. Tidak menyangka saja pemuda itu mau menerima ajakannya pergi berkencan malam ini.
"Airin,, tunggu apa lagi? Pergi sana," kata Ayang pada Airin yang masih senyam-senyum sendiri.
"Eh, iya Bunda." Airin berdiri dari duduk, lalu berjalan mendekati Azam.
"Abang, jaga Airin baik-baik ya? Dan pulangnya jangan kemalaman," pesan Ayang memperingatkan dengan nada yang lembut.
Azam mengangguk. "Iya Bun, kalau gitu Abang pergi sekarang ya? Pa, Azam pergi dulu," ujarnya berpamitan sebelum berbalik badan dan melangkah pergi.
Daniel yang tengah sibuk membaca surat kabar hanya memberi isyarat dengan menganggukkan kepala.
"Zahra juga pamit ya, Bunda, Papa."
"Azizah juga pamit ya, Bunda, Papa."
Ucap kedua gadis itu bersamaan, lalu berbalik badan dan segera berlari menyusul langkah Azam.
"Eh, kalian mau kemana?" teriak Ayang.
"Mau ikut Abang. Takut nanti Abang di culik nenek Dayung!" Zahra yang berteriak.
Kening Ayang seketika berkerut. Untuk beberapa saat ia diam. Loading.
'Mereka mau ikut dengan Azam? Tapi, Abang mereka dan Airin kan mau dinner berdua.'
Lantas Ayang bangun dari duduk dan berjalan cepat menuju pintu utama.
"Sayang, mau kemana?"
Pertanyaan Daniel tidaklah di hiraukan Ayang, kakinya turus melangkah menyusul kedua putrinya.
"Zahra! Azizah! Kalian mau kemana, Nak?" teriak Ayang. Ia khawatir kedua putrinya itu akan mengacaukan acara makan malam putranya dan Airin.
Azam yang mendengar teriakan bundanya menghentikan langkah. Begitupun dengan Airin, Zahra dan Azizah. Mereka berbailik memandang Ayang yang berjalan tergesa-gesa mendekati mereka.
"Ada apa, Bun?" tanya Azam.
"Enggak ada apa-apa, sih? Abang dan Airin pergi saja, Bunda hanya memanggil Zahra dan Azizah,"
"Eh, Bunda mau ngapain? Kami kan juga mau pergi sama Abang." Zahra menimpali.
"Sayang, kalian di rumah saja ya? Abang kalian kan mau dinner sama Kak Airin," bujuk Ayang.
"Gak mau. Kami mau ikut Abang," kekeh Zahra.
"Zahra...."
"Udahlah, Bun. Biarin saja. Tadi memang Abang yang mengajak mereka," potong Azam sebelum Ayang selesai bicara.
"Abang, mana bisa begitu. Ini kan acara kalian berdua. "
"Gak apa-apa Bunda. Airin juga gak keberatan kok. Iya, kan, Rin?"
"Eh." Airin pun bingung menjawab apa.
''Ngapain sih Azam mengajak biang reseh ini? Hufgh. Bisa hancur rencanaku kalau mereka ikut.'
Tak tak tak!
Azam menjentikkan jari di hadapan wajah Airin, hingga membuat gadis itu tersentak.
"Lu mikirin apa?" tanya Azam.
"Eh, gak ada kok," jawab Airin tergagap.
"Gimana? Adik-adik gue boleh ikutkan?"
"I-iya, boleh kok," jawab Airin.
"Tuh kan, Bunda sudah dengar sendiri kan? Kalau si Nenek Dayung ini ngizinin kami ikut," ucap Zahra lalu merangkul lengan Azam menuju keluar.
Azizah pun ikut berjalan di samping kembar-nya.
Sedangkan Airin, masih berdiri mematung memandang Ayang.
"Airin yakin, Zahra dan Azizah boleh ikut? Bunda khawatir nanti mereka berdua malah mengacaukan makan malam kalian," tanya Ayang memastikan.
'Terpaksa sih, Bunda. Kalau boleh milih. Airin malah ingin pergi sama Azam aja. Harusnya Bunda itu lebih tegas, dengan kedua tuyul reseh itu.' Kata-kata itu hanya bisa diungkapkan Airin dalam hati saja. "Iya Bunda, gak apa-apa kok," jawabnya kemudian.
Ayang menghembuskan nafas berat. "Ya sudah, kalau begitu. Nanti kalau mereka mengacau acara kalian, lapor pada Bunda ya. Biar bunda marahin."
Airin mengangguk pelan. Senyum tipis juga di ukirnya, mengisyaratkan jika tidak masalah walau Zahra dan Azizah ikut. Meski dalam hati mengumpat kesal pada ke dua gadis itu,
***
30 menit kemudian, mobil yang membawa mereka tiba di pelataran sebuah restoran yang terkenal dengan aneka masakan seafood yang lezat-lezat.
Sopir bergegas membukakan pintu untuk anak-anak majikannya.
Wajah Airin tampak kesal, di karenakan Zahra tidak memberikan kesempatan padanya berdekatan dengan Azam. Sejak tadi, di dalam mobil Alphard itu ia hanya duduk di samping sopir sendiri, sedangkan Azam dan kedua adiknya berada di kabin belakang.
"Baby, tunggu!" panggil Airin sambil berlari kecil mengejar langkah mereka yang telah lebih dulu masuk kedalam restoran.
"Selamat malam, selamat datang di Arifood. Untuk berapa orang?" tanya pelayan, sebelum mengantarkan mereka ke meja.
"Empat orang." Zahra yang menjawab.
"No! Siapkan dua meja terpisah untuk empat orang!" Sanggah Airin. Dia tidak ingin lagi mengalah.
"Enggak! Siapkan satu meja untuk empat orang!" balas Zahra tak mau kalah.
"No! Siap kan dua meja terpisah!" Airin masih tidak mau kalah.
"Nggak! Jangan dengarkan dia! Siapkan satu meja untuk empat orang!" Zahra masih bersikukuh.
Adu mulut pun terjadi membuat pelayan restoran menjadi bingung harus menuruti kata siapa.
"Diam!" bentak Azam membuat mereka berdua seketika terdiam. Lalu Azam beralih memandang pelayan restoran. "Siapkan satu meja untuk empat orang," lanjutnya.
Zahra tersenyum penuh kemenangan. Ketika tidak ada orang yang melihat, lidah di julurkan mengejek Airin.
Sesak dada Airin menahan amarah.
'Awas! Tunggu pembalasanku!'
Baru saja melabuhkan duduk di sofa yang ditunjuk pelayan restoran tadi. Airin lansung menunduk, ketika melihat kelibat seorang lelaki yang baru saja masuk restoran.
'Itu kan si Rio? Kenapa dia bisa berada di sini sih? Ah sial, jangan-jangan dia memang mengikutiku. Mati aku kalau sampai dia mengatakan semuanya pada Azam.'