Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Di rumah Kaji Mispan keributan masih berlanjut.
“Kamu ini sudah berapa hari ndak pulang?! Pulang-pulang malah dekem di rumah Ratmoyo, Kethek!” Suaranya Mispan menggema dari ruang tengah, penuh amarah.
Suaranya itu pun sampai terdengar dari rumah para tetangganya.
Di rumah sebrang rumah Kaji Mispan, Bu Hartini terlonjak bangun. Ia duduk di tepi tempat tidur, napasnya memburu, selimut masih melingkar di pundaknya. Lampu kamar buru-buru dinyalakan, dan ia melangkah pelan ke arah jendela.
Di rumah lain yang tak jauh dari situ, Yu Kastun juga terbangun. Ia memicingkan mata, mencoba menangkap sisa suara yang baru saja membangunkannya dari tidur nyenyak.
“Tadi itu… suara Pak Mispan?” gumamnya, nyaris tak percaya
Mereka keluar hampir bersamaan, masing-masing menyibak tirai pintu dan melangkah ke teras. Udara dingin menyambut, tapi rasa penasaran mengalahkan kantuk.
Pandangan mereka bertemu di pelataran rumah Bu Hartini. Tak perlu bertanya, mereka tahu: suara itu datang dari rumah besar di sebrangnya—rumah Kaji Mispan.
“Sepertinya sedang ada keributan,” ujar Bu Hartini pelan.
Di sebelahnya, Yu Kastun berdiri dengan selimut melingkar di bahu, wajahnya masih menyisakan kantuk. Tapi rasa penasaran jauh lebih kuat dari rasa ingin tidur.
“Iya, Bu… tengah malam begini. Suaranya keras sekali. Jangan-jangan…” Ucapannya terhenti, seperti menimbang sesuatu.
“Jangan-jangan apa, Yu?” tanya Bu Hartini, menoleh.
Yu Kastun mendesah pelan, lalu mendekat sedikit, suaranya diturunkan seperti orang hendak menyampaikan rahasia besar.
“Jangan-jangan ini gara-gara Wiji dan Asmarawati. Sampean tahu kan, beberapa hari ini Wiji ndak pulang-pulang. Itu pasti karena, hubungan mereka sudah di ketahui… Dan bapaknya marah besar. Persis seperti yang aku duga sebelumnya.”
Bu Hartini mengerutkan kening. Matanya kembali mengarah ke rumah Mispan, lalu menatap Yu Kastun, sedikit tak percaya.
“Sampean yakin?”
“Lha piye to, selama ini aku ngikutin terus perkembangan gos.....—” Ucapan Yu Kastun terpotong oleh suara pintu rumah Mispan yang tertutup keras.
Mereka spontan diam. Sunyi kembali menyelimuti malam, tapi kini bukan sunyi yang tenang, melainkan sunyi yang penuh bisik-bisik di kepala.
“Besok pasti ramai ini...” gumam Bu Hartini, nyaris seperti doa.
Sementara itu di balik pintu kamar, Ruqayah terlonjak. Langkahnya tergesa-gesa, dasternya berkibar. Mata yang tadi terpejam kini terbuka lebar oleh kegaduhan yang mendadak membakar malam. “Owalah, Pak… Ribut apa lagi to ini?” katanya tergopoh.
Sementara Wiji hanya berdiri terpaku. Pandangannya lurus, tapi matanya redup. Mulutnya tertutup rapat, menahan gelombang kata yang tak ingin menyakiti—tapi juga tak ingin menyerah.
“Lho, Le... Kamu dari mana saja, Le?”
Suaranya gemetar, pelan, seperti angin yang mengetuk dedaunan. “Ibu cemas... dengan keadaanmu. Ndak ada kabar, kamu baik-baik saja to le?.”
Wiji menoleh perlahan. Matanya basah, tapi bibirnya masih kelu. Hanya napasnya yang berat.
“Nasihati anakmu ini.” seru Mispan sambil menunjuk Wiji. “Jangan lagi dia sampai kelutusan ke rumah Ratmoyo.”
Wiji masih diam. Urat di rahangnya menegang, hatinya remuk redam. Ia tahu, di balik kalimat pendek itu, tersembunyi riwayat panjang yang belum pernah ia dengar secara utuh.
Ruqayah menatap Mispan, kemudian menoleh pada Wiji. Ia ingin menjadi jembatan—tapi jembatan macam apa yang bisa dibangun.
"Pak, jangan hanya menyalahkan anakmu…” ucap Ruqayah akhirnya, pelan, tapi mantap.
“Kalau memang ada yang belum selesai antara sampean dan Ratmoyo… jangan sampai Wiji ikut menanggungnya.”
“Ada apa to, Pak? Bu? Malam-malam begini kok ribut-ribut…” Sahut Halimah yang terbangun dari tidurnya.
Matanya berpindah ke wajah adiknya. “Kamu juga darimana to, Ji? Sudah satu minggu lebih kamu ndak pulang. Ndak ada kabar, ndak ada pamit.”
Wiji tak menjawab. Hanya menatap singkat ke arah Halimah, kemudian menunduk.
Langkahnya pelan, tapi pasti, melewati ruang tengah yang masih sesak dengan sisa-sisa keributan. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Ia langsung menuju kamarnya. Tak ada pintu yang dibanting, tak ada gumam pembelaan.
Hanya suara engsel tua yang mengeluh pelan saat pintu kamar ditutup. …dan keheningan yang kembali menggantung di rumah itu, lebih mencekam daripada teriakan Mispan sebelumnya.
Halimah menatap ke arah kamar Wiji, napasnya masih berat. Sementara Mispan hanya berdiri kaku di sudut ruangan, dadanya naik turun, seperti sedang menahan sesuatu yang tak sempat ia tumpahkan. Ruqayah diam. Dalam hatinya, ia tahu… malam ini bukan akhir dari pertengkaran, tapi awal dari sesuatu yang lebih dalam: kisah cinta yang diganjal masa lalu, dan keluarga yang mulai retak diam-diam.