Istri Buta Tuan Muda Tengil

Istri Buta Tuan Muda Tengil

Awal

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh! Sebelum baca, aku minta dengan 'sangat' agar memberi dukungan atas karya ini dengan memberikan jejak di setiap bab, Like, Komen dan Vote. Dah, itu aja. Yang udah ninggalin jejak, aku mau bilang makasih banyak. Semoga kakak semua sehat selalu.

Selamat membaca!!

Ohya, cerita ini lanjutan dari cerita sebelumnya. "GADIS PENJUAL JAMU DAN TUAN IMPOTEN". Bagi yang belum membaca, aku saranin marathon dulu baca judul tersebut biar lebih mendalami, karakter masing-masing tokoh. Tapi kalau nggak baca nggak apa-apa juga,, konflik ringan dan mudah di pahami kok.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Aril, cepat dong! Nanti telat!"

Bocah laki-laki kisaran 5 tahuan bergegas memasang sepatu, lalu berlari mendekati kakak dan adiknya yang sedang menunggunya di atas motor, tanpa berlama-lama bocah itu naik ke jok belakang dan memeluk erat pinggang kakak perempuannya.

"Abang, pegangan yang kuat!" Bunga, si bungsu yang.sedari tadi duduk di depan sambil berpegangan pada stang motor memperingatkan abangnya.

"Iya, ini Abang sudah pegangan. Ayo berangkat, Kak."

Perlahan motor melaju meninggalkan rumah tersebut.

Seperti biasa, gadis yang sedang mengendarai motor bebek itu terlebih dulu akan mengantarkan adiknya---Aril ke sekolah, setelah itu barulah ia pergi ke tempat kerjanya.

Nama gadis itu, Arumi Afifa Hilya. Semenjak sang ibu tiada, keadaan memaksanya menjadi tulang punggung, agar bisa bertahan hidup dengan kedua adik tirinya--Aril dan Bunga. Apapun akan ia lakukan untuk bisa mencukupi kebutuhan kedua adik kesayangannya. Ia yang menjadi ayah dan ia juga yang jadi ibu untuk mereka. Keadaan memaksanya memikul tanggung jawab besar tersebut. Sedangkan ayah tirinya, menghilang begitu saja setelah Bunga lahir. Meski demikian, Arumi ikhlas menjaga kedua adiknya, walau ia sendiri harus mengorbankan impian dan cita-citanya.

Selang beberapa menit, motor yang di kendarai Arumi telah tiba di TK tempat--Aril bersekolah.

Segera Aril turun dari motor dan mencium tangan Kakaknya. "Kak, uang jajan untuk Aril mana?" pintanya seraya menadahkan tangan pada sang kakak.

Arumi merogoh saku, mengeluarkan selembar uang dua ribu yang telah di siapkannya.

"Terimakasih, Kak. Jangan lupa jemput Aril nanti ya?"

"Iya. Tunggu sampai kakak datang, jangan pergi kemana-mana!" peringat Arumi.

"Siap, kakak Rumi cantik." Aril membuat pose gaya hormat. "Kalau gitu Aril masuk dulu, ya?"

"Dadah, Abang." Bunga yang duduk di depan melambaikan tangan yang di balas Aril dengan melambaikan tangan juga pada adiknya.

Setelah memastikan Aril masuk ke dalam pekarangan sekolah barulah, barulahArumi melajukan motor menuju tempat kerjanya.

Hanya memakan waktu 10 menit, Arumi sudah tiba di depan pertokoan tempatnya bekerja. "Aduh, tante Dian udah sampai duluan." Arumi bergumam pelan karna tidak enak hati melihat toko tempatnya bekerja telah di buka pemiliknya. Biasanya Arumi lah yang lebih dulu datang dan membuka toko tersebut.

Turun dari motor, Arumi menuntun tangan Bunga menuju ke dalam toko optik. Di sana ia melihat tante Dian, sedang fokus memeriksa buku catatan kostumer.

"Hmm....tante. Maaf ya, Arumi telat."

"Udah, nggak apa-apa. Ini tante juga baru datang. Tadi sengaja datang lebih awal karna tante ingin menyelesaikan bingkai kaca mata yang akan di ambil pelanggan hari ini," balas wanita itu tersenyum, tidak ada raut marah atau pun kesal di wajahnya.

Selain bekerja di toko kaca mata itu, jam 7 malam hingga jam 11 nanti Arumi akan melanjutkan bekerja di Caffee. Sedangkan kedua adiknya akan ia titipkan pada tetangga. Seringnya pada Tante Dian, jika wanita yang sepantaran dengan almarhum ibunya itu tidak sibuk.

"Roti bakpao untuk si pipi bakpao," celetuk tante Dian seraya mengulurkan kue yang sengaja di belinya pada Bunga.

"Terimakasih, tante," sahut gadis kecil dengan pipi bulat itu setelah mengambil kue dari tangan tante Dian dengan tangan kanan.

"Iya, tapi sun dulu, dong?" Tante Dian menyodorkan sebelah pipinya untuk di cium Bunga.

Bunga pun lansung mendaratkan bibirnya di pipi tante Dian."Muachhh!"

"Satu lagi." Tante Dian mendekatkan sebelah pipinya yang belum di cium Bunga.

"Kan rotinya cuma satu," balas gadis itu polos, sambil mengangkat bakpao di tangannya yang hanya satu potong.

"Iiiih, kamu ini!" Tante Dian pun menggigit gemas pipi tembem gadis itu. "Nanti kita beli yang banyak. Bunga mau berapa?"

"Seratus!" balas Bunga sambil memperagakan 5 jarinya.

Arumi yang sejak tadi memperhatikan mereka turut tersenyum.

.

.

.

Seperti biasa, pukul setengah sebelas, Arumi meminta izin pada tante Dian menjemput Aril ke sekolah. Biasanya Bunga akan di tinggalnya bersama Dian di toko.

"Kak Rumi, adik ikut." Bunga turun dari sofa, lalu berjalan mendekati Arumi yang akan keluar.

"Bunga, sama tante aja ya? Nanti kita jajan. Bunga mau apa? Nanti kita beli?" bujuk tante Dian, sambil berjongkok memeluk tubuh bocah perempuan itu.

"Gak mau, adik mau ikut, kak Rumi." Bunga merengek, tubuhnya meronta meminta di lepaskan.

Tidak sampai hati melihat gadis itu menangis tante Dian pun melepaskannya. "Ya sudah Arumi, kamu bawa saja. Kasihan dia kalau nangis begini."

Segera Bunga berlari ke arah Arumi setelah tangan Tante Dian terlepas dari badannya.

Arumi menyambutnya dengan tersenyum. Tangan adiknya di bimbing menuju motor yang terparkir di bahu jalan.

"Arumi, hati-hati!" pesan tante Dian melepas kepergian gadis itu. Entah kenapa, hari ini perasaannya tidak enak melepaskan mereka pergi.

'Semoga semua ini hanya perasaanku saja.'

***

Di Tempat berbeda

Ujung stick billiard digosok dengan kapur padat berbentuk kotak kecil. Matanya fokus memandang bola-bola billiard yang berserakan di meja sebelum mengambil ancang-ancang mengarahkan stick ke bola yang berwarna putih.

Cletuk!

Bola berserak, namun tidak satupun ada yang masuk.

"Sial!" dengusnya untuk kesekian kali karna sodokannya selalu meleset. Pandangannya cepat beralih pada dua orang pemuda yang menahan tawa melihat kegagalannya itu "Kalian kenapa? Meledek gue?"

Serempak kedua pemuda itu menggeleng, sambil menutup mulut. "Ma-mana berani ka-kami meledek bos." Seorang pemuda tergagap menjawab, sedang temannya yang berada di sebelah mengangguk cepat membenarkan apa yang dikatakan sohibnya.

"Ah, sudah lah. Gue malas main!" Tangkai stick billiard itu di lempar kearah kedua sahabatnya, lalu melangkah ke luar. Rokok elektrik dalam saku di keluarkan dan di hisap. Mengepul asap putih keluar dari mulutnya.

Mail, Parjo--dua pemuda yang bersamanya saling berpandangan, seakan saling bertanya satu sama lain. Apa yang terjadi pada sahabat mereka itu?

"Di-dia kenapa, Jo?" tanya Mail yang bicara memang gagap.

Parjo mengangkat bahu mewakili jawaban.

Ponsel yang berdering dalam kantong celana di keluarkan pemuda itu, screen layar di gesernya setelah melihat nama 'Bunda' yang tertera.

"Ya, ada apa, Bun?"

"Abang lagi dimana? Bunda mau minta tolong?"

"Katakan dulu mau minta tolong apa?"

"Tolong jemput Zahra dan Azizah di tempat latihan karate."

"Lah, memangnya Bunda ngapain?"

"Bunda lagi di butik, sayang. Lagi sibuk." 

"Hm, baiklah," sahut pemuda itu pasrah. Sambungan telepon di putuskan, lalu ponsel di masukan lagi ke dalam saku celana. Kaki panjangnya melangkah cepat ke arah kuda besi berlogo F yang terparkir di depan caffe.

"Bos, mau kemana?"

Langkah pemuda itu, terhenti dan menoleh pada kedua sahabatnya. "Kalian siapa? Kepo aja! Gue mau kemana itu urusan gue!" balas pemuda itu sewot. Kemudian langkah kembali di lanjutkan. 

Parjo dan Mail kembali saling berpandangan. Heran dengan sikap sahabatnya hari ini.

"Di-dia kenapa sih, Jo? Na-nanti ki-kita bilang datang bulan di-dia marah," desis Mail.

"Sudah, biarkan saja. Mungkin bos sedang ada masalah," balas Parjo.

"Ta-tapi aku khawatir Jo. Ta-takut terjadi apa-apa dengan dia. Pi-pikirannya kan lagi kacau. Ba-bagaimana ka-kalau dia ugal-ugalan nyetirnya?" ujar Mail khawatir.

"Benar juga ya? Kalau gitu kita ikut aja. Nanti kan kita bisa tegur kalau dia kebut-kebutan,." Parjo memberi usul.

"Nah, i-itu aku setuju."

Segera mereka berdua berlari mengejar mobil Ferrari yang baru saja keluar dari parkiran dan lansung melesat meninggalkan tempat itu.

"Lah, Jo? Di-dia su-sudah pe-pergi."

"Doa kan aja nggak kenapa-napa. Ayo, main lagi!"

"Ta-tapi, Jo. Pe-perasaan a-aku nggak enak."

.

.

.

***

Gas di injak nyaris kandas, sebelah tangan dengan lincah menurun naikan gigi kendaraan yang mana sebelah tangannya lagi juga gesit memutar kemudi, menyalip setiap kendaraan di depannya. Namun, ketika hendak menyalip mobil di depan, bersamaan dengan itu sebuah motor yang akan berbelok ke arah pertigaan di sebelah kanan jalan melintas begitu saja.

Pemuda itu melepaskan kakinya dari pedal gas, secara bersamaan kedua kakinya menginjak pedal rem dan kopling. Akan tetapi, mobil yang terlalu melaju kencang tidak dapat berhenti seketika. Gesekan ban mobil dengan aspal terdengar nyaring sebelum menabrak pengendara motor di depan.

"Aaaaakh! Bunda, tolong!"

Mobil yang oleng masih berjalan sebelum menabrak pembatas jalan dan berhenti.

Detak jantung semakin bertalu-talu, melihat kerumunan orang-orang di belakang.

"Tamat hidup gue," ringisnya. Dan tanpa pikir panjang, gas di injak, stir kemudi kembali di putar. Mobil pun melesat meninggalkan lokasi kejadian.

Tujuannya tidak lagi ke tempat yang di sebutkan bundanya tadi. Tapi ia mengarah kan mobil ke hotel milik papanya.

Setelah memarkirkan mobil, segera ia turun dan berlari kedalam lobi sambil mengeluarkan ponsel. Bergetar tangannya memegang ponsel itu. Cemas, dengan kejadian yang dialaminya tadi. Setelah menemukan nama kontak bunda, tombol panggil lansung di tekannya.

"Hallo, Bunda."

"Iya, Abang di mana sekarang? Sudah pergi jemput adik-adik?"

"Bu-bunda....Ab-Abang-"

" Loh, suara Abang kenapa seperti orang gugup gitu?"

"Bunda, Abang....Abang baru saja menabrak orang,"

"Astaghfirullah."

"Bunda....Abang nggak sengaja."

"Oke...sekarang Abang tenang dulu. Tarik nafas, keluarkan perlahan."

"Bunda....Abang takut... Abang nggak mau di tangkap polisi." Ia begitu cemas dan ketakutan karna tabrakan tadi masih terekam di benaknya.

"Nggak. Nggak akan ada polisi yang menangkap Abang. Sekarang beritahu Bunda posisi Abang dimana?"

"Abang di hotel."

"Oke. Tunggu Bunda di sana,.jangan kemana-mana sebelum bunda datang."

Terpopuler

Comments

Rafly Rafly

Rafly Rafly

wkwkwk.. anaknya mantan mafia kok Cemen....lari dari tanggungjawab, awas ntar di hajar sama tuan Daniel..

2025-05-28

1

Ra'

Ra'

halo kak salam kenal, jangan lupa untuk singgah jg di novel karya saya

2025-06-03

0

Fauziah Daud

Fauziah Daud

hadir

2025-05-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!