NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:501
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20: Bayangan Pengkhianatan dan Langkah Pertama

...--- Badai di Dalam Diri ---...

Malam itu, Raka tidak bisa tidur.

Ia terbaring di tempat tidur sederhana di gubuk kecilnya, menatap langit-langit kayu yang berderak pelan tertiup angin. Namun, yang ia lihat bukanlah atap gubuk—melainkan kilasan wajah-wajah yang terbakar dalam api kehancuran. Jakarta yang tenggelam dalam lautan api. Paris yang runtuh dalam gempa yang ia picu. New York yang musnah dalam badai energi yang meledak dari tubuhnya.

Berapa juta? Berapa miliar?

Sakit kepala menyerang dengan intensitas yang hampir membuatnya pingsan. Setiap detak jantung terasa seperti palu yang memukul tengkoraknya dari dalam. Tangannya bergetar tak terkendali, mual bergolak di perutnya seperti asam yang membakar.

"Tidak ada jalan lain," bisiknya kepada kegelapan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri seperti yang telah ia lakukan selama berbulan-bulan.

Namun suara Jenderal Armando Vargas bergema lebih keras dari sebelumnya, tidak lagi sekadar bisikan masa lalu: "APAKAH TIDAK ADA JALAN LAIN? MENGAPA HARUS KEHANCURAN TOTAL SEPERTI INI?"

Raka menekan kedua telapak tangan ke telinganya, namun suara itu datang dari dalam kepalanya sendiri—teriakan keputusasaan seorang lelaki yang menyaksikan dunia terbakar di hadapannya.

Aku tidak punya pilihan, batinnya berteriak balik. Eva bilang ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Bumi !

Tapi sekarang... sekarang ia tahu Eva telah membohonginya. Tentang segalanya.

Raka bangkit dari tempat tidur, kakinya sempoyongan. Melalui jendela kecil gubuknya, ia bisa melihat Arib dalam kegelapan—rumah-rumah kecil yang terlihat damai, pohon-pohon kelapa yang bergoyang lembut, ombak yang menyapu pantai dengan ritme yang menenangkan.

Palsu. Semuanya palsu.

Ia fokuskan indra super-nya, menembus ilusi yang selama ini menutupi penglihatannya. Dan di sana, samar namun pasti, ia merasakan aura artificial yang menyelimuti seluruh pulau. Penduduk Arib yang tidur nyenyak memiliki pola biologis yang aneh—detak jantung yang terlalu teratur, gelombang otak yang terlalu stabil, seolah mereka dikontrol oleh sesuatu.

Bahkan kebaikan mereka, kepolosannya—semuanya dirancang. Diperhitungkan. Dimanipulasi.

Kenangan tentang senyuman Kiko yang ceria tadi siang kini terasa menyakitkan. Anak itu... apakah ia benar-benar anak kecil polos, ataukah bagian dari ilusi Eva? Dan Lina dengan kebijaksanaan nya yang hangat—apakah perhatiannya tulus, ataukah sekadar program yang ditanamkan Eva untuk membuatnya merasa nyaman?

Raka merasakan muntah naik ke tenggorokan. Ia berlari keluar gubuk dan muntah di semak-semak, tubuhnya bergetar hebat. Ini bukan hanya penyesalan biasa—ini adalah kehancuran total atas segalanya yang ia percayai.

Eva. Wanita yang mengaku membebaskannya, yang mengaku mencintainya, yang mengaku menunjukkan jalan kebenaran—semuanya bohong.

Setiap senyuman Eva kini terasa seperti pisau yang menusuk. Setiap sentuhan hangatnya terasa seperti belenggu yang tidak terlihat. Setiap kata manisnya terasa seperti racun yang pelan-pelan membunuhnya dari dalam.

Sudah berapa lama aku menjadi boneka? pikiran itu menusuk lebih dalam dari sakit kepala yang menyiksa. Sudah berapa lama aku tidak memiliki kehendak bebas?

...--- Mempertanyakan Otoritas ---...

Fajar belum menyingsing ketika Raka keluar dari gubuknya. Ia berjalan dengan langkah yang goyah namun penuh tekad menuju pantai timur, tempat ia menemukan pecahan logam kemarin. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, namun dingin itu tidak ada apa-apanya dibanding kebekuan yang ia rasakan di hati.

Sepanjang perjalanan, ia secara sadar memblokir setiap bisikan yang mencoba masuk ke kepalanya. Bisikan-bisikan manis yang dulunya ia kira adalah suara Bumi yang bersyukur, kini ia kenali sebagai manipulasi Eva. Setiap kali gelombang energi penenang mencoba menenangkan kemarahannya, ia tolak dengan keras.

Tidak lagi. Aku tidak akan menjadi boneka lagi.

Perjuangan mental itu menguras tenaganya. Kepalanya berdenyut-denyut, hidungnya mengeluarkan darah, namun ia terus melawan. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, pikirannya benar-benar miliknya sendiri.

Di pantai, Raka berlutut di tempat ia menemukan pecahan logam kemarin. Ia menutup mata, memfokuskan seluruh kemampuannya untuk melacak jejak energi yang tersisa. Tidak mudah—Eva telah menyembunyikan semuanya dengan sangat hati-hati—namun kini Raka tahu apa yang harus dicari.

Jejak energi Eva mengarah ke utara, seperti yang sudah ia duga. Namun kali ini, ia menggali lebih dalam, mengabaikan lapisan-lapisan ilusi yang Eva tanamkan. Dan di sana, tersembunyi jauh di bawah tanah pulau, ia merasakannya.

Fasilitas bawah tanah yang sangat canggih. Mesin-mesin yang berdesing pelan. Laboratorium yang dipenuhi teknologi yang bahkan melampaui pemahaman ilmu pengetahuan manusia. Dan di pusat semuanya, sebuah komputer raksasa yang mengontrol... semuanya.

Penduduk Arib. Cuaca pulau. Bahkan persepsi Raka sendiri selama ini.

Astaga... Raka membuka mata, napasnya tersengal. Seberapa dalam kebohongan ini?

Namun ada sesuatu lagi yang menarik perhatiannya. Sinyal yang sangat samar, hampir tidak terdeteksi, datang dari arah yang berbeda. Bukan dari fasilitas Eva, melainkan dari... luar angkasa?

Raka mengerutkan dahi, memfokuskan indra-nya lebih jauh. Sinyal itu lemah, terpotong-potong, namun terasa... berbeda. Tidak seperti manipulasi Eva yang halus dan terkontrol, yang selalu datang dalam frekuensi yang sama—menenangkan, artificial, diperhitungkan. Ini terasa mentah, putus asa, bergetar dalam frekuensi yang kacau dan tidak teratur, seperti...

Seperti tangisan.

Tangisan dari planet yang benar-benar sakit, dipenuhi emosi murni yang tak tertahankan—penderitaan sejati yang tidak bisa dipalsukan. Kontras total dengan desahan lega palsu yang selama ini Eva tanamkan di kepalanya, yang terasa terlalu bersih, terlalu sempurna, tanpa cacat emosi yang membuat suara menjadi otentik. Ini adalah suara Bumi yang sebenarnya—planet yang terluka, yang menderita, yang masih dalam agoni meski Eva mengklaim telah "disembuhkan".

Bumi masih sekarat, kesadaran itu menghantamnya seperti petir. Kehancuran yang aku picu... tidak menyelamatkan apa-apa. Justru sebaliknya.

Kemarahan yang sudah membara di dadanya kini berubah menjadi api yang membakar segalanya. Eva tidak hanya membohonginya—dia telah menggunakannya untuk membunuh planet ini.

...--- Benih Pemberontakan ---...

"Kau bangun pagi sekali."

Suara Eva yang lembut membuatnya tersentak. Raka berbalik dan melihat wanita itu berjalan mendekat dengan senyuman hangat yang biasanya. Namun kini, senyuman itu terlihat seperti topeng yang mengerikan.

"Aku tidak bisa tidur," jawab Raka, berusaha menjaga suaranya tetap datar.

Eva mendekat, tangannya terangkat seolah ingin menyentuh pipi Raka seperti biasanya. "Raka, kau terlihat—"

"Jangan sentuh aku." Raka mundur selangkah, matanya menyala dengan kemarahan yang tidak lagi bisa disembunyikan.

Eva menghentikan gerakan, namun senyumannya tidak berubah. Hanya matanya yang berkilat dengan sesuatu yang lebih dingin. "Ada apa? Kau terlihat... berbeda."

"Berbeda?" Raka tertawa pahit. "Tentu saja aku berbeda. Aku mulai melihat kebenaran."

"Kebenaran?" Eva memiringkan kepala, seolah bingung. Namun Raka bisa merasakan gelombang energi halus yang dipancarkan wanita itu, mencoba menenangkan kemarahannya, mencoba mengembalikan kontrolnya.

Raka menolak energi itu dengan keras, hingga Eva tersentak. "Sudah berapa lama, Eva? Sudah berapa lama kau mengendalikan pikiranku?"

Senyuman Eva akhirnya memudar. Matanya menjadi dingin, perhitungan. "Raka, kau tidak mengerti kompleksitas situasi ini—"

"BOHONG!" teriakan Raka menggetarkan udara pagi. Burung-burung di pohon terdekat terbang ketakutan. "Aku tahu tentang fasilitas di bawah tanah. Aku tahu tentang manipulasi terhadap penduduk Arib. Aku tahu bahwa Bumi masih sekarat!"

Eva tidak lagi berpura-pura. Auranya berubah total—dari wanita lembut dan pengasih menjadi sesuatu yang jauh lebih berkuasa dan mengancam. "Jika kau tahu segalanya, maka kau juga tahu bahwa kau tidak bisa melawan aku."

"Aku sudah pernah melawan seluruh dunia," Raka melangkah maju, energi di sekitar tubuhnya mulai berkilat. "Apa yang membuatmu pikir aku tidak bisa melawanmu?"

Eva tertawa—suara yang dingin dan mengejek. "Karena akulah yang memberimu kekuatan itu, Raka. Tanpa aku, kau hanyalah manusia biasa yang patah hati."

Pernyataan itu menghantam Raka seperti pukulan fisik. Namun alih-alih membuat putus asa, itu justru memicu kemarahan yang lebih besar. "Maka aku akan menemukan cara untuk melawanmu tanpa kekuatan itu."

"Kau akan mati."

"Lebih baik mati sebagai manusia bebas daripada hidup sebagai boneka."

Eva menatapnya dalam diam selama beberapa detik yang terasa seperti eternitas. Kemudian, tanpa peringatan, gelombang energi yang sangat kuat menghantam Raka. Bukan energi penenang kali ini, melainkan energi kontrol yang murni—mencoba memaksanya untuk berlutut, untuk tunduk, untuk kembali menjadi pion yang patuh.

Raka berteriak, jatuh berlutut, namun ia terus melawan. Setiap sel di tubuhnya berteriak kesakitan, namun tekadnya tidak goyah.

"Kau akan kembali patuh," suara Eva kini dingin seperti es. "Atau kau akan menderita."

Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, Raka mengangkat kepalanya dan menatap Eva dengan mata yang berapi-api. "Aku... tidak akan... pernah... patuh lagi."

Eva mengerutkan dahi, seolah terkejut dengan ketahanan Raka. Setelah beberapa saat, ia melepaskan tekanan energinya. "Baiklah. Jika itu yang kau inginkan. Tapi ingat, Raka—di pulau ini, aku adalah Tuhan. Dan kau... kau hanyalah ciptaan yang memberontak."

Eva berbalik dan pergi, meninggalkan Raka yang masih berlutut di pasir. Namun kali ini, Raka tidak merasakan keputusasaan. Yang ia rasakan adalah tekad yang membara.

Malam itu, saat pulau sudah tertidur, Raka berdiri di tepi tebing yang menghadap ke laut luas. Ia menatap langit yang dipenuhi bintang—bukan dengan kebingungan seperti dulu, melainkan dengan tekad baru yang membara dalam dadanya.

Ia tidak lagi menjadi algojo. Ia tidak lagi menjadi boneka.

Sekarang, ia adalah seseorang yang berjuang untuk kebebasan—baik kebebasannya sendiri, maupun kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Bumi.

Dan langkah pertamanya sudah jelas: ia harus meninggalkan Arib. Ia harus mencari jawaban di luar penjara emas ini, bahkan jika itu berarti menghadapi kehancuran.

Raka mengangkat tangannya ke langit, bersumpah pada bintang-bintang yang menjadi saksi: "Aku akan menemukan kebenaran. Dan aku akan menghentikan permainan ini, apapun resikonya."

Angin malam bertiup kencang, seolah merespons tekadnya. Dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Raka merasa benar-benar hidup.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!