Menara yang Misterius yang sudah berdiri dan berfungsi sejak sangat lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Space Celestial, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Lantai 2, Jam 08:15 AM.
5 kelas posisi telah dimulai dan pada minggu pertama hanya kelas posisi Warrior yang dimulai, hari kedua kelas posisi Archer, hari ketiga kelas posisi Scout, hari ke-empat kelas posisi Light Bearer, dan hari kelima kelas posisi mage.
Sofia ingat minggu kedua sampai satu bulan, semua posisi kelas akan berjalan belajar pada hari yang sama, berarti semua 5 posisi akan melakukan kelas setiap hari sampai satu bulan, lalu Ujian akhir akan dimulai untuk evaluasi setiap Regular.
Hari Pertama, Kelas Warrior
Regular yang terpilih posisi Warrior berada di ruangan dengan meja dan kursi, setiap baris terdapat 5 Regular dan mereka menunggu guru Ranker mereka untuk posisi Warrior, termasuk Shawn Kruger, June Heart, Tyson Rhodes, dan Rachel Allen.
Sofia juga masuk kelas ini karena dia ingin melatih kombat dan stamina dia, walaupun dia menjadi setengah Raksasa karena dia memakan jantung raksasa dan stats dia sendiri tinggi, tetapi Sofia tetap saja ingin melatih diri dia sendiri karena Experience dan instinct Kombat penting untuk melawan musuh di masa depan dan melindungi diri.
Pintu ruangan terbuka.
Langkah ringan namun tegas bergema di dalam aula. Seorang wanita melangkah masuk, tubuhnya tinggi dan ramping, mengenakan setelan armor hitam elegan yang tampak ringan namun kuat. Helm futuristik menutupi wajahnya, cahaya Biru samar mengalir di sepanjang sisi helm itu. Tidak ada yang bisa melihat wajahnya, tapi seluruh ruangan langsung membungkam.
Ia berhenti di tengah ruangan, lalu berbicara dengan suara yang dingin namun dalam dan tegas.
“Aku Ranker Aurora. Aku akan menjadi instruktur kalian untuk posisi Warrior.”
Beberapa Regular menelan ludah. Ada yang langsung duduk tegak. Ada pula yang mencoba menebak kekuatannya hanya dari auranya saja—dan gagal.
“Warrior,” lanjut Aurora, “bukan hanya tentang kekuatan otot. Bukan tentang siapa yang bisa menebas paling banyak, atau siapa yang paling cepat menjatuhkan musuh.”
Aurora mengangkat tangannya. Sebuah holografik menyala di udara. Menampilkan bayangan pejuang dengan berbagai gaya bertarung: pedang besar, tombak panjang, senjata ganda, hingga tangan kosong.
“Warrior adalah tulang punggung pertarungan. Kalian berdiri paling depan, menerima serangan, membuka jalur, dan membentuk ritme. Di sinilah kalian akan belajar arti menjadi tombak dan perisai bagi tim kalian.”
Ia berbalik. “Ikuti aku.”
Tanpa penjelasan panjang, Aurora memimpin mereka keluar dari ruangan menuju area pelatihan terbuka. Lapangan itu luas—sangat luas. Tanah keras di bawah kaki mereka terlihat seperti batu dipadatkan, dan angin kering meniup pelan dari arah utara.
Aurora berdiri di tepi lapangan, memandangi seluruh Regular yang berbaris di hadapannya. Di sinilah pelatihan pertama mereka akan dimulai.
“Lari,” katanya singkat. “Kelilingi lapangan ini... terus menerus... sampai kalian mencapai batas. Jangan berhenti. Jangan berbohong pada dirimu sendiri. Aku tidak peduli seberapa tinggi statistik kalian. Aku ingin tahu... seberapa kuat mental kalian.”
Beberapa Regular menatap satu sama lain, ragu.
“Mulai sekarang.”
Dengan satu kata itu, Aurora menghilang dari pandangan, dia melompat ke menara pengawas di sisi lapangan dalam sekejap mata, seperti angin hitam.
Dan mereka pun mulai berlari.
Shawn langsung melangkah ke depan. Kakinya mantap, tubuhnya bergerak stabil. Ia tahu ini bukan tentang kecepatan, tapi ketahanan.
Di belakangnya, June Heart dan Tyson Rhodes ikut berlari. Tyson tampak menggampangkan, berlari cepat sejak awal, sementara June menjaga ritmenya, seperti pemburu sabar menanti waktu yang tepat.
Rachel Allen tetap di tengah kelompok, tenang dan fokus.
Sofia Carson? Ia memilih berada di belakang. Bukan karena lemah, justru karena dia ingin merasakan tiap langkah, tiap denyut ototnya. Ia ingin tahu berapa lama tubuh barunya bisa bertahan sebelum mulai bereaksi. Setiap tarikan napas, setiap gemuruh darah di tubuh raksasa barunya, ia rasakan dalam diam.
Putaran demi putaran berlalu.
Langkah-langkah kaki yang berat mulai menggema di seluruh penjuru lapangan. Debu halus terangkat dari tanah keras yang dipijak oleh puluhan kaki Regular yang berlari dalam irama berbeda, ada yang mantap, ada yang cepat namun cepat pula melambat, ada pula yang sejak awal tampak ragu.
Jam menunjukkan pukul 08:30 AM. Matahari di langit lantai kedua belum terasa menyengat, tapi cukup memberikan bayangan panjang dari tubuh mereka yang bergerak.
Aurora berdiri di atas menara pengawas seperti patung diam, tangannya terlipat di depan dada. Dari balik helmnya, matanya mengamati. Ia tidak melihat angka, bukan statistik, bukan kecepatan, bukan stamina. Ia sedang mengamati jiwa mereka.
Sofia Carson tetap di belakang, menjaga napas dan fokus. Setiap langkahnya bukan hanya latihan stamina, tapi latihan kendali.
Tubuh setengah Raksasanya, dengan kekuatan yang tak seharusnya dimiliki manusia biasa, membuat setiap lari terasa ringan. Sofia tahu ia bisa berlari lima puluh putaran tanpa berhenti. Namun bukan itu tujuannya. Dia tidak ingin menjadi sorotan semua orang jadi dia berada di belakang tetapi tetap lari.
Satu jam berlalu.
Putaran demi putaran membuat beberapa Regular mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ada yang mulai terhuyung, ada yang terpaksa melambat drastis. Ada yang terengah-engah hingga suara napasnya terdengar seperti orang tenggelam. Tapi tidak ada yang berhenti. Tak satu pun berani menghentikan langkah mereka. Tidak di bawah pengawasan Aurora.
Dari atas menara pengawas, sang Ranker masih berdiri tegak, seperti patung. Tak bergerak, tak bicara. Tapi auranya menekan seperti matahari hitam di tengah langit pagi. Tak ada yang tahu apa yang ia pikirkan, tapi semua Regular sadar: berhenti berarti gagal. Dan gagal... di Menara Ilahi... bisa berarti lebih dari sekadar kehilangan nilai.
Itu bisa berarti kehilangan masa depan.
Langit di lantai 2 mulai berubah warna, dari biru pucat ke gradasi oranye keemasan meski jam masih menunjukkan pagi hari. Lantai ini memiliki iklim buatan, seperti mayoritas lantai lain di Menara Ilahi, namun suasananya dibuat sedemikian rupa agar tekanan mental dan fisik terasa lebih nyata.
Setelah lebih dari satu jam penuh lari terus-menerus, hampir setengah dari Regular Warrior sudah jatuh terduduk ke tanah, napas mereka terengah-engah, tubuh mereka basah kuyup oleh keringat. Namun tidak ada suara keluhan. Tak ada tangisan. Hanya desahan berat dan detak jantung yang keras.
Aurora, dari atas menara pengawas, memantau setiap gerakan mereka tanpa berkata apa pun. Mata di balik helmnya memindai satu per satu Regular. Tidak mencari siapa yang tercepat, tapi siapa yang bersungguh-sungguh. Siapa yang keras kepala. Siapa yang masih mencoba berdiri walau lututnya gemetar.
Sofia masih berlari. Tubuhnya tidak menunjukkan tanda kelelahan berat, tapi napasnya mulai berat. Ia tidak menahan diri, tapi juga tidak memaksakan. Ia ingin mengenal batas tubuh barunya. Kekuatan raksasa yang mengalir dalam darahnya membawa regenerasi dan kekuatan besar, tapi stamina adalah cerita lain. Stamina tidak bisa dibeli dengan kekuatan. Ia harus dibangun.
Shawn masih berlari juga. Meski kakinya terasa berat, ia tidak berhenti. Matanya menatap ke depan, menolak melihat ke belakang. Di pikirannya, wajah teman-teman lamanya berkelebat satu per satu. Ia tidak tahu apakah mereka masih hidup... atau apakah mereka bahkan pernah benar-benar ada dalam realitas ini. Tapi ia tahu satu hal, dia tidak bisa kalah lagi. Tidak bisa gagal lagi.
“Cukup,” suara Aurora akhirnya terdengar, datar dan dingin seperti sebelumnya. “Yang masih berdiri, ikuti aku. Yang sudah tumbang, tetap di sini dan istirahat. Kalian akan mengulang ini besok.”
Tak menunggu lama, Aurora menuruni menara pengawas dengan lompatan ringan dan langsung berjalan menjauh dari lapangan. Mereka yang masih kuat mengikuti dari belakang dengan langkah berat dan mayoritas merupakan Regular Penghuni menara.
Langkah mereka membawa mereka ke bagian lain dari lantai pelatihan. Kali ini, sebuah lapangan terbuka yang penuh dengan tumpukan batu besar dan kecil. Beberapa Regular langsung menunjukkan ekspresi terkejut. Tidak sedikit pula yang terlihat mengeluh dalam hati, meski tak berani mengucapkan sepatah kata pun.
Di tengah lapangan tersebut, berjajar puluhan tongkat panjang dari kayu besi hitam yang keras, masing-masing memiliki dua keranjang besar yang tergantung di kedua ujungnya seperti timbangan raksasa. Keranjang itu kosong... untuk saat ini.
Aurora menatap mereka dengan tenang. “Latihan kedua. Kekuatan fisik dan daya tahan.”
Aurora menunjuk tongkat-tongkat itu. “Ambil satu. Letakkan di atas pundak kalian. Isi masing-masing keranjang dengan batu dari sini, dan setelah itu... kalian akan naik-turun bukit buatan di ujung lapangan ini sampai kalian tidak bisa lagi berdiri.”
[Stamina Meningkat sebesar 1.]
[Speed Meningkat sebesar 1.]
[Stamina Meningkat sebesar 1.]
[Speed Meningkat sebesar 1.]
[Stamina Meningkat sebesar 1.]
[Speed Meningkat sebesar 1.]
Sofia melihat sistem notifikasi dengan puas dan terus berlatih, semua Regular menerima pesan sistem bahwa stamina dan kecepatan stats mereka bertambah tetapi mereka tidak senang atau selebrasi karena mereka sangat kelelahan dan nafas mereka berat, kecuali Regular penghuni menara Ilahi.
Sistem menara Ilahi sangat membantu di menara. Sistem juga dapat melakukan hal-hal sederhana seperti berlari untuk meningkatkan stamina dan kecepatan, mengangkat barang atau konstruksi untuk meningkatkan kekuatan dan stamina, membaca untuk meningkatkan kecerdasan, dan banyak lagi hal-hal sederhana lainnya.
Sebab itulah semua Ras di menara Ilahi bahkan warga sipil dan anak-anak sangatlah kuat.