Selir Alam Gaib
Liora duduk di tepi ranjang, memegangi bantal hingga jemarinya memutih. Malam itu udara desa sangat dingin meski jendela tertutup rapat. Angin tetap merayap lewat celah kecil, membawa aroma tanah lembap yang menempel di hidungnya. Jantungnya berdegup terlalu keras, seperti palu yang menghantam dada dari dalam.
Tiga hari lagi, katanya. Tiga hari lagi ia akan menjadi pengantin.
Namun bukan pengantin seperti gadis-gadis lain yang bermimpi mengenakan gaun putih dan bersanding dengan pria tampan. Pernikahan yang menunggu Liora adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan dalam mimpi paling buruk sekalipun.
Bahkan sejak mendengar kabar itu, ia tak bisa berhenti bertanya-tanya dalam hati, Mengapa aku?
Dua hari lalu, rumah keluarga Ratna, ibu tirinya, berubah menjadi panggung drama yang menegangkan.
Liora sedang di kamar, berbaring sambil menatap layar ponselnya. Ia berusaha tak peduli pada obrolan keluarga di ruang tengah. Baginya, keberadaan Ratna dan Serena, anak perempuan Ratna, hanyalah beban. Sejak kecil ia tidak pernah benar-benar akur dengan ibu tirinya itu, apalagi dengan Serena yang selalu merasa dirinya lebih istimewa.
Namun malam itu, suara tangisan keras memecah keheningan. Tangisan yang begitu pilu hingga membuat Liora merinding. Tak lama kemudian, dentuman keras terdengar, seperti guci jatuh dan pecah berkeping-keping.
Liora tersentak bangun. Jantungnya berdebar panik, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Ia buru-buru membuka pintu kamar dan melangkah ke ruang tengah.
Yang ia lihat membuat napasnya tercekat.
Serena berdiri di tengah ruangan, wajahnya basah oleh air mata, matanya merah, dan tangannya memegang sebuah pisau dapur. Pecahan guci antik dan gelas berhamburan di lantai, memantulkan cahaya lampu seperti pecahan bintang.
“Aku tidak mau menikah! Jangan paksa aku!” teriak Serena histeris. Suaranya memecah telinga, seolah ada ribuan jarum menancap bersamaan.
Ratna, ibunya, berusaha menenangkan dengan suara lembut, tapi wajahnya pucat pasi. “Sayang, tolong letakkan pisaunya. Jangan lakukan ini.”
“Aku lebih baik mati daripada menikah dengan dia!” Serena meraung lagi. Tangannya yang memegang pisau bergetar, ujungnya menempel di pergelangan tangan.
Liora berdiri mematung. Baginya, Serena sedang berakting. Gadis itu memang pandai membuat orang lain khawatir. Sejak kecil, ia terbiasa berpura-pura sakit atau menangis hanya untuk mendapat perhatian.
Namun kali ini, Liora sedikit merinding. Serena benar-benar tampak nekat.
Nyai Sasmita, nenek dari pihak Ratna, ikut angkat bicara. Suaranya bergetar, menua tapi penuh tekanan. “Letakkan, cucuku. Jangan seperti ini. Kalau kau bunuh diri, apa jadinya keluarga kita?”
Serena menatap Nyai dengan mata membelalak. “Janji! Kalian semua janji tidak akan menikahkan aku! Kalau tidak, aku akan lakukan sekarang juga!”
Ratna menangis tersedu. “Ya, sayang. Kami janji. Kamu tidak akan menikah. Letakkan pisaunya, tolong.”
Darma, ayah Liora, berdiri di sudut ruangan. Raut wajahnya tegang, keringat membasahi pelipis meski udara malam dingin. Ia jarang terlihat takut, tapi malam itu, ekspresinya menyerupai orang yang kehilangan kendali.
“Janji!” Serena berteriak lagi.
“Ya, kami janji. Demi Tuhan, kami tidak akan menikahkanmu,” ucap Nyai Sasmita mantap.
Perlahan, tangan Serena yang gemetar menurunkan pisau dari kulitnya. Dan secepat kilat, Darma maju dan merebut benda itu. Semua orang menarik napas lega, dan Ratna langsung memeluk putrinya erat-erat.
Liora hanya menggeleng pelan. Dalam hatinya, ia ingin tertawa. Kalau ini film, Serena pasti menang piala Oscar. Aktingnya terlalu meyakinkan.
Namun, siapa sangka drama malam itu hanyalah awal dari bencana bagi dirinya sendiri.
Keesokan malamnya, setelah makan malam selesai, Liora memilih mengurung diri di kamar. Ia benci duduk bersama keluarga tirinya. Rasanya hanya buang waktu mendengarkan percakapan mereka yang tak penting.
Namun pintu kamarnya diketuk. Mbok Kinasih, asisten rumah tangga tua yang sudah lama mengabdi, menyembul di pintu. “Non Liora, diminta ke ruang tengah. Semua sudah menunggu.”
Liora mengerutkan dahi. “Siapa yang manggil?”
“Bibi tidak tahu. Tapi nyonya dan tuan bilang semua harus kumpul.”
Liora menghela napas berat. Dengan enggan, ia meletakkan ponselnya di kasur, lalu melangkah keluar.
Begitu tiba di ruang tengah, ia melihat Nyai Sasmita, Ratna, Serena, dan ayahnya sudah duduk melingkar. Wajah mereka tegang, seperti hendak menyampaikan sesuatu yang berat.
Hati Liora langsung berdesir. Ia bisa merasakan firasat buruk menyelusup ke dadanya.
“Liora, duduklah,” kata Ratna dengan suara halus.
Liora duduk di sofa panjang, menatap satu per satu wajah mereka. Tak ada yang mau bicara lebih dulu. Suasana mencekam.
“Ada apa? Kenapa semua kumpul begini?” tanya Liora, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
Nyai Sasmita akhirnya membuka suara. “Liora, kami ingin membicarakan hal penting. Sesuatu yang menyangkut keluarga besar kita.”
Liora mengernyit. “Maksudnya apa?”
Ratna menatap putri tirinya itu dengan raut penuh beban. “Kamu harus menikah.”
Liora terbelalak. “Apa? Menikah?”
Serena tersenyum tipis, seolah sudah menebak reaksinya. “Ya, kau akan menggantikanku. Karena aku menolak.”
Kata-kata itu menghantam kepala Liora seperti palu godam. Ia berdiri refleks, wajahnya merah padam. “Kalian gila! Hanya karena Serena tidak mau, aku yang dijadikan tumbal?”
“Liora, jaga ucapanmu!” bentak Darma, ayahnya.
Liora menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Ayah… aku ini anakmu. Kenapa harus aku?”
Darma menarik napas dalam-dalam. “Turuti saja. Ini demi keluarga.”
“Demi keluarga siapa? Aku bahkan bukan keluarga mereka!” Liora menunjuk Ratna dan Serena. “Ratna hanya ibu tiri, Serena bukan saudaraku! Kenapa aku yang harus menggantikan?”
Ratna menunduk, tak berani menatap. Nyai Sasmita menggeleng perlahan.
“Kalau kau menolak,” suara Darma dingin, “kau jangan pernah memanggilku ayah lagi. Kau bukan anakku.”
Ucapan itu menghujam hati Liora lebih tajam daripada pisau. Air matanya jatuh.
Ia merasa seperti ditelanjangi, dirobek dari tempat yang seharusnya paling aman. Ayah yang selama ini ia banggakan, yang ia percaya akan melindunginya, ternyata memilih mengorbankannya demi menjaga ketenangan keluarga tiri.
Serena menatapnya dengan tatapan mengejek. “Anggap saja ini takdirmu, Liora. Kau akan menikah… dengan seseorang yang sudah dipilih untukmu.”
“Seseorang yang di pilih untukku? Jangan membuat lelucon tidak lucu Serena, itu adalah pernikahanmu, bukan aku!" suara Liora bergetar.
"Tapi, sayangnya, kini kau yang harus mengantikan aku." Kata Serena.
"Aku tidak mau." Ucap Liora.
"Kau tidak dengar apa yang ayah barusan katakan? Kalau kamu menolak, ayah tidak akan menganggapmu anak lagi." Ujar Serena mengingatkan akan ucapan Darma tadi.
"Siapa pria itu?" Tanya Liora akhirnya, dia ingin tahu, siapa pria yang menjadi calon Serena yang membuat dia harus mengantikan Serena. Dan, kenapa Serena menolak pernikahan itu.
Tak ada yang menjawab. Ratna hanya menunduk. Nyai Sasmita menghela napas panjang. Darma memalingkan wajah.
Liora berdiri gemetar. “Kenapa kalian diam? Siapa orang itu?”
Hening.
Dan dalam keheningan itu, Liora merasakan bulu kuduknya meremang. Seakan ada rahasia besar yang sengaja disembunyikan darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Kustri
apa liora dijadikan tumbal🤔😩
2025-10-07
0