Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Takut Dila, saya pikir kamu rela mati bareng bersama saya. Bukankah cinta itu rela mati bersama?" Abdullah bertanya dengan nada meledek ketika ia pelankan mobil, menoleh Dila sekilas yang tengah ngos-ngosan mengatur jantungnya yang nyaris copot.
Dila mendelik gusar. "Kalau mau mati jangan ajak-ajak. Enak saja mati bareng. Kak Abdullah bukanya mencintai Silfi? Ajak saja, Dia!" Dila merengut menatap lurus ke depan.
Abdullah hanya diam, kali ini mengendara dengan kecepatan standar hingga tiba di rumah mewah lantai dua. Begitu turun dari mobil, Dila ambil koper dari bagasi yang sudah terbuka secara otomatis. Ia angkat koper berat itu meletakkan di bawah. Abdullah yang sudah berdiri di samping mobil sama sekali tidak ada niat untuk membantu.
Dila menarik koper ke teras rumah, entah apa yang akan ia lakukan, karena tidak ada yang menyambut kedatangannya, apa lagi disuruh masuk. Karena lelah berdiri, Dila duduk di pinggir teras, melirik Abdullah yang tengah bersandar di depan mobil main hape sembari senyum-senyum.
"Pasti kirim pesan untuk Silfia" Batin Dila. Hingga beberapa menit Dila seperti orang hilang, akhirnya berdiri mencari Abdullah, tapi pria itu sudah tidak ada di sana. Entah kemana perginya Abdullah, jika keluar tidak mungkin karena Dila tidak melihat. "Jangan-jangan Dia sudah masuk melalui jalan lain" gumam Dila. Dengan menyusun keberanian, ia mengetuk pintu. Tidak lama kemudian mertuanya membuka pintu.
"Ya Allah... menantu Mama, kemana Abdullah?" Ghina melongok ke luar, tapi tidak ada Abdullah.
Dila tidak mau menjawab karena memang tidak tahu, hanya membalas senyum mertuanya.
"Masuk sayang..." titah Ghina lembut.
"Munaaaah..." Ghina memanggil asisten, tidak lama kemudian muncul wanita kira-kira 30 tahun. "Kamu ini bagaimana sih, Mun, menantu saya datang kok tidak dibukakan pintu, memang tidak mendengar suara mobil masuk halaman," Ghina ngomel-ngomel sembari menyalakan lampu. Tampak interior mewah di dalam rumah tersebut.
Dila kaget mendengar suara mertuanya, padahal biasanya lemah lembut, tapi ternyata jika marah menakutkan.
"Maaf Nyonya, saya..." Munah tidak melanjutkan ucapannya, lalu menarik koper Dila.
"Kamu pasti pakai headset kan?" Ghina sudah paham, jika tidak mendengar gitu, Munah pasti sedang mendengarkan lagu.
"Hihihi... maaf Nyonya" Maimunah tidak marah walaupun dimarahi. Ia segera menarik koper ke kamar atas perintah Ghina.
"Sekarang kamu ikut Mama sayang..." Ghina mengait pergelangan tangan Dila, mengantar ke kamar Abdullah.
Dila sedikit tenang, bagaimana pun sikap Abdullah, setidaknya mertuanya menyayangi dirinya. Tiba di kamar, Dila menatap Munah yang tengah menyusun pakaiannya di lemari tanpa disuruh.
"Kamu sebaiknya istirahat" titah Ghina, lalu minta maaf atas sikap Abdullah yang pergi tidak memberi tahu.
"Baik, Ma, terima kasih" Dila menatap mertua yang meninggalkan kamar.
"Selamat ya, Non... sudah menjadi bagian dari rumah ini" Munah mengulurkan tangan, bibirnya berceloteh tentang kebiasaan Abdullah yang jarang pulang ke rumah, tanpa Dila tanya.
"Terima kasih, Mbak" Dila hanya tersenyum mendengar cerita Munah, padahal ia lebih tahu tentang Abdullah karena tinggal bersama hingga satu tahun lebih, tapi Dila tidak mau cerita.
"Kalau gitu, saya tinggal Non, kalau butuh apa-apa telepon saya" Munah memberikan nomor handphone tanpa Dila pinta. Dila tentu antusias menyimpan nomor handphone tersebut.
Dila melirik jam di hape sudah jam delapan malam, ia hendak shalat isya, tapi sebelumnya ambil mukena yang sudah Munah masukkan di lemari.
"Mencari apa kamu?" Suara bariton muncul dari kamar mandi. Dila memeluk mukena, menatap Abdullah kaget. Rupanya pria itu di kamar mandi, entah lewat mana masuknya.
"Woe! Ditanya malah lihat saya begitu" Abdullah berjalan mendekat.
"Ambil mukena, saya mau shalat" Dila akhirnya berpaling menatap ke dalam lemari. Bajunya sudah disusun oleh Munah dengan rapi.
"Jangan lancang, baju kamu bukan di sini" Abdullah mendorong tubuh Dila, hingga menjauh dari lemari.
Dila tidak mau menjawab, masih memandangi Abdullah yang tengah memilih baju.
"Siapa yang menyuruh kamu menyimpan baju di lemari?" Abdullah melotot tajam ke arah Dila.
Dila terperangah, hanya masalah baju di lemari saja Abdullah marah begitu.
"Bukan saya yang simpan, tapi Mbak Maimunah" Dila masih menjawab lembut. "Kalau kamu tidak boleh, aku bisa keluarkan lagi kok, tidak usah marah-marah," lanjut Dila.
Abdullah melirik sekilas, lalu ambil kaos dan celana kolor, kemudian kembali ke kamar mandi. Ia rupanya tidak mau ganti baju di kamar.
Dila meletakkan mukena di sandaran sofa, dengan perasaan sedih mengeluarkan pakaiannya dari lemari. Dia masukkan pakaian kembali ke dalam koper. Baru pertama kali tinggal bersama Abdullah, hatinya sudah merasakan sakit.
Mendengar langkah kaki Abdullah, Dila tidak mau menoleh. Ia tarik resleting koper hingga tertutup rapat, kemudian mendorong mepet ke tembok.
Dila melirik Abdullah yang sudah terlentang di tempat tidur, lalu berjalan ke arah kamar mandi.
"Mau kemana kamu?!" Abdullah bertanya ngegas.
"Mau ambil air wudhu" Dila tetap menjaga sikap, jika sebelum menikah mendengar bentakan Abdullah begitu membalas dengan teriakan yang lebih keras, sekarang bersikap lembut. Walaupun bagaimana, Abdullah adalah suaminya.
"Kamar mandi kamu di luar, bukan di kamar ini" kata Abdullah tidak membentak lagi, tetapi perintahnya melukai hati Dila. Tidak ada sepatah katapun bantahan dari mulut Dila, ia memilih meninggalkan kamar itu, mencari kamar mandi lain.
"Non Dila mencari apa?" Munah muncul di belakang Dilla.
"Kamar mandi Mbak."
"Lah, di kamar tadi kan ada kamar mandi, Non?" Munah kaget dan bingung, ia pikir Dila tidak tahu.
"Emmm... masih dipakai Kak Abdullah, Mbak" Dila terpaksa berbohong.
"Ya ampun, pengantin baru kan seharusnya mandi bareng Non, tidak apa-apa kali..." Munah tertawa.
Wajah Dila memerah mendengar candaan Munah. "Mana kamar mandinya, Mbak? Saya kebelet" Dila ingin segera menghindar dari Munah untuk saat ini. Terlalu malu jika Munah membicarakan masalah tabu. Ia segera masuk kamar mandi setelah diberi tahu Munah.
Dengan wajah basah air wudhu, Dila kembali ke kamar, tatapan mantannya langsung ke tempat tidur. Di sana Abdullah tidur posisi tengkurap. Ia berjalan dengan ujung jemari kaki, agar tidak mengganggu macan tidur. Aman, hingga tiba di pinggir jendela, mengait mukena memasang di badan. Setelah menggelar sadjadah lantas shalat.
"Dila."
Dila kaget, ketika sedang melipat mukena, Abdullah memanggilnya. Dengan cepat, ia mendekati Abdullah.
"Ada apa Kak?" Dila berdiri di samping tempat tidur, berharap sikap Abdullah akan seperti dulu, humoris dan konyol, daripada dingin seperti sekarang.
"Kita menjadi suami istri hanya status, tapi jangan mengharap lebih. Lakukan saja apa yang akan kamu lakukan, mau pacaran silakan saja. Begitu juga dengan saya, jangan sekali-kali kamu menghalangi apa yang akan saya lakukan."
Deg.
Hati Dila bagai dihantam batu besar, sebenarnya ia juga tidak mau berharap yang muluk-muluk. Abdullah menganggapnya sahabat pun akan Dila terima, yang penting tidak saling bermusuhan.
"Tapi ingat, jangan sampai Mama dan Papa tahu, bersikaplah seperti selayaknya suami istri ketika di depan orang tua, ngerti?!"
...~Bersambung~...
jangan sampai balikan lagi ke Abdul apalagi kalau masih mempertahankan silfia.
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author