Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 DBAP
“Ar, kamu tahu di mana Zayan?” tanya Puput dengan napas memburu, suaranya penuh kegelisahan.
Arsen tidak langsung menjawab. Ia tengah fokus mencabut infus dari punggung tangan Naya dengan hati-hati, memastikan gadis itu tidak merasa sakit. Setelah selesai, ia menoleh dan berkata lembut, “Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku mau bicara sebentar dengan kakak.”
Naya mengangguk pelan, meski matanya masih menyimpan tanya. Ia penasaran, terlebih melihat ekspresi dosennya yang biasanya tenang kini berubah muram dan tegang. Tapi ia juga cukup peka untuk tahu, ini masalah keluarga. Dan ia memilih tak ikut campur.
Begitu pintu kamar tertutup, Puput langsung menatap adiknya tajam. “Aku rasa... ada yang berubah dengan kamu.”
Arsen terdiam. Matanya tak berani menatap balik.
“Ingat, kamu itu cuma pengganti, Ar. Jangan keburu ambil peran yang bukan tanggung jawabmu,” suara Puput mulai bergetar, antara marah dan cemas. “Kamu sudah tahu anak dalam kandungan Naya bukan ponakanmu. Kamu mau menanggung benih orang lain?”
“Kakak...” Arsen menarik napas panjang. “Aku belum bisa jelaskan semuanya sekarang.”
“Belum bisa atau gak mau?” Puput menahan amarahnya. “Sekarang Kakak tanya, Zayan di mana? Kakak dengar kamu datang dan memukulnya? Dia belum pulang sampai sekarang. Kamu marah soal Naya, tapi kenapa harus keponakanmu yang jadi sasaran?”
Arsen mengepalkan tangannya. “Kenapa Kakak selalu hilang kendali setiap kali bicara soal Zayan? Apa Kakak gak pernah berpikir panjang? Kalau terus dimanja, dia bisa seenaknya sama orang.”
“Ar! Zayan itu anakku. Kakak tahu persis gimana dia!” Suara Puput meninggi. “Dia anak baik. Gak neko-neko. Kamu aja yang selalu cari celah jeleknya.”
Arsen menahan emosi. “Kak... aku sudah kasih banyak kode. Tapi Kakak gak pernah mau lihat. Zayan gak sebaik yang Kakak pikir. Orang yang tahu siapa dia sebenarnya, itu bukan keluarganya—tapi orang-orang di luar sana.”
“Arsen!” bentak Puput. “Apa sih yang kamu maksud? Kenapa kamu selalu begini sama Zayan? Dia itu keponakanmu. Dia pewaris keluarga ini. Tapi kamu selalu menganggap dia seolah musuhmu!”
“Baik!” seru Arsen akhirnya. “Kakak mau tahu kenapa aku mukul dia? Karena dia yang bikin Naya seperti ini! Dia yang kasih obat ke Naya, Kak... dia yang biarin Naya kehilangan kendali dan akhirnya—”
Arsen menggigit bibirnya, menghentikan kalimatnya sebelum mengucapkan terlalu banyak. Dadanya sesak. Matanya menatap kosong. Tidak. Rahasia ini belum waktunya keluar.
Puput menyempitkan mata. “Dan akhirnya apa, Ar? Dengan laki-laki seperti... kamu?” bisiknya, pelan tapi menusuk.
Arsen buru-buru menggeleng dan menyangkal. “Bukan, bukan begitu. Kakak selalu bilang sendiri aku bukan lelaki baik-baik. Jadi... aku hanya mengumpamakan. Seperti aku... orang bajingan. Tapi bukan berarti aku pelakunya.”
Puput menatap adiknya dalam-dalam, mencoba menafsirkan maksud di balik setiap kata yang nyaris tersembunyi. Di menit berikutnya Puput memalingkan wajah, menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak di dadanya. “Ar... kamu menikahi Naya karena tanggung jawab. Itu yang kamu bilang waktu itu, kan? Jadi kenapa sekarang kamu malah bawa perasaan?”
Arsen tersenyum tipis, getir. “Kakak pikir aku bisa berdiri di samping dia tiap hari, lihat dia nahan semua sakit sendirian... terus aku gak ngerasa apa-apa?”
“Jangan bodoh, Ar.” Suara Puput mulai bergetar. “Kamu itu cuma pelindung sementara. Sampai semua ini selesai. Sampai hasil tes DNA keluar. Jangan ikut tenggelam.”
“Terlambat,” ucap Arsen pelan. “Aku udah tenggelam dari lama.”
Puput menatap adiknya, syok dan tak percaya.
“Aku tahu apa yang Kakak pikir tentang pernikahan kami,” lanjut Arsen. “Dan mungkin benar. Awalnya aku memang menikah karena tanggung jawab. Tapi selama ini... bukan cuma dia yang butuh dilindungi. Aku juga butuh alasan buat bertahan.”
“Arsen...”
“Kak, aku gak bisa diem aja waktu tahu Zayan yang nyakitin Naya. Dia yang sudah jebak Naya sampai kehilangan kepercayaan diri, kehilangan kontrol atas tubuhnya sendiri. Dia bikin Naya ngerasa hancur, kotor... dan satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat itu cuma—pukul dia.”
Puput memejamkan mata, berusaha mengerti, tapi hatinya remuk. “Zayan itu anakku. Kamu tahu kan, Ar. Kakak udah kehilangan banyak hal dalam hidup ini... jangan minta Kakak kehilangan satu-satunya yang Kakak punya.”
“Aku gak minta Kakak kehilangan dia,” ucap Arsen dengan suara yang kini lebih lembut. “Aku cuma minta... jangan butakan diri demi dia. Kadang... menyayangi seseorang artinya berani ngakuin kalau dia salah.”
Puput tak menjawab. Matanya mulai berkaca-kaca. Sebagian dari dirinya ingin menyangkal semuanya. Tapi sebagian lagi... mulai goyah.
Arsen melirik jam tangannya lalu beranjak. “Aku balik ke Naya dulu. Hari ini dia sudah diizinkan pulang.”
Sebelum melangkah pergi, Arsen sempat menatap kakaknya sekali lagi. “Kalau Kakak masih gak percaya dengan apa yang aku katakan Kakak bisa mencaritahu sendiri dan jangan menutup mata, kadang apa yang kita lihat meskipun menyakitkan tapi itu bisa jadi kebenaran sejati.”
Puput mengepalkan tangannya kuat-kuat, sebagai seorang ibu tentu saja ia akan percaya pada anaknya, tapi ia juga tidak bisa terus menutup mata. Selama ini setiap ia curiga akan anaknya, Roki selalu mencoba menghalanginya. Kini tekadnya sudah bulat, jika memang Zayan benar-benar bajingan ia tidak akan pernah membiarkan anaknya terus terjerumus.
***
Arsen membuka pintu ruang rawat dengan pelan. Pandangannya langsung tertuju pada Naya yang sudah duduk rapi di pinggir ranjang, menunggunya dalam diam. Senyumnya samar, tapi cukup untuk membuat dada Arsen terasa hangat.
“Sudah siap semua?” tanya Arsen dengan nada rendah.
Naya mengangguk pelan. “Sudah, Paman.”
Ia memperhatikan wajah Arsen yang tampak tegang, matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. “Kalau Paman masih ada yang harus diurus, gak apa-apa... aku bisa pulang sendiri. Atau kalau masih ada pekerjaan yang belum selesai, lanjutkan saja dulu.”
Arsen melangkah mendekat, perlahan, tapi pasti. Jarak di antara mereka terkikis hingga hanya sehembus napas yang memisahkan. Tubuhnya mencondong, mendekat ke arah Naya. Aroma maskulin khas Arsen menyergap, membuat Naya refleks menelan ludah, gugup.
“Nay,” ucap Arsen lembut, “memang masih ada yang harus aku selesaikan. Dan itu... penting.”
Naya segera bergeser sedikit, mencoba menciptakan jarak. “Ka–kalau begitu, selesaikan saja dulu, Paman...”
Tapi Arsen justru makin dekat. Suaranya menurun, nyaris seperti bisikan yang hangat di telinga Naya. “Urusan penting itu... kamu.”
Naya sontak terdiam. Matanya membulat sedikit, tubuhnya refleks mundur hingga hampir jatuh ke kasur. Tapi sebelum sempat kehilangan keseimbangan, lengan Arsen sudah melingkar di pinggangnya, menahannya erat.
Napas mereka beradu. Naya bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu cepat, dan wajah Arsen terlalu dekat untuk diabaikan.
“Kamu gak perlu pulang sendiri. Gak perlu nunggu aku selesai kerja,” ucap Arsen, suaranya serius tapi lembut. “Karena kamu bukan urusan yang bisa kutunda.”
Naya terdiam sejenak, mencoba menstabilkan napasnya yang mulai kacau. Tapi detik berikutnya, ia cepat-cepat berdeham, berusaha menetralkan suasana.
Dengan gerakan gugup, ia mendorong pelan dada Arsen, melepaskan tangan pria itu dari pinggangnya. “Pa... Paman, kita segera pulang. Langit sudah hampir gelap,” ucapnya cepat, sambil bangkit dari duduknya.
Namun, langkahnya yang terburu-buru justru membuatnya tersandung—kakinya seperti tidak kompak, saling bertabrakan, hingga tubuhnya oleng ke depan.
Belum sempat ia jatuh, tangan Arsen sigap menangkapnya lagi.
“Pelan, Nay...” bisik Arsen di dekat telinganya, nada suaranya menenangkan. “Kalau kamu terus begini, aku bakal curiga kamu sengaja.”
Wajah Naya langsung merona. Ia berusaha melepaskan diri, tapi Arsen malah mempererat pelukannya sejenak—sekadar memastikan dia benar-benar aman dalam dekapannya.
“Tadi kamu bilang langit sudah gelap...” Arsen menoleh ke jendela, lalu kembali menatap Naya. “Tapi di sini, malah makin terang.”
Naya tertegun. Hatinya berdebar kencang. Ia tahu, Arsen memang pandai merangkai kata yang terdengar datar, tapi efeknya seperti badai dalam dirinya.
“Paman...” ucapnya lirih, nyaris seperti gumaman.
Arsen tersenyum tipis, lalu akhirnya melepas pelukannya perlahan. “Ayo kita pulang. Tapi pelan saja, jangan bikin aku harus nangkap kamu lagi.”
Naya hanya mengangguk pelan, mengikuti langkah Arsen keluar dari ruang rawat. Namun, dalam diamnya... satu pertanyaan terus berputar di kepalanya.
Kenapa dia bisa berubah selembut ini? Apa dia salah minum obat?
terimakasih