Sinopsis:
Liora, seorang gadis muda, dipaksa menjadi pengantin pengganti tanpa mengetahui siapa calon suaminya. Namun saat tirai pernikahan terbuka, ia terseret ke dalam Azzarkh, alam baka yang dikuasai kegelapan. Di sana, ia dinikahkan dengan Azrakel, Raja Azzarkh yang menakutkan, dingin, dan tanpa belas kasih.
Di dunia tempat roh jahat dihukum dengan api abadi, setiap kata dan langkah bisa membawa kematian. Bahkan sekadar menyebut kata terlarang tentang sang Raja dapat membuat kepala manusia dipenggal dan digantung di gerbang neraka.
Tertawan dalam pernikahan paksa, Liora harus menjalani Upacara Pengangkatan untuk sah menjadi selir Raja. Namun semakin lama ia berada di Azzarkh, semakin jelas bahwa takdirnya jauh lebih kelam daripada sekadar menjadi istri seorang penguasa neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 25
Hari itu, udara di Pengadilan Azzarkh terasa berat dan mencekam. Langit di atas istana bawah seolah diselimuti kabut pekat berwarna ungu kehitaman, dan api di tiang-tiang obor memantulkan cahaya merah darah di dinding batu yang dingin. Semua makhluk yang hadir menunduk dalam diam, menunggu keputusan atas seorang yang dulunya disebut sebagai bangsawan agung dari dunia bawah, Putri Wei.
Di hadapan para penjaga, Putri Wei berdiri dengan tangan terikat rantai sihir. Tatapannya penuh amarah, menatap lurus ke arah Liora, sang putri muda yang kini berdiri di sisi singgasana Raja Azzarkh. Raut wajah Putri Wei tak menunjukkan sedikit pun penyesalan, justru kebencian yang membara di matanya membuat udara di sekitarnya terasa menusuk.
“Putri Wei,” suara berat Kaelith, penjaga gerbang neraka, bergema di seluruh ruang pengadilan. “Atas perintah Raja Azrakel, engkau akan tetap bereinkarnasi. Namun tidak lagi sebagai bangsawan, melainkan sebagai wanita miskin yang hidupnya dipenuhi penderitaan. Setengah dari hidupmu akan dihabiskan untuk menanggung kebencian dari orang yang kau cintai. Itulah hukuman atas kesalahanmu.”
“Tidak!” jerit Putri Wei, tubuhnya bergetar. “Yang Mulia! Kumohon, jangan berikan aku hidup yang hina seperti itu! Aku mohon ampun!” Suaranya serak, tapi Raja Azrakel yang duduk di singgasana hanya menatapnya dingin, tanpa belas kasih.
Di bawah sinar api neraka yang berpendar, Liora menggenggam erat kedua tangannya. Ia tak tega melihat penderitaan yang sebentar lagi menimpa Putri Wei, tapi ia tahu, semua ini adalah balasan atas kejahatan besar yang dilakukan wanita itu. Putri Wei telah mengkhianati kerajaan, memanipulasi jiwa, dan mencoba merebut kekuasaan Azzarkh dengan darah terkutuk.
Namun, saat pengawal menarik rantai di tangan Putri Wei, wanita itu mendadak menatap tajam ke arah Liora. Matanya menyala penuh kebencian.
“Semua ini karena kau, wanita jalang!” teriaknya melengking. Ia meronta, melepaskan diri dari genggaman para penjaga, lalu berlari ke arah Liora.
“Putri, mundur!” teriak Dreya dan Vaelis serempak, tapi sebelum keduanya sempat bergerak, Putri Wei sudah hampir menjangkau Liora.
Namun hanya dengan satu gerakan tangan dari Raja Azrakel, tubuh Putri Wei terhempas keras ke lantai. Suara dentumannya memecah kesunyian.
“Ternyata kau belum juga jera,” ucap sang Raja dengan nada yang penuh murka. “Apa aku harus menambah hukumanmu?”
Putri Wei menatapnya dengan ketakutan, tubuhnya bergetar hebat.
“Pengawal,” perintah Raja. “Bawa dia. Berikan rasa sakit sebelum ia dikirim ke kehidupan barunya.”
“Tidak! Tidak! Yang Mulia, ampunilah aku!” teriak Putri Wei histeris saat para penjaga menyeretnya keluar dari ruangan. Jeritannya menggema, memudar perlahan di lorong panjang menuju ruang pemurnian jiwa.
Liora menunduk, dada berdebar keras. Ia tak pernah menyangka wanita itu akan sekejam itu, bahkan di ujung hukuman pun masih berusaha mencelakainya.
“Dia benar-benar kehilangan jiwanya,” gumam Vaelis lirih.
Raja Azrakel berdiri perlahan dari singgasananya. “Sidang selesai,” katanya singkat, lalu melangkah pergi. Udara dingin yang menekan pun perlahan mereda bersama kepergiannya.
Liora menatap kursi singgasana yang kini kosong. Hatinya masih berat. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa sedih melihat seorang jiwa hancur seperti itu.
Sudah seminggu Liora absen dari sekolah.
Hari ini, ia akhirnya kembali. Langit terlihat cerah, namun di dadanya masih ada rasa asing, seperti ada dua dunia yang terus bertabrakan di kepalanya.
“Lioraaa!”
Dinda berlari menghampirinya di gerbang sekolah.
“Udah sembuh? Kok akhir-akhir ini kamu sering banget sakit sih?”
Liora tersenyum, berusaha menutupi rasa gugupnya.
“Namanya juga penyakit, Dis. Datangnya enggak disangka.”
Padahal yang sebenarnya, ia sedang menjalani kehidupan ganda, antara manusia dan dunia bawah.
“Sakit apa emang?”
“Eee… flu ketiak.”
Jawaban itu spontan keluar, dan Dinda langsung mengangguk polos.
Liora hampir tertawa sendiri. Untung temanku ini tulalit.
Baru saja ia ingin berjalan ke kelas, suara lain memanggil keras.
“Liora!”
Serena datang dengan wajah kesal dan langkah cepat.
“Kamu dari mana aja? Kamu masuk kamar, terus tiba-tiba hilang! Aku nyaris gila nyariin kamu!”
“Mau tahu atau mau tahu banget?” Liora menjawab santai.
“Aku nanya serius, Liora !”
“Kepo. Tanya aja sama sepatuku.”
Liora menunjuk sepatu barunya, mewah, berkilau, edisi terbatas.
Serena menatapnya tajam.
“Kamu dapat dari mana sepatu itu?”
“Kasihan banget, pengin ya? Tapi enggak mampu, kan?” Liora menyeringai.
Wajah Serena memerah karena marah dan malu.
“Pasti KW! Enggak malu, pakai KW!”
“Idiiih, iri bilang bos.” Liora berbalik, meninggalkan Serena yang mendengus kesal.
Di kelas, seorang siswa baru duduk di bangku sebelah Liora. Tinggi, berwajah tenang, dan senyumannya menawan.
“Kamu Liora, kan? Aku Yudha, siswa pindahan.”
“Iya, aku Liora.”
Mereka berjabat tangan. Ada sesuatu di mata Yudha yang membuat Liora sedikit gugup, entah kenapa, auranya terasa… familiar.
Saat jam istirahat, Yudha mengajak Liora dan Dinda ke kantin.
“Kamu sakit apa kemarin?” tanya Yudha.
“Sakit? Oh, iya. Cuma pilek ringan.”
“Dia flu ketiak,” sahut Dinda polos.
Yudha hampir tersedak, sementara Liora menatap temannya dengan tatapan mematikan.
“Flu ketiak? Emang ada penyakit gitu?”
“Udah, makan aja cepat. Bentar lagi bel masuk,” potong Liora buru-buru.
Mereka pun tertawa, suasana jadi cair. Untuk sesaat, Liora lupa bahwa ia bukan gadis biasa.
Namun ketenangan itu sirna begitu Serena muncul dan, splash!, minuman dingin tumpah ke baju Liora.
“Kamu sengaja, ya?” seru Dinda, berdiri marah.
“Aduh, ajudannya ngamuk,” ejek Serena sinis.
“Udah Dis, jangan ladeni. Sampah enggak usah dipegang, nanti ikut kotor,” balas Liora dengan senyum menantang.
“Apa kamu bilang!?”
“Oh, kedengaran ya? Kirain sampah enggak punya telinga.”
Yudha yang sedari tadi diam ikut bicara.
“Ayo deh, daripada bau, kita ke kelas aja.”
“Iya, ayo Liora ,” timpal Dinda. “Sampahnya kebanyakan parfum tapi tetap busuk.”
Ketiganya pergi sambil tertawa kecil, meninggalkan Serena yang menggigit bibir menahan marah.
Wajahnya memerah, dan matanya menatap punggung Liora dengan dendam yang membara.
krn di dunia nyata kamu g diperhatikan, g disayang
apa mungkin bgmn cara'a spy kembali ke dunia sebenar'a, bgtukah thor🤭💪