Hanum Salsabila, seorang dosen cantik harus menerima kenyataan jika ia harus dijodohkan dengan seorang CEO. Ia hanya bisa pasrah dengan ketegasan Halim sang ayah yang membuatnya tidak berdaya.
Ravindra Aditama, CEO yang begitu membenci perjodohan. Ia bersumpah akan mengerjai Hanum sampai ia puas dan pergi meninggalkan negeri ini setelahnya.
Kisah cinta mereka baru saja dimulai, namun Tama harus menerima kenyataan jika Hanum lebih memilih untuk berpisah darinya.
Akankah mereka bisa mempertahankan rumah tangga atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menunggu
Tama terdiam, ia tersenyum dan mengelus kepala Hanum dengan lembut.
"Tentu semuanya sudah saya pikirkan, tergantung kesepakatan kita bagaimana kedepannya," tuturnya.
"Nanti saya pikirkan lagi. Yang jelas, saya masih belum lupa dengan kejadian di Korea kemarin!" ketus Hanum sambil mendelik kesal.
"Saya minta maaf untuk itu!" lirih Tama.
Mereka terdiam dengan pikiran yang berkelana. Menerka apa yang akan terjadi jika di hadapkan dengan pilihan mau atau tidak.
Tama merebahkan tubuhnya dan membaringkan kepala di atas pangkuan Hanum. Wanita cantik itu terkejut namun ia kini dirundung keraguan, sehingga membiarkan saja apa yang dilakukan oleh sang suami.
"Kepala saya masih pusing, Bu!" keluhnya.
"Baiknya anda istirahat di dalam saja, atau berendam dengan air dingin," ucap Hanum.
Tama hanya menggeleng dan mengambil tangan Hanum, ia memberi isyarat untuk memijit kepalanya. Dengan pasrah, wanita cantik itu langsung memijit kepala Tama hingga ia terlelap.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Berikan petunjukMu agar aku bisa menentukan pilihan dalam pernikahan ini. Batin Hanum.
Mbak Nini bernapas lega ketika melihat Hanum dan Tama yang tidak berdebat lagi. Bahkan kini mereka terlihat baik-baik saja tanpa ada masalah.
Hingga senja menjelang, Hanum masih berada di depan televisi dengan Tama yang terlelap nyenyak di pangkuannya. Tanpa menyadari jika ada seseorang yang tengah menunggu dan menghubunginya ratusan kali di sebuah restoran.
"Ke mana kamu, Han? Sekarang malah tidak aktif ponselmu. Apa kamu lupa dengan janjimu tadi?" desisnya frustrasi menunggu kedatangan Hanum.
Rasanya ia ingin mendatangi rumah Hanum, namun ia tidak tau pasti di mana alamat rumah wanita cantik itu.
Kini ia serba salah, jika ia pulang takut nanti Hanum datang, namun sampai kapan ia harus menunggu seperti ini di sini.
Bahkan waiters sudah beberapa mendatanginya hanya sekedar bertanya apakah ia memesan sesuatu atau tidak.
Hanya helaan napas yang terdengar keluar dari mulut Alfizi. Bahkan hingga malam menjelang, ia tidak melihat batang hidung Hanum sama sekali.
"Dia sama sekali tidak mengabariku!" gumamnya dengan perasaan kacau dan campur aduk.
Dengan wajah yang penuh kekecewaan, ia menatap sebuah kotak berisikan cincin yang akan ia beri kepada Hanum tadinya.
Ia ingin melamar gadis pujaan hati yang sudah ia incar dari lama. Namun sepertinya itu hanya sebuah angan saja saat ini.
"Aku akan mencobanya lain kali. Mungkin ada pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini," ucap Alfizi menghibur dirinya.
Ia beranjak dari sana dan memilih untuk pulang. Terserah nanti Hanum datang atau tidak, ia sudah lelah menunggu di sana selama 4 jam.
"Besok aku harus benar-benar memastikan jika Hanum memang memiliki alasan karena tidak datang hari ini. Mungkin lain waktu aku akan melamarnya," ucap Alfizi sebelum pergi meninggalkan restoran tersebut.
*
*
Nafisa terlihat menghela napas berkali-kali, sembari mengucapkan beribu doa untuk anak semata wayangnya, Hanum.
Laporan dari Mbak Nini, membuatnya harap-harap cemas tentang masa depan pernikahan Hanum yang bisa jadi akan berakhir tanpa ia kira.
Halim melihat sang istri dan mendekatinya, Nafisa tidak pernah terlihat tenang semenjak Hanum menikah.
Ia memahami apa yang ditakutkan oleh sang istri. Namun bagaimanapun juga, ini adalah amanat yang ditinggalkan oleh kakeknya Hanum.
"Sayang, kita harus percaya jika anak-anak bisa melalui ini semua. Bukankah kita juga berada dalam kondisi seperti mereka dulu?" ucap Halim.
Nafisa menghela napas dalam. "Aku hanya takut, mengingat sifat Hanum yang cukup keras tentang sesuatu yang tidak ia suka. Apa lagi pendirian Hanum itu sangat kuat, ia tidak akan mempertahankan sesuatu yang membuatnya tersakiti," ucapnya lirih.
"Mereka sudah dewasa, sudah bisa melihat mana yang baik dan tidak. kita hanya perlu mempercayakan pernikahan itu kepada mereka," ucap Halim.
Nafisa mengangguk. Ia merindukan putri kecil yang selalu mengganggunya setiap berada di dapur. Selalu merengek untuk dibuatkan sesuatu dan bertepuk tangan bahagia ketika apa yang ia mau bisa di kabulkan.
Namun kini, ia harus menghadapi pernikahan yang tidak diinginkan. Tetapi jika tidak dipaksa seperti ini, Hanum tidak akan pernah memiliki konsep pernikahan dan rumah tangga dalam hidupnya.
Ia hanya berharap jika mereka bisa mempertahankan pernikahan ini sampai maut memisahkan.
Sementara itu di rumah pengantin baru, Hanum mengingat jika ia tidak melihat ponselnya sedari tadi, tidak berbunyi dan juga tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan di sana.
Ia mencari ponsel dan mengernyit bingung.
"Siapa yang mematikannya?" gumam Hanum.
Ia segera menyalakan ponsel dan terkejut begitu banyak pesan dan panggilan yang masuk dan Alfizi. Berulang kali ia mengucap karena melupakan janji yang sudah ia buat sore ini dengan laki-laki itu.
Apa Tama yang mematikannya?. Batin Hanum mengernyit.